MANUSIA DALAM AL-QUR’AN*
Oleh Machnun Husein
Oleh Machnun Husein
Manusia dalam kitab suci Al-Qur’an disebut dengan lima macam istilah: basyar, Bani Adam, ins, nas dan insan. Dalam berbagai kamus dan Kitab Tafsir Al-Qur’an, istilah-istilah tersebut sering dianggap sama. Tetapi bila diperhatikan secara seksama, terutama dalam siyak Qur’aninya, akan terlihat bahwa masing-masing memiliki makna konotatif yang berbeda satu sama lain.
Basyar dan Bani Adam
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali, 25 di antaranya berkaitan dengan sifat-sifat manusiawi (basyari) yang dimiliki oleh para nabi dan rasul serta umat mereka. Dua di antara sifat-sifat tersebut yang secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an adalah makan makanan dan berjalan di pasar-pasar.[1] Selain itu juga disebut tentang kejadiannya dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk.[2] Dan ini berbeda dengan kejadian jin yang dicipta dari api yang sangat panas.[3]
Dengan demikian kata basyar itu digunakan oleh Al-Qur’an sebagai nama jenis makhluk atau species, menurut istilah Biologi, yang memiliki sifat-sifat biologik yang berbeda dengan jin. Karena itu para nabi dan rasul serta umat mereka masing-masing adalah manusia biasa (basyar), bukan manusia luar biasa (super human), jin, atau pun malaikat.
Lantas, termasuk species manakah manusia yang disebut basyar dalam Al-Qur’an itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu dikemukakan lebih dahulu bahwa menurut Al-Qur’an,[4] basyar itu adalah makhluk yang dicipta dari tanah lihat yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk, dan kemudian disempurnakan oleh Allah dengan meniupkan ruh-Nya kepadanya. Setelah itu Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepadanya, dan semuanya mematuhi perintah itu kecuali iblis, karena dia merasa tidak sepantasnya menyembah makhluk yang dicipta dari bahan baku yang lebih hina. Dan itulah basyar pertama yang dicipta oleh Allah.
Kisah tentang basyar pertama yang diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat 15:27-33 ini ternyata sejalan dengan kisah yang diungkapkan dalam Al-Qur’an Surat 2:30-34, di mana Allah menggunakan sebutan Adam dan sebutan fungsionalnya, khalifah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa basyar pertama itu tidak lain adalah Adam yang mengemban tugas khilafah di muka bumi. Oleh karena itu pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam adalah Abul-Basyar (bapak umat manusia) ada benarnya juga.
Dalam kaitannya dengan pertanyaan di atas, perlu dijelaskan bahwa Al-Qur’an[5]. juga memakai istilah Bani Adam, yang berarti anak cucu atau keturunan Adam, untuk menyebut manusia setelah Adam, termasuk umat Muhammad saw. Bila para ahli Biologi menyebut manusia sekarang termasuk species Homo Sapiens, berarti Adam atau basyar pertama itu adalah homo sapiens pertama, bukan species Homo Neanderthalensis, Homo Erectus, Homo Cromagnon, atau Homo-homo lain sebelumnya.
Dalam kaitan ini ada baiknya disimak firman Allah dalam Al-Qur’an Surat 2:30 yang artinya sbb.:
Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Para malaikat berkata, “Mengapa Engkau akan menjadikan [khalifah] yang akan membikin kerusakan dan pertumpahan darah di sana, padahal kami senantiasa bertasbih, bertahmid dan bertaqdis terhadap-Mu?” Allah berfirman, “Aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui.”
Dari satu sisi bisa dikatakan bahwa dialog antara Allah swt. dan para malaikat dalam ayat tersebut tidak mungkin terjadi karena menurut Al-Qur’an (QS. 66:6) para malaikat tidak mungkin membantah atau memprotes rencana Allah swt. atau berbuat ma‘siyat terhadap-Nya. Mereka senantiasa melaksanakan apa saja yang disuruh-Nya. Karena itu kisah tersebut merupakan kisah “legendaris atau dongeng” (qissah usturiyyah) yang merupakan salah satu uslub Qur’ani untuk lebih mempertegas maknanya, bahwa khalifah yang dimaksud bukanlah yang akan membikin kerusakan dan pertumpahan darah sebagaimana diduga oleh para malaikat itu. Firman Allah di akhir ayat tersebut, secara a contrario, justeru menegaskan bahwa khalifah itu akan membangun bumi dan akan melenyapkan pertumpahan darah dalam segala bentuknya; dan itulah amanat Allah yang diberikan-Nya kepada khalifah-Nya itu.
Dari sisi lain dapat diambil kesimpulan lain, dengan mengingat sifat lain yang dimiliki para malaikat bahwa mereka tidak mungkin mengatakan sesuatu di luar pengetahuan dan ilmu yang diterimanya dari Allah (QS. 2:32), bahwa rupanya para malaikat pernah melihat makhluk lain sebelum Adam yang justeru membikin kerusakan dan menimbulkan pertumpahan darah. Bila kesimpulan ini benar, berarti secara implisit Al-Qur’an mengakui adanya makhluk-makhluk lain yang mirip dengan Adam sebelum Adam dicipta-Nya. Atau dengan perkataan lain bahwa species Homo Erectus, Homo Neanderthalensis, Homo Cromagnon dan lain-lainnya yang ada sebelum species Homo Sapiens diakui adanya oleh Al-Qur’an walaupun semuanya itu secara kualitatif tidak sama dengan Adam atau Homo Sapiens pertama itu.
Ins, Nas dan Insan
Selain basyar dan Bani Adam, Al-Qur’an juga menggunakan istilah-istilah ins dan nas. Kata ins senantiasa disebut secara berurutan dengan kata jin sebanyak 19 kali dalam 18 ayat, 14 di antaranya termasuk ayat-ayat Makkiyyah dan 4 lainnya adalah ayat-ayat Madaniyyah. Sedangkan kata nas disebut dalam Al-Qur’an sekitar 240 kali. Menurut ‘A’isyah binti Syati’ dalam bukunya,[6] kata ins menunjukkan sifat manusia yang tidak liar dan ganas, sedangkan kata jin berarti tersembunyi, penuh misteri, liar, mengerikan dan sekaligus ganas. Dengan demikian kata ins menunjukkan perbedaan manusia dalam penampilannya dengan jin: manusia adalah makhluk yang tampak dan tidak menakutkan sedangkan jin adalah makhluk yang tidak tampak (ghaib) yang mengerikan. Dengan perkataan lain kata ins juga menunjukkan sifat dari basyar dan Bani Adam. Binti Syati’ juga menyatakan bahwa kata ins dan insan, yang kedua-duanya berasal dari huruf-huruf alif, nun dan sin, mempunyai pengertian yang sama sebagai makhluk biologik yang berbeda dengan jin yang liar atau dengan binatang. Namun sepanjang keterangan Al-Qur’an, antara ins dan hayawan (binatang) terdapat kesamaan-kesamaan disamping perbedaan-perbedaan.
Adapun kata nas, menurut Binti Syati’, juga mempunyai pengertian yang sama dengan Bani Adam, sebagai nama jenis atau species.[7] Ini berarti bahwa manusia yang disebut nas atau Bani Adam itu tidak berbeda satu sama lain: mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku sehingga satu sama lain dapat saling kenal-mengenal. Perbedaannya hanyalah pada ketaqwaan mereka terhadap Allah swt.[8]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah-istilah basyar, Bani Adam, ins dan nas yang digunakan dalam Al-Qur’an lebih menekankan pada eksistensi manusia sebagai makhluk biologik dengan ciri-ciri basyariyyah-nya. Atau dengan perkataan lain, keempat kata tersebut lebih menampilkan manusia sebagai objek, berbeda dengan istilah insan yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Insan
Kata insan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali dan bila disimak secara cermat, dari segi siyaknya, terlihat bahwa ia memiliki makna yang berbeda dengan keempat istilah yang telah disebut sebelumnya.
Memang ada keterkaitan antara manusia sebagai basyar dan manusia sebagai insan sepanjang keterangan Al-Qur’an. Sebagai bukti dapat dikemukakan dua buah ayat Al-Qur’an dalam surat 15:26 dan 28 yang sama-sama menyatakan bahwa manusia dicipta dari tanah liat yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Ayat 26 menggunakan istilah insan sedangkan ayat 28 menggunakan istilah basyar. Bukti lain terdapat dalam Al-Qur’an Surat 25:54 dan Surat 32:7 dan 8. Pada surat 25:54 dinyatakan bahwa manusia (basyar) dicipta dari air, sedangkan pada surat 32:7-8 dinyatakan bahwa keturunan manusia (insan) dicipta dari saripati air yang hina.
Ini berarti bahwa insan itu juga basyar, tetapi dalam kata insan itu terkandung makna yang lebih esensial dan signifikan, yaitu manusia yang berpribadi, yang karenanya dia mampu mengemban khilafah atau amanat Allah di muka bumi. Dengan perkataan lain, insan adalah manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek sebagaimana dinyatakan dalam keempat istilah yang disebut sebelumnya.
Untuk mengenali ciri-ciri kemanusiaan (insaniyyah) manusia yang disebut insan ini barangkali bisa disimak firman Allah dalam Al-Qur’an Surat 96:1-8 sebagai berikut:
Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah mencipta. Mencipta manusia dari `alaq. Bacalah dan tuhanmu Maha Mulia. Yang telah mengajar dengan perantaraan kalam. Mengajar manusia apa yang belum diketahuinya. Tetapi ketahuilah, manusia itu cenderung membangkang. [Lantaran] manusia menganggap dirinya serba kecukupan [dan tidak memerlukan bantuan]. [Padahal] kepada tuhanmulah kamu akan kembali.
Pada ayat-ayat tersebut kata insan diulang sebanyak tiga kali. Pertama, pada ayat 2 dengan menekankan pada asal-usul kejadiannya, yaitu ‘alaq atau embryo yang menempel [pada rahim wanita]. Kedua, pada ayat 5 dengan menekankan keistimewaannya karena menerima ilmu dari Allah swt. Dan ketiga, pada ayat 6 dengan peringatan bahwa manusia itu cenderung membangkang karena merasa dirinya tidak memerlukan bantuan dari siapa pun, termasuk dari Allah swt., penciptanya, padahal kepada-Nya jualah dia akan kembali. Dari siyak ayat-ayat tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa manusia yang disebut insan itu seharusnya menyadari bahwa dirinya adalah makhluk Allah, bahwa ilmu serta kemampuan yang dimilikinya bersumber kepada Allah, dan dia pada akhirnya akan kembali kepada Allah juga. Kesadaran itulah yang merupakan ciri-ciri insaniyyah manusia yang disebut insan itu. Bila salah satu di antara kesadaran-kesadaran itu hilang, berarti hilang pulalah insaniyyah-nya.
Menurut Al-Qur’an,[9] insan itu dicipta Allah dalam kondisi yang paling baik, tetapi karena kecenderungannya untuk membangkang dan sombong, Allah secara berangsur-angsur mencampakkannya ke dalam kondisi yang paling buruk, kecuali bila mereka beriman dan beramal saleh. Posisi dan fungsi iman dan amal saleh – yang juga dikenal sebagai `aqidah dan syari‘ah – itu ternyata begitu penting sehingga dalam Al-Qur’an kedua kata tersebut disebut secara berurutan sebanyak 83 kali. Menurut pendapat Mahmud Syaltut dalam bukunya,[10] penyebutan secara berurutan sebanyak itu menunjukkan bahwa orang beriman yang mengabaikan syari‘ah [amal saleh] atau mengamalkan syari`ah [amal saleh] tetapi tidak beriman, di mata Allah, sama sekali bukan Muslim.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia dalam Al-Qur’an disebut dengan bermacam-macam istilah yang masing-masing memiliki makna konotatif tersendiri sesuai dengan siyaknya dalam Al-Qur’an. Manusia dalam Al-Qur’an disebut sebagai objek dan sekaligus subjek. Sebagai objek, manusia memiliki ciri-ciri basyariyyah dan sebagai subjek, memiliki ciri-ciri insaniyyah, tetapi ciri-ciri insaniyyah ini secara berangsur-angsur bisa hancur karena kecenderungannya untuk membangkang dan sombong. Untuk menghindari kehancuran itu manusia wajib beriman dan beramal saleh. Salah satu bentuk pengabdiannya kepada Allah dan amal salehnya adalah menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.***
*Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, No. 17, Th. 1996, hlm. 46-48.
Catatan:
[1]QS. 25: 20.
[2]QS. 15:28.
[3]QS. 15:27.
[4]QS. 15:28-33
[5]QS. 7:27, 31, 35; QS. 17:70, dsb.
[6]‘A’isyah ‘Abdurrahman Binti Syati’, Maqal fil-Insan: Dirasah Qur’aniyyah (Qahirah: Darul-Ma‘arif, 1966, hlm. 15.
[7]Ibid., hlm. 16.
[8]QS. 49:13.
[9]QS. 95:4-6.
[10]Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari‘ah (Qahirah: Darul-Qalam, 1966, hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar