Kamis, Juli 30, 2009

Sedikit Mengenal Mazhab-mazhab Hisab

SEDIKIT MENGENAL MAŻHAB-MAŻHAB HISAB
(Catatan Tambahan atas artikel Susiknan Azhari)
Oleh Machnun Husein

Setelah membaca artikel Susiknan Azhari (SM No. 8/91, Tahun 2006) berjudul “Menggagas Paradigma Baru Hisab di Muhammadiyah” saya merasa perlu memberikan sedikit masukan sebagai bahan pertimbangan demi tercapainya apa yang diharapkan oleh penulis tersebut, pada khususnya, dan Muhammadiyah pada umumnya.
Perlu dikemukakan bahwa di kalangan umat Muslim yang menggunakan hisab, termasuk di Indonesia, ada dua pendapat atau mażhab yang tampaknya tidak mudah dipertemukan: hisab ‘urfī dan hisab haqīqī. Bahkan di kalangan pengikut mażhab hisab haqīqī pun, termasuk sementara warga Muhammadiyah, perbedaan pendapat juga ditemukan. Perbedaan tersebut tentu saja menimbulkan perbedaan, terutama. dalam menentukan awal bulan-bulan Ramadān dan Syawwāl.

Hisab ‘Urfi

Hisab ’urfī (‘urf = kebiasaan atau tradisi) adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah tradisional, sedangkan hisab haqīqī (haqīqah = realitas atau yang sebenarnya) dengan kaidah-kaidah astronomik dan matematik.
Menurut hisab ‘urfī umur setiap bulan qamariyah ditentukan berdasarkan pemerataan (averaging) waktu peredaran bulan mengeli­lingi bumi dalam setahun (354 11/30 hari). Dari angka pecahan ini dapat diperoleh data bahwa dalam 1 daur atau 1 siklus (yakni 30 tahun) terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitat). Tahun kabisat berumur 355 hari sedangkan tahun basitat berumur 354 hari. Tahun-tahun panjang (kabisat) pada setiap daur ditetapkan (dengan dasar yang tidak jelas tetapi diakui secara tradisional) pada tahun-tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke-29. Sedangkan tahun-tahun lainnya dinyatakan sebagai tahun-tahun basitat.
Mengenai umur setiap bulan qamariyah, hisab ‘urfī menetapkan (juga dengan dasar yang tidak jelas tetapi diakui secara tradi­sional) bahwa bulan-bulan gasal (diawali dengan bulan Muharram) selalu berumur 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap (diawali dengan bulan Safar) selalu berumur 29 hari (lihat Tabel). Tetapi khusus pada tahun kabisat, bulan Zul-Hijjah (bulan genap) dihi­tung berumur 30 hari. Karena umur setiap bulan sudah ditentukan sedemikian rupa secara definitif, maka mażhab hisab ini sama sekali tidak memerlukan ru’yatul hilāl.
Berdasarkan hisab ‘urfī ini tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyyah jatuh pada hari Kamis atau Jum‘at tanggal 15 atau 16 Juli tahun 622 M. Karena itu tahun 1427 H sekarang ini merupakan tahun ke-17 dalam daur ke-48, yang berarti tahun basitat. Dengan demikian umur bulan Żul-Hijjah tahun ini adalah 29 hari.

Enam Mażhab Hisab Haqiqi

Hisab haqīqī sendiri, terpecah menjadi 6 mażhab atau aliran: (1) mażhab ijtimā‘ qablal-gurūb, (2) mażhab ijtimā‘ qablal-fajr, (3) mażhab hilāl di atas ufuq haqīqī, (4) mażhab hilāl di atas ufuq hissī, (5) mażhab hilāl di atas ufuq mar’ī, dan (6) mażhab hilāl pada imkānur-ru’yat.

TABEL DISTRIBUSI UMUR BULAN QAMARIYAH
MENURUT HISAB ‘URFI

No. Nama bulan Umur (hari)

1. Muharram 30 hari
2. Safar 29 hari
3. Rabī’ul-Awwal 30 hari
4. Rabī’us-Sānī 29 hari
5. Jumādil-Ūlā 30 hari
6. Jumādil-Ākhir 29 hari
7. Rajab 30 hari
8. Sya’bān 29 hari
9. Ramadān 30 hari
10. Syawwāl 29 hari
11. Żul-Qa’dah 30 hari
12. Żul-Hijjah 29 hari*
* pada tahun kabisat berumur 30 hari.

Mażhab pertama dan kedua pada dasarnya hanya berpegang pada peristiwa ijtimā‘ (lengkapnya ijtimā‘un-nāyirain) atau conjunc­tion, yakni bertemunya matahari dan bulan pada bujur astronomik (dawā’irul-burūj) yang sama, tanpa mempertimbangkan posisi hilāl di ufuq barat pada saat terbenam matahari di akhir bulan yang sedang berjalan. Karena itu, bagi kedua mażhab ini ru’yatul-hilāl tidak dianggap penting.
Menurut mażhab pertama, bila ijtimā‘ terjadi sebelum mata­hari terbenam, berarti keesokan harinya sudah masuk tanggal 1 bulan baru. Sedangkan, menurut mażhab kedua, bila ijtimā‘ terjadi sebelum terbit fajar pada akhir bulan yang sedang berjalan, berarti sisa malam itu sudah termasuk tanggal 1 bulan berikutnya. Setahu saya, mażhab kedua ini banyak dianut ummat Muslim di Arab Saudi, sedangkan di Indonesia hanya dianut oleh sebagian kecil ummat Muslim saja.
Mażhab ketiga s.d. keenam pada dasarnya menetapkan awal bulan qamariyah berdasarkan posisi hilāl di ufuq barat pada saat matahari terbenam di akhir bulan yang sedang berjalan. Menurut mażhab ketiga, tanggal 1 dinyatakan sudah masuk bila posisi hilāl ada di atas ufuq haqīqī. Ufuq haqīqī adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus dengan garis vertikal dari si pengamat. Mażhab ini tidak mem­permasalahkan koreksi-koreksi dengan tinggi tempat pengamat (Dip), parallaks (ikhtilāful-manzar) atau beda lihat, refraction (daqā’iqul-ikhtilāf) atau pembiasan sinar, dan jari-jari atau semidiameter bulan.
Mażhab keempat (hilāl di atas ufuq hissī) berpendirian, bila pada saat matahari terbenam di akhir bulan yang sedang berjalan hilāl sudah ada (wujud, exist) di atas ufuq hissī, berarti malam­nya sudah dianggap tanggal 1 bulan baru. Ufuq hissī adalah bidang datar yang melewati mata sipengamat dan sejajar dengan ufuq haqīqī. Berbeda dengan mażhab ketiga, yang mem­perhitungkan tinggi hilāl dari titik pusat bumi, mażhab ini memperhitungkan tinggi hilāl dari atas permukaan bumi. Mażhab keempat ini, meskipun kurang populer, diakui eksistensinya oleh Musyawarah Hisab yang diadakan oleh Badan Hisab dan Ru’yat De­partemen Agama pada tahun 1970 di Yogyakarta.
Mażhab kelima (hilāl di atas ufuq mar’ī), yang merupakan pengembangan dari mażhab ketiga dan keempat, berpegang pada posisi hilāl di atas ufuq mar’ī (visible horizon). Ufuq mar’ī adalah bidang datar yang merupakan batas pemandangan mata penga­mat. Mażhab kelima ini, yang antara lain diikuti oleh alm. Bapak Sa’adoeddin Djambek, ketua Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama yang pertama dan juga dosen saya untuk mata kuliah Ilmu Falaq, melengkapi perhitungannya dengan koreksi-koreksi kerendahan ufuq (Dip), refraction, parallaks dan semidiameter bulan (yang rata-rata sekitar 16 menit busur). Mażhab ini dapat dipadukan dengan ru’yatul-hilāl.
Terakhir, mażhab kelima (hilāl pada imkānur-ru’yat) menetap­kan bahwa posisi hilāl di ufuq barat pada saat matahari terbenam setelah terjadinya ijtimā‘ di akhir bulan yang sedang berjalan harus mencapai ketinggian tertentu yang memungkinkan untuk dili­hat (diru’yat). Dalam hal ini ada perbedaan mengenai tinggi hilāl itu, tetapi biasanya berkisar antara minimal 5 derajat dan mak­simal 10 derajat di atas ufuq. Batas minimal ketinggian hilāl yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Ru’yat Internasional yang berpusat di Istanbul (Turki) adalah 7 derajat.
Sampai di sini kiranya jelas bahwa perbedaan dalam menetap­kan awal Ramadān dan Syawwāl (‘Īdul-Fitri) tidak hanya disebabkan oleh perbedaan cara atau metodenya: ru’yat dan hisab tetapi juga disebabkan oleh berbagai macam mażhab hisab yang dipergunakan.

Perbedaan Penafsiran

Menurut hemat saya perbedaan-perbedaan cara menentukan awal Ramadān dan Syawwāl itu, selain disebabkan oleh perbedaan data astronomik yang diacu, juga berakar pada perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait. Pada umum­nya ummat Muslim menafsirkan firman Allah dalam QS. 2:185 sebagai alasan pembenaran (raison d’etre) dan bahkan sebagai bukti sahnya ru’yatul-hilāl; apalagi dalam hadis dijelaskan bahwa Nabi selalu melakukan ru’yat atau istikmal (penggenapan bulan Sya’bān menjadi 30 hari) bila cuaca tidak memungkinkan dilakukannya ru’yatul-hilāl.
Bila kita perhatikan secara seksama sebenarnya kata-kata yang dipakai dalam firman Allah tersebut bukanlah ra’a, yara, ru’yat, melainkan syahida, yang pengertiannya tidak terbatas pada penglihatan dengan mata kepala. Selain itu ayat tersebut juga tidak menggunakan kata-kata hilāl, badr atau qamar; melainkan syahr yang semakna dengan month [bukan moon atau crescent] dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, secara etimologik, frasa syahid­asy-syahr tidak sama dengan ra’al-hilāl. Menurut pendapat saya, ru’yatul-hilāl adalah salah satu – bukan satu-satunya – cara untuk mengetahui awal bulan itu.
Perbedaan pemahaman juga terjadi terhadap firman Allah dalam QS. II:187 dan XXXVI:39. QS. II:187 yang artinya: “Makanlah dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, [karena cahaya] fajar,” oleh para pengikut mażhab hisab ijtimā‘ qablal-fajr dianggap sebagai alasan bahwa batas hari adalah fajar. Sedangkan QS. XXXVI:39, yang artinya: ”Dan telah Kami tetapkan posisi-posisi (manāzil) bulan hingga ia kembali seperti pelepah bunga kelapa (‘urjūn) yang tua,” oleh para penganut mażhab hisab qablal-gurūb dianggap sebagai alasan bahwa batas hari adalah terjadinya ijtimā‘, bukan fajar dan bukan pula terlihatnya bulan di saat matahari terbenam pada akhir bulan yang sedang berjalan.

Penutup

Saya sengaja tidak memberikan penilaian terhadap berbagai macam mażhab atau metode yang selama ini dianut oleh ummat kita, di Indonesia khususnya. Saya hanya berharap, mudah-mudahan tuli­san ini bisa menjadi catatan tambahan atas artikel sdr. Susiknan Azhari – atau bahkan sedikit memberi jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang secara implisit dikemukakannya. ***

Sumber: Suara Muhammadiyah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar