Kamis, Juli 30, 2009

PERANG DAN JIHAD

PERANG DAN JIHAD


Oleh Begum 'Aisyah Bawany



Kesalahpahaman sangat besar yang ada, terutama di Barat, adalah mengenai konsep jihad dalam Islam, dan mereka menduga bahwa jihad merupakan sinonim dari "perang" yang dilakukan untuk menyiarkan Islam. Benar-benar mengejutkan bahwa orang-orang yang dikenal sebagai sarjana-sarjana peneliti di Eropa tidak merasa perlu menengok Kamus bahasa Arab, atau mengacu al-Qur'an, untuk mendapatkan makna yang sebenarnya dan arti penting dari kata jihad itu. Kesalahpahaman ini tersebar begitu luas sehingga sarjana terkenal semacam A.J. Wensinck, ketika menyiapkan bukunya tentang Hadis, A Handbook of Early Muhammadan Traditions, sama sekali tidak memberikan sebuah acuan pun mengenai kata jihad, hanya menyebutkan kata "perang," seakan-akan kedua kata tersebut adalah istilah-istilah yang sinonim satu sama lain.


Penulis lain yang juga memiliki reputasi besar, Klein, dalam bukunya, The Religion of Islam, juga mengemukakan pernyataan serupa:



"Jihad - yakni berperang melawan orang-orang kafir dengan tujuan menaklukkan mereka agar mau memeluk aama Islam atau menaklukkan dan sama sekali menghancurkan mereka bila mereka enggan menjadi Muslim, dan karena itulah penyiaran Islam dan memenangkan atas semua agama dianggap sebagai tugas suci setiap bangsa Muslim."



Beginilah cara memutarbalikkan fakta-fakta dan [karena itu] pintu pun terbuka lebar bagi masuknya semua corak keberatan yang tidak beralasan dan banyaknya kritik terhadap ajaran-ajaran, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai Islam. Makna dan tujuan ang sebenarnya dari kata jihad adalah sebagai berikut.



Makna Jihad yang Sebenarnya



Kata jihad dipungut dari kata jahd atau juhd, yang berarti kemampuan, taruhan dan kekuasaan; dan kata jihad dan mujahadah berarti mempertaruhkan kemampuan seseorang - untuk mengusir musuh.


Al-Qur'an dan hadis secara berulang-ulang menekankan perlu­nya dan arti pentingnya pembelaan terhadap Islam. Jihad mempunyai pengertian perjuangan secara bersungguh-sungguh dengan mengerah­kan kemampuan pribadinya. Orang yang menyerahkan atau memperta­ruhkan dirinya secara jasmani maupun secara mental atau membelan­jakan harta miliknya di jalan Allah berarti dia benar-benar telah terlibat dalam Jihad. Tetapi dalam bahasa Syari‘ah, kata-kata ini juga dipergunakan dengan pengertian perang yang dilakukan semata-mata atas nama Allah, sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditetapkan untuk perang semacam itu dan dengan tujuan mengakhiri penindasan dan agresi terhadap Islam. Jadi tujuannya bukan untuk “mempropagandakan Islam,” tetapi untuk menyingkirkan kekuatan-kekuatan ti­rani yang memusuhi Islam dan yang sama sekali tidak bersedia ber­laku jujur dan adil.


Karena itu Jihad sama sekali tidak sinonim dengan perang, sedangkan makna “perang yang dilakukan untuk mempropagandakan Is­lam”, yang oleh para penulis Barat dianggap sebagai arti penting dari kata Jihad, tidak dikenal dalam bahasa Arab dan juga dalam ajaran-ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an.


Yang juga penting atau lebih penting untuk disebutkan di sini adalah pembahasan tentang makna kata tersebut yang dipergu­nakan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sudah diketahui oleh semua orang di mana-mana bahwa kebolehan [izin] untuk berperang diberi­kan kepada ummat Muslim setelah mereka berhijrah ke Madinah atau, secara lebih tepat, perintah-perintah pertama [untuk berperang] disampaikan [oleh Allah] menjelang mereka menaklukkan Mekah. Tetapi perintah-perintah yang berkaitan dengan Jihad termaktub dalam wahyu-wahyu [atau ayat-ayat] Makkiyyah[1] pada masa-masa pertama atau pun pada masa-masa terakhir. Surat Al-‘Ankabut di­wahyukan pada tahun kelima dan keenam kerasulan Nabi [Muhammad], dan kata Jihad dipergunakan dalam surat ini dengan pengertian me­ngerahkan kekuatan dan kemampuan seseorang secara bersungguh-sungguh, bukan dengan pengertian perang. Dalam salah satu ayat di katakan:

Dan mereka yang berjihad demi jalan Kami, pasti akan Kami tun­jukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. XXIX:69).


Jihad dalam hal ini merupakan upaya secara spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dan hasil dari Jihad ini dinyatakan [oleh Allah] berupa petunjuk Allah kepada orang-orang yang beru­paya dengan sungguh-sungguh di jalan-Nya.


Ada lagi kesalahpahaman lainnya yang sangat populer, yaitu, yang menyatakan bahwa di Mekah Al-Qur’an mengajarkan kesabaran (as-sabr) sedangkan di Madinah mengajarkan Jihad sehingga seakan-akan kesabaran dan Jihad itu merupakan dua hal yang bertentangan satu sama lain. Kesalahan dalam sudut pandang ini terlihat jelas bila kita membaca surat An-Nahl yang menyatakan:

Dan sesungguhnya Tuhanmu memberikan perlindungan kepada orang-orang yang berhijrah setelah mengalami cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar. Sesungguhnya setelah itu Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (QS. XVI:110).


Ketika mereka sampai di Madinah, ummat Muslim dipaksa untuk berjuang mati-matian demi masa depan mereka menghadapi serentetan serangan dari musuh-musuh mereka yang mengerahkan semua kekuatan untuk memusnahkan para pengikut Nabi Muhammad saw. Ummat Muslim diwajibkan mengangkat senjata untuk membela diri. Perjuangan ini, tentu saja, disebut Jihad juga – sebuah kata yang dipergunakan dalam pengertian lebih luas, yaitu perjuangan yang dilakukan de­ngan kata-kata atau perbuatan. Sekarang marilah kita perhatikan ayat-ayat berikut ini:

Wahai Nabi! Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah kepada mereka. Tem­pat kembali mereka adalah neraka Jahannam; suatu tempat kemba­li yang paling buruk. (QS. IX:73; LXVI:9)


Di sini Nabi ditawari untuk melaksanakan Jihad melawan orang-orang kafir maupun orang-orang munafik. Orang-orang munafik adalah orang-orang yang secara lahiriah menyatakan Muslim dan hidup di tengah-tengah mereka serta diperlakukan sama dalam se­gala hal sebagaimana orang-orang Muslim lainnya. Mereka datang ke masjid dan melakukan salat bersama ummat Muslim. Bahkan mereka juga membayar zakat. Menurut pendapat sejumlah ‘ulama’ Muslim pe­rintah untuk melaksanakan Jihad melawan orang-orang munafik tidak berarti memerangi mereka. Sebaliknya, Jihad tersebut mempunyai pengertian yang sama dengan kata Jihad yang dipergunakan dalam wahyu-wahyu [atau ayat-ayat] Makkiyyah, yaitu berupaya secara sungguh-sungguh memurnikan mereka dan mengembalikan mereka agar kembali menjadi Muslim yang baik. Sebenarnya ada ada contoh-con­toh lain mengenai penggunaan kata-kata ini dalam pengertian yang lebih luas. Sungguh merupakan kekeliruan bila orang beranggapan bahwa kata Jihad hanya berarti perang, sebab kata-kata tersebut hampir selalu dipergunakan dalam pengertian umum, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh, termasuk berperang bila konteksnya meng­haruskan demikian. [Firman Allah:] “Orang-orang yang beriman dan yang berhijrah meninggalkan rumah-rumah mereka serta berjihad di jalan Allah” (QS. II:218; VII:74), merupakan gambaran yang sama antara para pelaku perang dan yang berjuang menghadapi orang ka­fir dan orang jahat dengan berbagai cara lainnya. Orang-orang sabirin (yakni orang-orang yang menunjukkan kesabaran dan ketaba­han) dan orang-orang mujahidin (yakni orang-orang yang berjihad) juga dibicarakan bersama dalam wahyu [ayat] Madaniyyah sebagaima­na dalam wahyu [ayat] Makkiyyah. [Allah berfirman]:

Apakah kamu kira bahwa kamu akan masuk surga padahal Allah be­lum menyaksikan siapakah di antara kamu yang benar-benar ber­jihad dan yang menunjukkan kesabaran? (QS. III:141).
Berbagai Makna Jihad


Dalam ahadis (hadis-hadis) kata Jihad juga tidak secara eks­klusif digunakan dalam pengertian perang. Nabi Muhammad saw. ber­sabda: “Hajji adalah yang paling hebat di antara semua jihad.” (Sahih Bukhari, xxv:4). Kemudian Nabi juga menyebut ajakan seder­hana kepada Islam sebagai jihad; dengan sabdanya: “Mudah-mudahan orang Muslim mau menunjukkan jalan yang lurus kepada para Ahli Kitab, atau mengatakan yang baik kepada mereka.” (Sahih Bukhari, LVI: 99). Semua hadis ini menunjukkan bahwa Jihad mencakup peng­abdian kepada Islam dengan segala bentuknya – melalui ucapan, pena atau, bila perlu, dengan pedang.


Penyiaran agama Islam jelas merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, yang seharusnya mengikuti contoh teladan Nabi Muhammad saw., sedangkan “penyiaran Islam dengan menggunakan paksaan” me­rupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan teori maupun praktek Islam. Di pihak lain Al-Qur’an justeru menyatakan sebaliknya, de­ngan pernyataan tegasnya: “Tidak ada paksaan untuk memeluk aga­ma,” [sebab] “jalan yang benar sudah jelas sekali perbedaannya dengan jalan yang salah.” (QS. II: 256). Ayat ini diwahyukan sete­lah adanya kebolehan untuk melakukan perang, dan karena itu sudah dapat dipastikan bahwa kebolehan berperang tidak ada kaitan sama sekali dengan penyiaran agama.
Pengakuan akan Kebenaran


Bahwa Islam tidak pernah mengajarkan mengenai perang untuk menyiarkan agama merupakan fakta yang sekarang secara berangsur-angsur mulai diakui oleh para pemikir Barat. Setelah mengawali dengan artikelnya tentang Jihad dalam Encyclopaedia of Islam de­ngan menyatakan bahwa “penyiaran Islam dengan senjata me­rupakan kewajiban agama bagi ummat Muslim pada umumnya,” Duncan Black MacDonald, mempertanyakan kebenaran pernyataannya sendiri itu dengan menambahkan bahwa tidak ada satu keterangan pun dalam Al-Qur’an yang mendukung kebenaran pernyataan itu, dan bahwa dalam pikir­an Nabi sendiri pun gagasan itu tidak ada. [Dia menambahkan]:


Dalam beberapa surat Makkiyyah diajarkan untuk bersabar pada waktu mendapatkan serangan; karena tidak ada sikap lain yang mungkin diambil selain daripadanya. Namun di Madinah, hak untuk menghadapi serangan mulai diajarkan, dan secara berangsur-angsur ia ditetapkan sebagai kewajiban untuk berjuang menghadapi dan menaklukkan orang-orang [kafir] Mekah ... beberapa ayat dalam Al-Qur’an senantiasa menyatakan orang-orang kafir yang harus ditak­lukkan itu sebagai orang-orang yang berbahaya atau yang tidak beragama.


Yang sebenarnya adalah bahwa Al-Qur’an tidak menyuruh melaku­kan perang terhadap semua orang kafir agar mereka memeluk Islam, dan gagasan itu pun tidak terlintas sama sekali dalam pikiran Na­bi Muhammad saw. Karena itu merupakan pernyataan yang keliru bila dikatakan bahwa bersabar ketika diserang diajarkan di Mekah ka­rena tidak ada alternatif lain dan bahwa hak untuk melawan seran­gan diajarkan di Madinah. Sikap tersebut jelas merupakan sikap yang mengalami perubahan tetapi perubahan itu disebabkan oleh perubahan situasi dan lingkungan [bukan karena perubahan ajaran]. Di Mekah ketika itu terjadi penganiayaan yang dilakukan terhadap perorangan dan [karena itu] kesabaran diajarkan. Kebolehan yang pertama kali diberikan untuk melawan serangan dapat dipahami dari kata-kata yang menunjukkan bahwa musuh telah mengangkat pedang [senjata] atau telah siap mengangkat senjata. [Al-Qur’an menyata­kan]:

Kebolehan untuk berperang diberikan kepada orang-orang yang diserang karena mereka teraniaya dan Allah Maha Kuasa untuk membantu mereka. ... (QS. XXII:39)


Kebolehan ini diberikan kepada orang-orang yang diserang oleh musuh. Ia bukan kebolehan atau izin untuk memerangi orang-orang bukan-Muslim pada umumnya, melainkan hanya terhadap orang-orang yang memerangi ummat Muslim, atau yang melakukan perlakuan kejam dan agresi terhadap orang-orang yang lemah dan pemerintah-pemerintah tirani yang merampas kebebasan mereka. Perang itu bo­leh menggunakan kekuatan untuk melenyapkan kejahatan dan menga­khiri Tagut dan sama sekali tidak dimaksudkan agar mereka memeluk Islam, kecuali karena kehendak mereka sendiri.
Ayat yang kedua, yang memberikan izin kepada ummat Muslim untuk melakukan peperangan, adalah sebagai berikut:

Dan berperanglah di jalan Allah melawan orang-orang yang me­merangimu, dan jangan agresif. Sungguh Allah tidak menyukai agresor. (QS. II:190).


Di sini secara tegas ditentukan syarat bahwa umat Muslim tidak diperbolehkan menyerang lebih dahulu. Agresi secara tegas dinyatakan dilarang. Berperang untuk membela diri adalah perbua­tan yang mulia dan dinilai adil oleh siapa pun dan di mana pun.


Dengan demikian jelaslah bahwa ummat Muslim diperbolehkan melakukan perang untuk membela diri, untuk mempertahankan kebera­daannya, dan untuk melenyapkan perlakuan kejam dan tirani. Islam menempatkan perdamaian begitu tinggi sehingga umat Muslim diajar untuk mengakui perdamaian dan gencatan senjata selama terjadi permusuhan bila musuh benar-benar menghendakinya. [Al-Qur’an me­nyatakan]:

Dan bila mereka cenderung berdamai maka hendaknya kamu pun cenderung berdamai, dan berserah dirilah kepada Allah. Sesung­guhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan bila mereka bermaksud menipumu maka sesungguhnya Allah sudah cukup [seba­gai pelindungmu]. (QS. VIII:61, 62)


Jadi jelas bahwa perdamaian di sini disarankan meskipun kejujuran musuh diragukan. Inilah pandangan kita mengenai perang. Kami tidak berapologi mengenai Islam – tetapi itulah kebenaran yang murni. Kami hanya mengecualikan orang-orang yang secara keliru menyifati Islam. Pendapat kami adalah sebagai berikut.
Tidak ada Paksaan untuk Memeluk Agama


Islam adalah agama misioner [da‘wah] dan umat Muslim diwa­jibkan untuk menyiarkan agama mereka dan menegakkan Kalam Allah di muka bumi. Ada dua aspek dalam masalah perintah menegakkan kebenaran dan kebaikan dan mencegah kejahatan dan penindasan.


Ajaran-ajaran Islam tersebut menyatakan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama dan orang-orang yang memeluk agama lain tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Namun demikian, paksaan dapat – dan bahkan harus – digunakan untuk melenyapkan permusu­han, agresi dan penghancuran (Taghut) yang merupakan penyebab utama perlakuan kejam, penindasan dan intoleransi. Islam tidak menyuruh bertoleransi dengan orang yang tidak toleran dan dengan penindas. Abul A‘la al-Maududi dengan jelas menyatakan hal ini dalam bukunya Al-Jihad fil-Islam sebagai berikut:


Pedang Islam itu tajam bagi para agresor dan orang-orang yang ingin menghancurkan Islam dan ummat Muslim, atau yang menim­bulkan kekacauan di muka bumi ini dan melakukan penindasan dan kekejaman – dan tidak ada seorang pun bisa mengingkari kelu­huran pandangan ini. Tetapi orang-orang yang tidak tergolong penindas, agresor dan pelaku kekejaman, yang tidak bermaksud melenyapkan Islam atau menghalang-halangi jalan Allah serta tidak merusak perdamaian dan ketertiban masyarakat manusia, maka tajamnya pedang Islam itu tidak ada sangkut-pautnya de­ngan orang-orang ini. Mereka boleh memeluk agama apa pun, ber­pegang dan melaksanakan keyakinan apa pun, meskipun tidak be­nar dan tidak Islami. Islam tidak mengganggu mereka, [dan] ke­hidupan dan harta mereka oleh Islam dinyatakan haram (terla­rang) [untuk diambil] dan pedang Islam pun tidak dapat dikena­kan terhadap mereka.[2]


Perang dan Toleransi dalam Al-Qur’an


Sudut pandang yang kami kemukakan di atas didasarkan atas ajaran-ajaran Al-Qur’an sebagai berikut:

Siapa saja yang membunuh orang – kalau hal itu tidak dibenar­kan untuk dibunuh atau karena menyebarkan fitnah, kesalahan, kejahatan dan kekejaman – seakan-akan dia telah membunuh seluruh ummat manusia. (QS. V:32)

Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah atau penin­dasan dan kekejaman (dan tetap terjaga keadilan) dan agama adalah milik Allah; tetapi bila mereka menghentikan permusuhan itu maka tidak ada lagi perlawanan kecuali terhadap orang-orang yang melakukan penindasan. (QS. II:193)

Berperanglah di jalan Allah melawan orang-orang yang meme­rangimu, tetapi jangan memulai permusuhan itu (dan jangan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah). Se­sungguhnya Allah tidak menyukai para agresor. (QS. II:190)

Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri setelah tera­niaya, tidak berdosa sama sekali bagi mereka. Sesungguhnya dosa itu hanyalah bagi orang-orang yang berbuat lalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa alasan sah. Merekalah yang akan mendapatkan siksa pedih. (QS. XLII:41-2)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena alasan agama dan yang tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu berkawan dengan orang-orang yang memerangimu karena alasan agama dan mengusirmu dari negerimu dan membantu mengusirmu. Barangsiapa berkawan dengan mereka, mereka adalah orang-orang yang lalim. (QS. LX:8-9)


Perintah-perintah ini sangat eksplisit. Namun lebih jauh dijelaskan dalam Kitab Al-Qur’an bahwa penggunaan kekerasan dan paksaan untuk menyiarkan agama Islam tidak dibenarkan. [Al-Qur’an menyatakan]:

Tidak ada paksaan untuk memeluk agama [Islam]. Sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dan yang salah. Karena itu siapa saja yang mengingkari Tagut dan beriman kepa­da Allah, sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang kuat dan tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Menge­tahui. (QS. II:256)


Ayat ini diturunkan di Madinah dan peristiwa yang melatarbe­lakangi turunnya memberikan penjelasan atas makna ayat tersebut. Pada tahun keempat Hijrah Nabi Muhammad saw. mengusir Bani Nadir karena kesalahan mereka. Yang diasingkan itu termasuk anak-anak Ansar yang ketika itu termasuk penganut agama Yahudi. Sudah men­jadi kebiasaan bagi orang Madinah ketika itu bahwa bila anak-anak dari seorang perempuan tidak berbakti, dia harus memberi persetujuan untuk mengkonversikan anak yang masih hidup menjadi pemeluk agama Yahudi. Anak-anak inilah yang meninggalkan Madinah bersama-sama dengan Bani Nadir. Setelah sepenuhnya bisa mapan, kelompok Ansar mengakui bahwa mereka biasa membiarkan anak-anak mereka memeluk agama Yahudi ketika mereka belum termasuk ummat Muslim dan mengi­ra bahwa agama Yahudi lebih tinggi daripada agama mereka. Tetapi setelah Islam datang mereka menanggalkan pandangan yang tidak beralasan itu dan dengan sepenuh hati percaya kepada Islam. Dan akhirnya mereka ingin memaksa anak-anak mereka untuk memeluk aga­ma Islam dan mengatakan bahwa bagaimanapun juga mereka tidak rela membiarkan anak-anak mereka tetap memeluk agama Yahudi. Dalam konteks inilah ayat tersebut diturunkan dan ayat itu mengatakan: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama.”[3]


Para Fuqaha’ tentang Toleransi


Para fuqaha’ [ahli Hukum Islam] dan para ahli Syari‘ah de­ngan sangat jelas telah menjelaskan berbagai makna dari ayat yang meletakkan postulat hukum fundamental ini. Ibnu Kasir, seorang ‘ulama’ besar, menulis dalam Kitab Tafsir monumentalnya:


Jangan memaksa siapa pun untuk memeluk agama Islam, karena agama ini sudah begitu jelas dan nyata kebenarannya, argumen-argumennya begitu jelas dan meyakinkan, pesannya begitu terang sehingga tidak perlu memaksa orang untuk masuk ke dalamnya. Siapa saja yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan hatinya terbuka untuk menerima kebenaran – akan memeluknya dengan ke­mauannya sendiri, dan orang-orang yang hati dan pikirannya te­lah tertutup tidak ada perlunya untuk dipaksa masuk ke dalam­nya.[4]


Mufassir terkenal Zamakhsyari, ketika menjelaskan makna ayat ini, menulis:


Allah tidak membolehkan penggunaan kekerasan dan paksaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan iman (kepercayaan) dan menyuruh membiarkannya sesuai dengan kebebasan berpikir setiap orang.
Ayat ini dijelaskan oleh ayat lain dalam Al-Qur’an:

Seandainya Allah berkehendak pastilah seluruh ummat manusia memeluk Islam. Wahai Nabi [Muhammad]! Apakah kamu akan memaksa orang-orang itu untuk menjadi Muslim?


Ini berarti bahwa seandainya Allah menghendaki semua orang menjadi Muslim, Dia pasti menjadikan mereka Muslim. (Tetapi Dia tidak bermaksud demikian) dan membiarkan persoalan itu untuk diputuskan oleh ummat manusia sesuai dengan kebebasan berkehendak dan kebebasan berpikir mereka.[5]


Sementara itu filosuf dan mufassir terkenal, Fakhruddin ar-Razi, menulis dalam Tafsirnya:
Pandangan ini (bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama) lebih jauh dikonfirmasikan oleh kenyataan bahwa segera setelah ayat ini Allah berfirman: “Jalan yang benar jelas sekali ber­beda dengan jalan yang salah.” Jadi beberapa alasan telah di­kemukakan secara eksplisit dan berbagai argumen telah dijelas­kan. Cara lain yang dibiarkan [untuk dinilai oleh nalar dan hati manusia] adalah cara pemaksaan bahkan tidak sesuai, dan hal itu tidak diizinkan, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip tanggung-jawab manusia.
[6]


Pembahasan di atas dengan sangat jelas menunjukkan ancangan Islam tentang toleransi. Pandangan ini dinyatakan dalam Al-Qur’an dan telah diangkat, dengan semangat yang sama, oleh semua pemikir Muslim kenamaan sepanjang zaman. Apakah ini merupakan intoleran­si? Apakah ini fanatisme? Pertanyaan-pertanyaan itu kita serahkan kepada para pengeritik Islam untuk mereka buktikan seandainya ada keterangan yang menguatkan tuduhan-tuduhan mereka.



Catatan:


[1]Wahyu atau ayat Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diwahyukan di Mekah atau di tempat lain sebelum tahun 622 di saat mana Nabi berhijrah ke Madinah. Sedangkan ayat Madaniyyah adalah yang di­wahyukan di Madinah atau di tempat lain setelah Nabi berhijrah ke Madinah. (MH)

[2]Abul A’la Maududi, Al-Jihad fil-Islam, Lahore: Islamic Publications, Ltd., hlm. 122.

[3]H. R. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hayyan. Lihat Maududi, ibid., hlm. 122-3.



[4]Tafsir Ibnu Kasir, terjemahan bahasa Urdu, Karachi, jilid III, hlm.7.


[5]Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, yang dikutip oleh al-Mau­dudi, op. cit., hlm. 124.


[6]Imam ar-Razi, yang dikutip oleh al-Maududi, op. cit., hlm. 125.




Sumber: Begum 'A'isyah Bawany, Mengenal Islam Selayang Pandang, terj. Machnun Husein (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 92-104.