Sabtu, Agustus 01, 2009

Sekitar Awal Ramadan dan Awal Syawwal

SEKITAR AWAL RAMADAN DAN AWAL SYAWWAL*
(Kasus dua hari Idul Fitri 1409 H)
Oleh Machnun Husein


Sebagaimana biasa, setiap kali menjelang bulan Ramadan, Syawwal dan Zulhijjah, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta mengumumkan hasil hisab yang dilakukan oleh PP Majlis Tarjihnya mengenai jatuhnya tanggal-tanggal 1 Ramadan, 1 Syawwal dan 10 Zulhijjah. Pengumuman serupa juga dikeluarkan menjelang Ramadan tahun 1409 H [1989 M] sekarang ini dan, seperti biasanya, pengumuman itu disampaikan kepada seluruh Pimpinan Wilayah, Daerah dan Cabang se Indonesia untuk dijadikan pedoman bagi seluruh anggotanya.

Untuk tahun ini, sebagaimana diwartakan dalam Suara Muhammadiyah, no. 7, Tahun ke-69, April I, 1989, hlm. 16, ijtima‘ akhir bulan Sya‘ban 1409 H jatuh pada hari Kamis, 6 April jam 10.50 dan ijtima‘ akhir bulan Ramadan 1409 H jatuh pada hari Jum‘at, 5 Mei 1989 jam 18.48. Berdasarkan hasil hisab itu, Muhammadiyah menetapkan tanggal 1 Ramadan 1409 H jatuh pada hari Jum‘at, 7 April 1989 dan 1 Syawwal 1409 H jatuh pada hari Ahad, 7 Mei 1989.
Selama ini kita berprasangka bahwa pengumuman dan ketetapan PP Muhammadiyah itu ditaati, setidak-tidaknya, oleh anggota-anggota pimpinannya. Tetapi belakangan diketahui bahwa dugaan itu ternyata tidak benar. Saya mengetahui hal ini setahun yang lalu, ketika salah seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada asal Semarang memberitahu saya bahwa ada pimpinan salah satu Majlis dalam Muhammadiyah tingkat pusat yang menyelenggarakan salat ‘Idul Fitri 1408 H bersama jama‘ahnya pada hari Senin, 16 Mei 1988, sehari lebih awal daripada hari yang ditetapkan dan diumumkan baik oleh Menteri Agama maupun oleh PP Muhammadiyah sendiri.
Semula saya tidak percaya dengan informasi tersebut dan bahkan saya menganggapnya fitnah. Tetapi setelah saya berkonsultasi dan mencari informasi lebih lanjut, terakhir pada Selasa malam, 18 April 1989 yang baru lalu, saya jadi yakin benar bahwa informasi itu memang benar. Dan bahkan salah seorang wakil Ketua PP Muhammadiyah disebut-sebut oleh ‘informasi’ itu sebagai tokoh yang diikuti oleh pimpinan majlis itu.
Kenyataan semacam ini selain mengundang pertanyaan di kalangan para anggota Muhammadiyah sendiri, juga agak terdengar aneh mengingat bahwa, setidak-tidaknya, semenjak dua dasawarsa terakhir ini, Pemerintah, cq. Departemen Agama, berusaha mempersatukan umat Muslim di negeri ini dalam penentuan awal Ramadan, awal Syawwal, dan tanggal 10 Zulhijjah.
Karena itu sebagai orang yang pernah belajar Ilmu Hisab dan Falak dari almarhum H. Sa‘adoeddin Djambek, mantan Ketua PP Muhammadiyah Majlis Pendidikan dan Pengajaran dan mantan Ketua pertama Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama, saya merasa perlu mempermasalahkan kasus tersebut. Menurut saya, perbedaan pendapat semacam ini, minimal harus dinetralisasi, setidak-tidaknya oleh Muhammadiyah sendiri. Sebab jika tidak, para anggotanya akan terombang-ambing oleh perpecahan di kalangan para pimpinannya. Dan dalam skala nasional, bila perpecahan semacam ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan bisa menimbulkan kembali “tragedi ‘Idul Fitri” 20 tahun yang lalu, yang konon menimbulkan jatuhnya korban meninggal dunia, ketika umat Muslim ber-‘Idul Fitri pada dua hari yang berbeda: Rabu dan Kamis, 10 dan 11 Desember 1969; walau pada saat itu akarnya adalah konflik antara para pendukung ru’yat dan para pendukung hisab.

Perbedaan Aliran Hisab
Informasi yang saya kumpulkan selama ini menyatakan bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah di tingkat pusat yang berbeda pendapat mengenai awal Ramadan dan awal Syawwal ini mengikuti salah satu di antara 7 aliran hisab yang kita kenal selama ini, yaitu aliran ijtima‘ qablal fajr. Menurut aliran ini awal bulan qamariyyah ditentukan oleh peristiwa ijtima‘ (conjunction) yang terjadi sebelum fajar, bukan oleh terlihatnya bulan di atas ufuk pada saat terbenamnya matahari. Karena itu secara prinsipal aliran ini tidak memerlukan ru’yatul-hilal, meskipun ia merupakan cara yang sah berdasarkan hadis yang sahih. Jadi tegasnya bila ijtima‘ terjadi sebelum fajar, maka malam itu sudah masuk tanggal 1 bulan baru; sedangkan bila ijtima‘ itu terjadi sesudah fajar, maka malam itu adalah tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Dengan perkataan lain, batas hari yang memisahkan dua bulan qamariyyah, menurut aliran ini adalah fajar, bukan terbenamnya matahari.
Karena aliran ini tidak menganggap perlunya ru’yatul-hilal – dan ru’yat ini hanya dapat dilakukan pada saat matahari terbenam – maka posisi atau tinggi hilal pada saat matahari terbenam sesudah terjadinya ijtima‘ itu, apakah sudah di atas atau masih di bawah ufuk, sama sekali tidak diperhitungkan oleh aliran ini.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang selalu dijadikan alasan oleh para penganut aliran hisab ini adalah Surat 2 (Al-Baqarah): 187 dan Surat 36 (Yasin): 39. Surat 2:187 menyatakan: “Makanlah dan minumlah kamu sekalian hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, di kala fajar.” Sedangkan Surat 36:39 menyatakan: “Dan bulan telah Kami tetapkan manzilah-manzilah-nya, hingga ia kembali seperti bentuk pelepah bunga kelapa yang tua.” Menurut pendapat aliran ini, ayat yang disebut pertama menunjukkan saat dimulainya berpuasa sedangkan ayat yang kedua menunjukkan saat perpindahan dari bulan yang sedang berjalan ke bulan berikutnya. Dan karena perubahan bentuk bulan kembali seperti pelepah bunga kelapa yang sudah tua (‘urjunul qadim) itu terjadi pada saat ijtima‘, maka ijtima‘ itulah yang menjadi batas hari yang memisahkan antara dua bulan qamariyyah.
Persoalannya, apakah betul bahwa perubahan bentuk yang dimaksud terjadi “pada saat” atau “segera setelah” terjadi ijtima‘ itu. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu sedikit memahami apa yang dimaksud dengan peristiwa ijtima‘ atau conjunction itu. Secara astronomik bulan dan matahari berijtima‘ atau berkonjungsi apabila keduanya berada pada bujur astronomik (dawa’irul buruj) yang sama, dan pada saat itu bulan sama sekali tidak tampak dari permukaan bumi, karena seluruh bagian bulan yang terkena sinar matahari berada dalam posisi membelakangi bumi, Secara empirik, bulan akan tampak – mula-mula kecil seperti pelepah bunga kelapa yang tua – satu hari atau dua hari setelah ijtima‘ itu. Dan pada hari-hari berikutnya bulan itu akan tampak semakin besar hingga purnama pada hari ke-15 dan kemudian semakin mengecil lagi hingga akhirnya tidak tampak lagi pada peristiwa ijtima‘ di akhir bulan. Dan karena tampaknya bulan itu tidak bisa selain pada saat matahari terbenam, maka berarti di luar saat itu tidak mungkin dilakukan ru’yat.
Dari uraian ini sebenarnya jelas bahwa hisab – selama perhitungannya dilakukan dengan cermat dan akurat – dapat dipadukan dengan ru’yatul hilal. Oleh karena itu, posisi atau tinggi hilal di saat terbenamnya matahari sesudah terjadinya ijtima‘ itu harus diperhitungkan, setidak-tidaknya untuk menunjukkan mungkin atau tidaknya dilakukan ru’yatul hilal pada saat itu. Dan dengan cara inilah hisab dan ru’yat itu dapat dipadukan, persis seperti kebijakan Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama selama ini.
Memang harus diakui bahwa untuk memperhitungkan posisi atau tinggi hilal ini diperlukan pengetahuan yang memadai tentang Astronomi dan Matematika, disamping adanya data astronomik yang akurat. Tetapi kesulitan ini bukan alasan untuk meninggalkannya sama sekali, sebab bagaimanapun juga dalam Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama itu terkumpul para ahli, bukan saja dari Muhammadiyah, NU, dan organisasi-organisasi Islam lainnya, tetapi juga dari Planetarium, Badan Meteorologi dan Geofisika dan bahkan dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Karena itu saya yakin, mereka secara bersama-sama tidak akan membohongi kita.
Untuk mendapatkan gambaran tentang dapat atau tidaknya dilakukan ru’yat pada hari Jum‘at, 5 Mei 1989 yang akan datang, berikut ini saya kutipkan hasil-hasil hisab dengan berbagai metode yang selama ini dikumpulkan oleh Departemen Agama (lihat tabel).
TABEL HASIL HISAB HAQIQI TAHUN 1409 H


Ijtima‘ akhir Ramadan 1409 terjadi pada Tinggi hilal pada saat matahari terbenam

Metode Hari, Tanggal, Jam

1. New Comb Jum‘at 5-5-1989 18.50 – 0º4'6''

2. Islamic Calendar Jum‘at 5-5-1989 19.08 – 2º6''

3. Hisab Haqiqi Jum‘at 5-5-1989 18.41 – 3º8'6''

4. Khulasatul-Wafiyah Jum‘at 5-5-1989 19.01 – 2º33'8''

5. Qawa‘idul Falakiyyah Jum‘at 5-5-1989 18.20 – 0º56'

6. Sulamun Nayirain Jum‘at 5-5-1989 15.06 – 2º27'

7. Fathur Ra’ufil Manan Jum‘at 5-5-1989 18.21 – 0º10'

Sumber: Hasil Muker Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Hisab Tahun 1984/1985 (Jakarta: Ditbinpertais, 1985), hlm. 61.

Dari tabel tersebut terlihat dengan jelas bahwa berdasarkan ketujuh metode itu, hilal pada saat terbenamnya matahari di hari Jum’at, 5 Mei 1989 yang akan datang, masih berada di bawah ufuk. Karena itu diperkirakan bulan tidak dapat diru’yat. Dan sesuai dengan prtunjuk Nabi, dalam keadaan seperti ini harus dilakukan istikmal atau penggenapan umur bulan Ramadan menjadi 30 hari, sehingga ‘Idul Fitri 1409 H yang akan datang jatuh pada hari Ahad, 7 Mei 1989. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti aliran ijtima‘ qablal fajr, atau aliran ijtima‘ qablal gurub (lihat hasil hisab menurut metode ke-6) yang juga tidak memperhitungkan tinggi hilal pada saat matahari terbenam setelah terjadinya ijtima‘, ‘Idul Fitrinya akan jatuh pada hari Sabtu, 6 Mei 1989.

Hisab ‘Urfi

Sebagai penutup perlu saya kemukakan juga bahwa kemungkinan terjadinya perbedaan hari ‘Idul Fitri tahun ini juga timbul bila orang mengikuti aliran hisab ‘urfi yang antara lain menetapkan umur bulan-bulan qamariyyah secara permanen tanpa memperhitungkan ijtima‘, tinggi hilal, ru’yat maupun istikmal. Berdasarkan hisab tersebut umur bulan Sya‘ban selalu 29 hari dan bulan Ramadan selalu 30 hari.

Untuk tahun 1409 H ini tanggal 1 Sya‘ban ditetapkan jatuh pada tanggal 8 Maret 1989, sehingga tanggal 1 Ramadan jatuh pada tanggal 6 April dan tanggal 1 Syawwalnya jatuh pada tanggal 6 Mei 1989.

Kesimpulan akhirnya adalah bahwa menurut aliran hisab ijtima‘ qablal fajr, ijtima‘ qablal gurub – yang mengikuti hasil hisab menurut metode Sulamun Nayirain – dan aliran hisab ‘urfi, ‘Idul Fitri 1409 H akan jatuh pada hari Sabtu 6 Mei 1989; sedangkan menurut aliran-aliran hisab lainnya yang mempertimbangkan tinggi hilal disamping ijtima‘, ‘Idul Fitrinya akan jatuh pada hari Ahad, 7 Mei 1989.

Manakah yang benar di antara keduanya? Cara yang terbaik adalah menunggu hasil ru’yat. Sebab menurut saya, ru’yatul hilal selain tidak pernah dinasakh oleh Nabi, juga merupakan cara terbaik untuk mengecek kebenaran hasil hisab. Tentu saja, persoalannya jadi berbeda, bila kita beranggapan bahwa ru’yatul hilal sudah tidak berlaku setelah ditemukannya Ilmu Hisab.***

*Panji Masyarakat, Jakarta, No. 612, 1409 H/1989 M, hlm. 73-74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar