Islam and Science
By Dr. Najah Kadhim*
Can science co-exist with Islam?
Can science and Islam cohabitate?
Can science correlate with Islam?
Muslim religious scholars (or Ulamas) reject science, as they fear that the study of religious and philosophical implications of Science (in its western form) would have a bearing on the reality of Muslim mind.
This traditional view about science and intellect, possibly began with the period of Ghazali who believed that "studying science runs the risk of being infected by its vice". This mentality makes an intellectual thought a rarity and the poverty of rational thought is the order of the day. This paved the way for today's modern puritanical Muslim thinking which rejects the discussion of the basic philosophical questions of science. They are happy to use the end products and fruits of science leaving aside its implications. With this kind of thinking and methodology the answer to the first question is probably 'no'.
There is a belief however, that "Islamisation of knowledge" is the right route to build scientific foundations in the world of Islam.
The basic question is how could Muslims build such a base without the thorough study and attentive investigation of Western science?
Muslims have no documentation of their linguistic and literal work, let alone science and scientific and Muslim achievement, in the past 500 years. There are hardly any historians of science (one face of humanities) and the generations of science philosophers (the other face of humanities) to formulate a history of ideas.
The study of the logic and philosophy of science would be the initial step in preparing the ground for the advent of science in the world of Islam. This would also include a deeper knowledge of Islamic thought and the modern reading of the Holy Qura'nic texts to absorb their ethical, linguistic, historical and cosmological message. These studies and investigations should correlate one another. Their documentation is essential in order to provide the wealth of information that would constitute the sought after knowledge. There is also a need for the brilliance and co-operation of scientists and scholars to derive and deduce the required knowledge.
This is a huge task that requires much time to bear fruits (if any). In view of this the answer to the second question is possibly "no".
The answer to the third question is "in all likelihood, yes". One has to understand that the fundamentals of science differ from the fundamentals of religion. Science determines how the universe or nature and their laws function, i.e. the human use of scientific knowledge is to solve mysteries and understand the phenomena that is associated with them, whereas the role of religion is to fathom the reasons and wisdom behind all this.
Scientific reality in most Muslim countries is reduced to a mere practice or technique. They are consumers of knowledge rather than practitioners of it, employers of results rather than those who produce results. In other words they are not able to abstract science and make it their own, to suit their conditions and environment as in India or other countries. Perhaps the alternative technology is a simple case in point.
Most importantly Muslims need to modernise or acquiesce the mind to enable it to produce the scientific ideas and embody the rational thought in the Muslim intellectual universe.
It is ironic that in the great Middle Ages, the Muslim philosopher, Ibn Rushd or Averroes (the Latin name) produced the scientific rational and modern thought that sparked the era of Western science, when Islamic science was coming to an end.
In the words of the founding fathers of science, Ibn Rushd represented, rationalism, "the rationalism that led to modern science." This indicates that it is possible and even fruitful for one culture to learn the science of another. To profit from the diversity of human knowledge and other modes of experience, to encourage the making of one's own metaphor.
" Najah Kadhim (PhD) is a University Senior Lecturer, and
" Director of IFID (International Forum for Islamic Dialogue
Sabtu, Oktober 03, 2009
Nasib Profesor di Indonesia
Nasib Profesor di Indonesia
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Administrator
Seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama kali mengajar di perguruan tinggi, menerima gaji kurang lebih Rp 2,7 juta per bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang kuliah satu atau dua orang, Anda bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk mengatur bujet rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem ''menghina''.
Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan, pendapatannya sama.
Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang terhormat ini, seorang profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang. Jangankan dengan wakil rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.
Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut di atas itu.
Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk kepentingan survival, sekadar bertahan hidup. Nasib saya pribadi karena pernah memberi kuliah di Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada, plus anggota DPA selama lebih sedikit lima tahun, memang agak mendingan. Ditambah lagi jumlah anak dan istri tunggal. Sewaktu belajar di Chicago, istri saya juga sempat bekerja sebagai baby sitter (pengasuh anak) dengan penghasilan yang lumayan. Dengan kondisi ini, kami bisa menabung. Penghasilan lain juga datang dari sumber-sumber lain, seperti dari menulis dan bantuan teman.
Sekiranya penghasilan saya hanya sebagai seorang profesor dengan golongan IVe sekalipun, saya hanya akan gigit jari bila berkunjung ke toko buku. Paling-paling hanya lihat daftar isi, dan kalau ada waktu baca kesimpulan buku itu. Setelah itu pulang sambil mengenang alangkah bagusnya buku itu.
Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi mereka yang mendapatkan PhD di luar negeri, adalah pekerja keras dengan membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut ''mencerdaskan kehidupan bangsa'' pada tingkat perguruan tinggi.
Pemegang PhD setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Urusan buku terpaksa menjadi agenda nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya, buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan perkuliahan.
Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar, termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.
Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.
Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor) hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang anggota DPR pusat sekitar 19 X lipat gaji seorang profesor penuh per bulan. Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin berkibar dan kumuh, sementara masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap jadi calo proyek.
Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia.
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19
Afzal Saiful Ammar - Mahasiswa |202.152.232.xxx |2007-02-15 10:39:48
Dunia pendidikan di Indonesia memang boleh dikatakan sangat buruk, para guru
yang bertugas sebagai pencerdas bangsa dituntut untuk dapat bekerja semaksimal
mungkin akan tetapi bagaimana keadaan perekonomian mereka sepertinya masih
kurang diperhatikan oleh pemerintah.Bagaimana mungkin para guru akan dapat
menjalankan tugasnya dengan benar-benar memperhatikan , mengawasi, dan mengajar
siswanya. Sedangkan dirumah sana ia juga harus masih memikirkan banyaknya
kebutuhan yang harus dipenuhi sedangkan uang yang ia punya belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Maka secara otomatis para guru tersebut harus
mencari pekerjaan sambilan untuk mendapatkan uang yang akan digunakan sebagai
tambahan masukan keuangan rumah tangganya, dan pada akhirnya perhatian seorang
guru secara otomatis pasti terbagi, tidak lagi dapat memikirkan siswa-siswanya
secara penuh. Nah, halitu merupakan salah satu dampak dari kurang
diperhatikannya masalah kesejahteraan guru.
Ketika keadaan ekonimi Indonesia terpuruk saat ini, kok masih ada angoota DPR yang minta untuk dinaikkan gajinya!dimana malu mereka? atau jangan-jangan mereka sudah tak punya rasa malu lagi! PAdahal kalau difikir gaji mereka itu bisa dikatakan bahwa mereka adalah yang masuk kedalam kelompok pegawai pemerintah yang mempunyai gaji yang cukup besar.
Lalu juga ada orsng-orang pemerintahan yang suka foya-foya, menyambut tamu dari
negara lain dengansambutan yang berlebihan bahkan mencapai milyaran, padahal
untuk biaya pendidikan yang seharusnya lebih diutamakan malah dikesampingkan.
Bahkan lebih tragis lagi masih banyak orang miskin yang untuk makan nanti saja
belum ada,ada yang harus puasa karena tidak ada makanan.Mereka tidak tahu apa
yang akan mareka makan besok. Dimanakah perasaan para petinggi pemerintahan?
Kalau saya boleh bertanya masihkah kursi pemerintahan akan
menjadi ajang perebutan seandainya gaji posisi yang diperebutkan itu sebesar
gaji guru sekarang? Saya rasa kursi pemerintahan itu diperebutkan karena
sebagian besar dari mereka adalah hanya uang dan kekuasaan,
Muchlis - S.Pd. |203.130.209.xxx |2007-05-14 14:57:26
Benar koq Syafei, Profesor saja begitu apalagi guru. Kasihan. Mengapa? Ya, Guru
= Wagu dan kuru (he..he..he..)
Muchlis - S.Pd. |203.130.209.xxx |2007-05-14 15:08:00
Bapak Achmad S.Maarif yth. Maaf. sekali lagi maaf. Demi Allah, saya tidak
bermaksud memanggil nama Bapak tanpa didahului kata Bapak. Saya menyadarinya
setelah komentar ini saya kirimkan. sekali lagi maaf ya, Pak atas kesalahan saya
karena telah memanggil nama Bapak dengan "njangkar"
sunardi - spd |203.130.201.xxx |2007-06-02 08:53:51
[color=white]saya sangat setuju dengan pendapat bapak ternyata indonesia tidak
memperhatikan pendidik secara benar benar
GHOZALI - AS |125.164.121.xxx |2007-06-03 07:31:43
BENER KYI KLAU NEGARA MAU MAJU HARUS MENGHARGAI GURUNYA BUKAN DEWANNYA UNTUK
KORUPSI
zaenal arifin - mahasiswa |116.12.40.xxx |2007-06-04 14:47:20
kelemahan indonesia adalah kurang bisa menghargai perjuangan.
alfikri |Registered |2007-06-05 08:50:20
saya sangat prihatin dengan guru saat saat ini, apalagi seorang profesor yang
tidak dimulyakan, tapi kita sebagai orang muhammadiyah, juga harus bijak,
rasulullah pernah kah ia dibayar mahal untuk berdakwah kepada umatnya, atau
berapa yang harus dibayar umatnya ketika ia mengajarkan ilmunya? adakah
rasulullah bergelar profesor dan bergelar haji? kita ini tabiaatnya adalah
pengen dihargai (termasuk saya sendiri) tetapi kembalikan ini kepada ajaran
Rasulullah
wallahu'alam bissawab
Syafrizal Siregar |125.162.58.xxx |2007-07-17 15:10:01
Guru...Profesorpun dia, sungguh malang nian nasibmu hidup ditanah yang subur
tetapi kepalamu sampai gundul karena kehilang kesuburan (memikirkan nasib
pendidikan anak bangsa), beginilah baru keseriusan penentu bangsa memikirkan
rakyat ini.Tapi keikhlasan tetap mendampingi profesor kita.
Gilang Satrio - Pengusaha,musisi,konseptor,mah |210.213.160.xxx |2007-07-24 15:42:47
bangsa kita adalah bangsa besar..sisi negatif pendidikan kiblat barat membuat
kita menjadi kapitalis tanpa integritas..jika tanpa disertai fundamental
pancasila..liat aja monyet2 BLBI itu..mereka kabur seperti pengecut..
Gilang Satrio - Pengusaha,musisi,konseptor,mah |210.213.160.xxx |2007-07-24 15:43:33
bangsa kita adalah bangsa besar..sisi negatif pendidikan kiblat barat membuat
kita menjadi kapitalis tanpa integritas..jika tanpa disertai fundamental
pancasila..liat aja monyet2 BLBI itu..mereka kabur seperti pengecut..
Natsir - Muhammadiyah Harus Memulai |203.128.91.xxx |2007-08-23 12:36:56
Apa yang ditulis adalah kenyataan, bahkan hal itu tidak hanya berlaku bagi
professor ataupun guru yang bekerja di perguruan tinggi negeri tetapi juga
swasta termasuk PT-Muhammadiyah. Hanya sedikit sekali perguruan tinggi Islam
yang telah bisa menjamin kesejahteraan dosennya (prof). Kapan muhammadiyah akan
melakukannya???
Anonymous |203.128.91.xxx |2007-08-23 12:37:34
top
Caswani - guru |125.160.216.xxx |2007-09-02 11:29:37
Benar itu, prof. Penghargaan kepada praktisi pendidikan sangat renah di
Indonesia. Jangankan untuk menaikkan gaji guru atau dosen, untuk anggaran
pendidikan saja masih belum bisa mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan
undang-undang.
Caswani - guru |125.160.216.xxx |2007-09-02 11:30:06
Benar itu, prof. Penghargaan kepada praktisi pendidikan sangat renah di
Indonesia. Jangankan untuk menaikkan gaji guru atau dosen, untuk anggaran
pendidikan saja masih belum bisa mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan
undang-undang.
Handi - Dosen |202.59.164.xxx |2007-09-09 18:01:20
Negara Indonesia ini sangat menghinakan para dosen dan guru. Walaupun sudah
mengalami berbagai pergantian kabinet, tetap saja tidak dapat mengubah keadaan.
Jadi apanya yang salah? Kabinetnya atau SISTEMnya?
Tajul Arifin-Dosen |222.124.17.xxx |2007-09-24 16:26:19
Benar sekali apa yang dikatakan Prof. Ahmad Syafi'i Ma'arif, guru saya yang
cerdas dan berani. Gaji Professor di Indonesia sekarang ini bahkan lebih rendah
dari gaji petugas kebersihan di Australia. Demikian rendah penghargaan
pemerintah kita pada ilmuwan. Jelas perlakuan itu amat sangat bertentangan
dengan ajaran Islam yang memposisikan ilmuwan pada peringkat teratas. Kapan
pemerintah kita akan menghargai para penyebar ilmu secara wajar, sehingga
perjuangan mereka dalam mencerdaskan bangsa akan semakin gigih.
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Administrator
Seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama kali mengajar di perguruan tinggi, menerima gaji kurang lebih Rp 2,7 juta per bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang kuliah satu atau dua orang, Anda bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk mengatur bujet rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem ''menghina''.
Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan, pendapatannya sama.
Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang terhormat ini, seorang profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang. Jangankan dengan wakil rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.
Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut di atas itu.
Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk kepentingan survival, sekadar bertahan hidup. Nasib saya pribadi karena pernah memberi kuliah di Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada, plus anggota DPA selama lebih sedikit lima tahun, memang agak mendingan. Ditambah lagi jumlah anak dan istri tunggal. Sewaktu belajar di Chicago, istri saya juga sempat bekerja sebagai baby sitter (pengasuh anak) dengan penghasilan yang lumayan. Dengan kondisi ini, kami bisa menabung. Penghasilan lain juga datang dari sumber-sumber lain, seperti dari menulis dan bantuan teman.
Sekiranya penghasilan saya hanya sebagai seorang profesor dengan golongan IVe sekalipun, saya hanya akan gigit jari bila berkunjung ke toko buku. Paling-paling hanya lihat daftar isi, dan kalau ada waktu baca kesimpulan buku itu. Setelah itu pulang sambil mengenang alangkah bagusnya buku itu.
Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi mereka yang mendapatkan PhD di luar negeri, adalah pekerja keras dengan membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut ''mencerdaskan kehidupan bangsa'' pada tingkat perguruan tinggi.
Pemegang PhD setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Urusan buku terpaksa menjadi agenda nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya, buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan perkuliahan.
Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar, termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.
Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.
Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor) hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang anggota DPR pusat sekitar 19 X lipat gaji seorang profesor penuh per bulan. Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin berkibar dan kumuh, sementara masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap jadi calo proyek.
Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia.
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19
Afzal Saiful Ammar - Mahasiswa |202.152.232.xxx |2007-02-15 10:39:48
Dunia pendidikan di Indonesia memang boleh dikatakan sangat buruk, para guru
yang bertugas sebagai pencerdas bangsa dituntut untuk dapat bekerja semaksimal
mungkin akan tetapi bagaimana keadaan perekonomian mereka sepertinya masih
kurang diperhatikan oleh pemerintah.Bagaimana mungkin para guru akan dapat
menjalankan tugasnya dengan benar-benar memperhatikan , mengawasi, dan mengajar
siswanya. Sedangkan dirumah sana ia juga harus masih memikirkan banyaknya
kebutuhan yang harus dipenuhi sedangkan uang yang ia punya belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Maka secara otomatis para guru tersebut harus
mencari pekerjaan sambilan untuk mendapatkan uang yang akan digunakan sebagai
tambahan masukan keuangan rumah tangganya, dan pada akhirnya perhatian seorang
guru secara otomatis pasti terbagi, tidak lagi dapat memikirkan siswa-siswanya
secara penuh. Nah, halitu merupakan salah satu dampak dari kurang
diperhatikannya masalah kesejahteraan guru.
Ketika keadaan ekonimi Indonesia terpuruk saat ini, kok masih ada angoota DPR yang minta untuk dinaikkan gajinya!dimana malu mereka? atau jangan-jangan mereka sudah tak punya rasa malu lagi! PAdahal kalau difikir gaji mereka itu bisa dikatakan bahwa mereka adalah yang masuk kedalam kelompok pegawai pemerintah yang mempunyai gaji yang cukup besar.
Lalu juga ada orsng-orang pemerintahan yang suka foya-foya, menyambut tamu dari
negara lain dengansambutan yang berlebihan bahkan mencapai milyaran, padahal
untuk biaya pendidikan yang seharusnya lebih diutamakan malah dikesampingkan.
Bahkan lebih tragis lagi masih banyak orang miskin yang untuk makan nanti saja
belum ada,ada yang harus puasa karena tidak ada makanan.Mereka tidak tahu apa
yang akan mareka makan besok. Dimanakah perasaan para petinggi pemerintahan?
Kalau saya boleh bertanya masihkah kursi pemerintahan akan
menjadi ajang perebutan seandainya gaji posisi yang diperebutkan itu sebesar
gaji guru sekarang? Saya rasa kursi pemerintahan itu diperebutkan karena
sebagian besar dari mereka adalah hanya uang dan kekuasaan,
Muchlis - S.Pd. |203.130.209.xxx |2007-05-14 14:57:26
Benar koq Syafei, Profesor saja begitu apalagi guru. Kasihan. Mengapa? Ya, Guru
= Wagu dan kuru (he..he..he..)
Muchlis - S.Pd. |203.130.209.xxx |2007-05-14 15:08:00
Bapak Achmad S.Maarif yth. Maaf. sekali lagi maaf. Demi Allah, saya tidak
bermaksud memanggil nama Bapak tanpa didahului kata Bapak. Saya menyadarinya
setelah komentar ini saya kirimkan. sekali lagi maaf ya, Pak atas kesalahan saya
karena telah memanggil nama Bapak dengan "njangkar"
sunardi - spd |203.130.201.xxx |2007-06-02 08:53:51
[color=white]saya sangat setuju dengan pendapat bapak ternyata indonesia tidak
memperhatikan pendidik secara benar benar
GHOZALI - AS |125.164.121.xxx |2007-06-03 07:31:43
BENER KYI KLAU NEGARA MAU MAJU HARUS MENGHARGAI GURUNYA BUKAN DEWANNYA UNTUK
KORUPSI
zaenal arifin - mahasiswa |116.12.40.xxx |2007-06-04 14:47:20
kelemahan indonesia adalah kurang bisa menghargai perjuangan.
alfikri |Registered |2007-06-05 08:50:20
saya sangat prihatin dengan guru saat saat ini, apalagi seorang profesor yang
tidak dimulyakan, tapi kita sebagai orang muhammadiyah, juga harus bijak,
rasulullah pernah kah ia dibayar mahal untuk berdakwah kepada umatnya, atau
berapa yang harus dibayar umatnya ketika ia mengajarkan ilmunya? adakah
rasulullah bergelar profesor dan bergelar haji? kita ini tabiaatnya adalah
pengen dihargai (termasuk saya sendiri) tetapi kembalikan ini kepada ajaran
Rasulullah
wallahu'alam bissawab
Syafrizal Siregar |125.162.58.xxx |2007-07-17 15:10:01
Guru...Profesorpun dia, sungguh malang nian nasibmu hidup ditanah yang subur
tetapi kepalamu sampai gundul karena kehilang kesuburan (memikirkan nasib
pendidikan anak bangsa), beginilah baru keseriusan penentu bangsa memikirkan
rakyat ini.Tapi keikhlasan tetap mendampingi profesor kita.
Gilang Satrio - Pengusaha,musisi,konseptor,mah |210.213.160.xxx |2007-07-24 15:42:47
bangsa kita adalah bangsa besar..sisi negatif pendidikan kiblat barat membuat
kita menjadi kapitalis tanpa integritas..jika tanpa disertai fundamental
pancasila..liat aja monyet2 BLBI itu..mereka kabur seperti pengecut..
Gilang Satrio - Pengusaha,musisi,konseptor,mah |210.213.160.xxx |2007-07-24 15:43:33
bangsa kita adalah bangsa besar..sisi negatif pendidikan kiblat barat membuat
kita menjadi kapitalis tanpa integritas..jika tanpa disertai fundamental
pancasila..liat aja monyet2 BLBI itu..mereka kabur seperti pengecut..
Natsir - Muhammadiyah Harus Memulai |203.128.91.xxx |2007-08-23 12:36:56
Apa yang ditulis adalah kenyataan, bahkan hal itu tidak hanya berlaku bagi
professor ataupun guru yang bekerja di perguruan tinggi negeri tetapi juga
swasta termasuk PT-Muhammadiyah. Hanya sedikit sekali perguruan tinggi Islam
yang telah bisa menjamin kesejahteraan dosennya (prof). Kapan muhammadiyah akan
melakukannya???
Anonymous |203.128.91.xxx |2007-08-23 12:37:34
top
Caswani - guru |125.160.216.xxx |2007-09-02 11:29:37
Benar itu, prof. Penghargaan kepada praktisi pendidikan sangat renah di
Indonesia. Jangankan untuk menaikkan gaji guru atau dosen, untuk anggaran
pendidikan saja masih belum bisa mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan
undang-undang.
Caswani - guru |125.160.216.xxx |2007-09-02 11:30:06
Benar itu, prof. Penghargaan kepada praktisi pendidikan sangat renah di
Indonesia. Jangankan untuk menaikkan gaji guru atau dosen, untuk anggaran
pendidikan saja masih belum bisa mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan
undang-undang.
Handi - Dosen |202.59.164.xxx |2007-09-09 18:01:20
Negara Indonesia ini sangat menghinakan para dosen dan guru. Walaupun sudah
mengalami berbagai pergantian kabinet, tetap saja tidak dapat mengubah keadaan.
Jadi apanya yang salah? Kabinetnya atau SISTEMnya?
Tajul Arifin-Dosen |222.124.17.xxx |2007-09-24 16:26:19
Benar sekali apa yang dikatakan Prof. Ahmad Syafi'i Ma'arif, guru saya yang
cerdas dan berani. Gaji Professor di Indonesia sekarang ini bahkan lebih rendah
dari gaji petugas kebersihan di Australia. Demikian rendah penghargaan
pemerintah kita pada ilmuwan. Jelas perlakuan itu amat sangat bertentangan
dengan ajaran Islam yang memposisikan ilmuwan pada peringkat teratas. Kapan
pemerintah kita akan menghargai para penyebar ilmu secara wajar, sehingga
perjuangan mereka dalam mencerdaskan bangsa akan semakin gigih.
Gempa Sumbar Cobaan dan Peringatan
MUI: Gempa Sumbar Cobaan dan Peringatan
Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:02 WIB
MEDAN, KOMPAS.com - Gempa yang terjadi di Sumbar merupakan cobaan dan peringatan, baik bagi warga di ranah Minang itu maupun di daerah lain. "Karena itu, semua pihak harus mampu membuka mata hatinya terhadap musibah tersebut," kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut, Prof Dr H. Abdullah Syah, MA di Medan, Kamis malam.
Menurut Abdullah Syah, setiap musibah yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak atau paling tidak atas izin Allah SWT. Banyak maksud dan tujuan yang ingin Allah SWT sampaikan melalui musibah itu, termasuk musibah gempa yang terjadi di Sumbar tersebut.
Gempa itu bisa saja bertujuan untuk menguji dan mengetahui kadar keimanan dan kesabaran warga Sumbar terhadap ketentuan Allah SWT. Untuk itu, warga Sumbar yang mengalami musibah tersebut harus banyak bersabar sambil terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.
"Orang yang mendapatkan musibah lalu bersabar dan berserah diri, Allah SWT pasti akan memuliakan dan mengangkat derajat manusia itu," kata Guru Besar IAIN Sumut itu.
Selain itu, kata Abdullah, ujian tersebut juga berlaku untuk kelompok masyarakat yang tidak terkena musibah apakan merasa prihatin dan bersedia memberikan bantuan untuk saudaranya yang sedang dalam kesulitan.
Karena itu, seluruh masyarakat, khususnya umat Islam harus bersedia memberi untuk meringankan kesusahan dan kesedihan yang dialami warga Sumbar yang menjadi korban gempa tersebut. "Sebenarnya, banyak yang mereka (warga Sumbar) butuhkan, baik bantuan makanan, obat-obatan maupun pakaian yang layak," katanya.
Namun, musibah gempa itu juga bisa berarti peringatan karena banyaknya maksiat atau perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan agama. Untuk itu, selain bersabar, warga Sumbar yang mengalami musibah gempa tersebut juga harus banyak memohon ampun kepada Allah SWT karena mungkin banyak melakukan kesalahan.
Peringatan itu juga berlaku untuk masyarakat di daerah lain, termasuk Sumut agar banyak memohon dan bertobat jika telah melakukan kesalahan dosa.
Selain itu, musibah tersebut juga peringatan untuk pemerintah agar lebih giat memberantas maksiat dan perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama. "Pemerintah harus sadar, banyaknya tempat maksiat justru mengundang bala bagi daerah itu," katanya.
Sebelumnya, gempa berkekuatan 7,6 pada Skala Richter mengguncang Sumbar pada Rabu (30/9) pukul 17.16 WIB yang terjadi pada episentrum 0,84 lintang selatan (LS) dan 99,65 bujur timur (BT). Pusat gempa berada pada 57 Km barat laut Pariaman, Provinsi Sumbar, pada berkedalaman 71 Km.
Pada pukul 17.38 WIB terjadi gempa susulan dengan kekuatan 6,2 SR pada episentrum 0,72 LS dan 99,94 BT dan pusat berada di 22 Km barat daya Pariaman Provinsi Sumbar dengan kedalaman 110 Km.
Selain menghancurkan ratusan, bahkan ribuan bangunan, gempa tersebut juga menewaskan ratusan warga Sumbar.
Sent from Indosat BlackBerry powered by
KSP
Sumber : Antara
Ada 51 Komentar Untuk Artikel Ini.
andhika @ Sabtu, 3 Oktober 2009 | 02:22 WIB
@abdullah : kalau gitu, Allah tidak mau menyadarkan sebagian orang kembali ke jalan-Nya dong.
rizal @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 22:46 WIB
pernakah terbesit di benak kita tuk berfikir mengapa dan mengapa negara kita tercinta selalu di landa bencana yang bertubi-tubi??/ akankah kita akan berfikir dan memaknai itu semua hanya sekedar "musibah" yang datang dari Allah Swt dan ujian atas tingkat kesabaran kita sebagai hamba-Nya??? tidakkah cukup cobaan demi cobaan, musibah demi musibah yang beruntun menimbah bangsa kita tercinta itu kita maknai hanya skedar musibah. tentunya di balik semua itu ada pesan dari Allah Swt yang hrs kita baca
Mora @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 11:40 WIB
Mari Kita berbenah diri menuju Ridhonya Allah, dan jangan berburuk sangka kepada Allah karena Alam semesta ini adalah milikNYa, makanya mari kita mohon kepada Allah agar kita selalu diberi petunjuk di jalan yang LURUS, Amiiin
adriani @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 11:03 WIB
semua ini peringatan buat qta bukan hanya utk org2 didaerah tertentu.....agar qta lbh bertaqwa...
nero @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:56 WIB
Byk yg menghubungkan bencana alam di Sumbar dg ayat Al Qur'an, dg pemerintah yg buruk, dg dosa yg diperbuat. Kok bisa ? apa korban itu dianggap tumbal ? itu sebagai hukuman atas dosa2 mrk ? korban tewas itu pelajaran bagi yg hidup ? Astagfirullahalaziim. Byk ngr kafir dan penuh maksiat, mengapa mereka tidak kena bencana ? kok seakan2 bencana yg datang adlh hukuman atas mrk sih...
nero @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:55 WIB
Byk yg menghubungkan bencana alam di Sumbar dg ayat Al Qur'an, dg pemerintah yg buruk, dg dosa yg diperbuat. Kok bisa ? apa korban itu dianggap tumbal ? itu sebagai hukuman atas dosa2 mrk ? korban tewas itu pelajaran bagi yg hidup ? Astagfirullahalaziim. Byk ngr kafir dan penuh maksiat, mengapa mereka tidak kena bencana ? kok seakan2 bencana yg datang adlh hukuman atas mrk sih...
niargolan @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:47 WIB
Apapun yang terjadi, kita wajib bersyukur pada TUHAN YANG MAHA ESA
Djekson Pandeirot @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:42 WIB
GILIRAN DI PADANG,AHLI2 AGAMA BILANG BANYAK DOSA..TAPI KALO RATUSAN SAMPE RIBUAN CALON HAJI MENINGGAL GENCET2AN DI TEROWONGAN MINA,DI BILANG ITU CUMA KEHENDAK ALLAH,GAK ADA YG DI SALAHIN,PADAHAL ITU JELAS2 SALAHNYA DAN KEBODOHAN SEMUA PIHAK,MAKANYA SEBELUM KOMENTAR,WO YA OTAK DAN NURANI ITU DI PAKAI,MALU SAMA GELAR DAN JABATAN...GITU AJA KOK REPORT,EH REPOT,SORRY
xxx @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:42 WIB
bukannya bermaksud menakut2i tp memang manusia perlu bertobat... Bumi Sudah Tua sudah terlalu lelah berdiam diri melihat manusia selalu berbuat maksiat dan dosa... Manusia memang ladangnya dosa...Introspeksi diri mulai saat ini sekarang juga... Tobatlah ujung2nya.. dengan TOBATAN NASUHA... Wallahualam dengan sega;a Kehendak Allah... Manusia Bisa Mati dimana saja... Innalillahi Wa Innaillaihi Roji'un... semua nya milik Allah dan Semuanya akan kembali Pada Allah...
Entheng @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:35 WIB
Siapa berakal akan melihat tanda-tanda alam. Kebenaran adalah bersifat universal, berlaku untuk semua umat manusia. Siapa menabur akan menuai.
Marini @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:33 WIB
Kayaknya MUI jangan asal ngomong, Aceh, Padang, Tasik, Jogya, semua adalah kantong2 Islam yg sampai sekarang InsyaAllah, masih lebih baik
ridho @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:31 WIB
tetap aja maksiat di mana2 dan perampokan dimna2 klo pemerintah klo pemerintah tdk tegas.katanya negara ini negara hukun tapi selalu orang kecil yg di hukum.perampok kelas kakap tetap berkeliaran. ini adalah murkah ALLAH pada umat manusia yg takperna sadar apa yg telah di perbuatnya.ini baru sekedar teguran kecil.bagi kita semua sadar lah wahai saudaraku semua. kita ini perlu sadar sewaktu kita masi didalam rahim ibu kita ga perna minta mata
Djekson Pandeirot @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:27 WIB
KAN KITA HARUS CERDIK SEPERTI ULAR,NAMUN BIJAK SEPERTI BURUNG MERPATI......AHLI2 BANGUNAN BISA BERINOVASI BANGUNAN TAHAN GEMPA....PEMERINTAH,BAIK PUSAT DAN DAERAH IKUT MENGAWASI MELALUI IZIN BANGUNAN YG SANGAT KETAT...TANPA PANDANG BULU...GITU AJA KOK REPORT,EH REPOT,SORRY...SEMOGA ALLAH MEMBERI KEKUATAN DAN KETABAHAN BAGI SAUDARA2 KITA DI SUMBAR,AMIN
Abdullah @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:19 WIB
@Sri : peringatan dari Allah bisa jadi kasih sayang Nya pada umat agar bisa memperbaiki diri dan meringankan beban di akherat kelak. Orang kafir dan lalai yg belum ditimpakan adzab itu justru diterlenakan oleh tipuan dunia sehingga semakin lalai dan menanggung beban dan adzab yg berat di akherat. Wallahu'alam ..
saprial @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:16 WIB
bagi saudaraku yang punya kelebihan rezeki ....mari kita ringankan beban saudara kita yang di Sumbar dan kerinci jambi yang terkena musibah...
David @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:15 WIB
pak kyai Daerah Sumbar itu daerah percontohan EKONOMI SYARIAH ISLAM jadi kalo dibilang maksiat, lebih maksiat JAKARTA tapi justru yang kena musibah adalah PADANG dan ACEH daerah percontohan SYARIAH ISLAM. Mohon pak Kyai jangan asal ngomonglah, orang lagi ditimpa bencana dibilang maksiat....
rio @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:10 WIB
instropeksi diri masing2...jika kita banyak salah dan dosa untuk segera mohon ampun kepada Allah SWT. Allah itu maha pengasih dan penyanyang kepada hamba2nya. Coba liat bukan hanya kepada yang Muslim tapi juga kepada yang kafir,Allah masih kasih sayang...Kasih sayang Allah kepada Manusia tiada yang dpt menandinginya.
rio @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:09 WIB
instropeksi diri masing2...jika kita banyak salah dan dosa untuk segera mohon ampun kepada Allah SWT. Allah itu maha pengasih dan penyanyang kepada hamba2nya. Coba liat bukan hanya kepada yang Muslim tapi juga kepada yang kafir,Allah masih kasih sayang...Kasih sayang Allah kepada Manusia tiada yang dpt menandinginya.
mui kok gitu @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:09 WIB
moga2 bapak yg ngomong musibah itu peringatan dan bakal diangkat derajatnya kena musibah yg paling fatal..amin
iwan @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:04 WIB
Benar iitu suatu musibah tapi jgn di dramatisir yg akhir nya memancing reaksi negatip. Seharusnya berbuat sesuatu yg membuat korban musibah gempa merasa tidak bersedih dan bersemangat kembali untuk membangun dari puing2 kehancuran.
Gunawan @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:45 WIB
nauzubillah........mana hati nurani mui???? asmong! asal ngomong....
san @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:37 WIB
sebuah penilaian akan menghasilkan perasaan, apakah itu perasaan benar, salah, atau ndak bersalah.
TANGIS KAMI @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:37 WIB
MUI KOK NGOMONGNYA NGE-JUDGE GITUH? SEOLAH2 RANAH MINANG ADALAH SARANG MAKSIAT. LIHAT JAKARTA, MANADO
gede @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:34 WIB
buat masyarakat padang semoga diberikan ketabahan.kita harus berlapang dada karena ini semua merupakan ujian bagi kita.setiap orang pasti punya ujian
Athok @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:25 WIB
Pendekatan, cara padang, solusi dari kejadian harus mengutaman Allah dan Rosulnya artinya jangan hanya mengandalkan akal, teknologi sebagai solusi tetapi kita bertanya kenapa Allah memberikan kejadian/gempa tsb, apa yang harus kita lakukan menurut Allah dan rosulnya setelah kejadian ini.
ZZZ @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:20 WIB
wah.. kyai ini meden-medeni wae..!! itu peristiwa alami.. pantai barat sumatera itu sering kena gempa krn dekat pertemuan lempeng bumi.. pake logika,baca sejarah jg kalo komentar pak kyai Yth... Mending bilang.. "inilah saatnya kedermawanan kita yg gak kena gempa diuji Allah...".. dst..,dll.....
SPESIALIS FATWA @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:31 WIB
MUI tolong segera mengeluarkan fatwa bahwa GEMPA ITU HARAM!!!
oon @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:24 WIB
setuju pak kyai... tapi jgn maksiat saja yg selalu disorot... PEJABAT KORUPSI ... (mungkin termasuk di MUI sendiri?) ... perlu ditegaskan....
Sri @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:19 WIB
Tasikmalaya dan Padang itu adalah kantong2 Islam. Berarti MUI mau ngomong bahwa orang Islam itu maksiat ya, dasar MUI gelo.
dev @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 06:52 WIB
setuju, bencana ini karena faktor alam dan manusia, alamnya gak bisa diapa2apain, jadi tinggal faktor manusianya. korban banyak karena peraturan gak jalan dan pemerintah yg lamban.
semprul @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 06:37 WIB
Kalau saya kepleset di kamar mandi hingga tak sadarkan diri mungkin coobaan juga kali ye ...???
Boedhy santoso @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 06:22 WIB
tetaplah sabar dan jangan berhenti utk berdoa, semua yg telah terjadi di dunia ini sdh ada porsi dan ketentuannya, tiada maksud yg lebih baik semua apa yg telah ditakdirkan oleh Allah kepada semua umatnya, marilah kita berdoa dan mengabdikan diri kita kepada Allah swt lebih dekat lagi, semoga dosa-2 korban bencana sumbar diampuni semua dosa-dosanya dan mudahkan hisabnya. tks
achmad @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 05:56 WIB
pak kyiai,jangan salahkan hanya kemaksiatan ya dari dulu saja sudah ada termasuk korupsi dll. tolong baca iptek dan webnya Inca 2012,disitu ada banyak pencerahan keadaan dunia mendatang ter masuk musibah2 yang tak bisa dihindari. ajarlah umat untuk tetap beriman dan takwa kepada Allah yang empunya Kuasa. jangan ajarkan kemunafikan/ekstrimis yang bertentangan dengan ajaran kebenaran yang ada dikitab2.
toing @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 02:49 WIB
semoga membuat kita makin sadar supaya tidak menuruti hawa nafsu...
jack @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 02:32 WIB
MUI sudah buat apa terhadap korban gempa? jangan2 ngomong doang.......... lagian itu juga ga ada hubungannya sama sekali dengan kutukan.....smua itu peristiwa alam..........pikirin baik2 dong.......atau kurang sekolah?
ais Said @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 00:21 WIB
Numpang tanya Pak.Haji: "Gempa, haram - halal?" (kq urusan gempa jd pemerintah yg suruh mawas!) weleh...,weleh..., ummat yg lg susah jgn d tambah susahnya dh n liat tuh pemerintah, nga ada d dunia yg kerja pemerintah padat ngurusin musibah rakyatnya cuma ada d sini.
muhammad zamzam @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 00:06 WIB
astag firullah robbal baroya astagfirullooh minal khotoya!!!
punidi @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:43 WIB
Yth, Pak Kyai! Setiap saat kita dituntut untuk bertobat. Saat ini hidup semakin sulit, pasti banyak godaan untuk berdosa karena pada dasarnya tidak ada manusia yang menghendaki hidup susah. Situasi seperti ini semakin menuntut kita untuk selalu arif. Bencana alam terjadi karena faktor alami maupun manusiawi. Manusia dianugerahi akal budi untuk mengusahakan keselamatan hidupnya. Berbagai pengetahuan, ilmu, dan teknologi sudah semestinya diabdikan bagi kehidupan manusia. Sudahkah terjadi?
alfan @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:43 WIB
semoga ALLAH SWT, memberi ampunan buat kita smua... amin.
mgi @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:42 WIB
Pak peringatan tidak hanya ke maksiat tapi bisa jadi korupsi, ini terbukti. Coba di barat maksiat juga banyak, tapi korupsi kurang jadi negara barat tidak terkena musibah??? Analoginya mungkin begitu lebih tepatnya. Bapak juga mesti banyak baca ilmu pengetahuan, biar musibah ini juga bisa ditafsirkan dari sisi iptek, biar seimbang.
mamank @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:41 WIB
setuju....sangat setuju bencana ini adalah sebuah PERINGATAN .....ya....peringatan agar semua manusia kembali sadar bahwa TUhan adalah MAHA BERKUASA.....jadi, jangan lagi pernah melarang/menghalangi orang lain menyembah Tuhannya sesuai dengan ajaran agamanya masing2....Krn jika Tuhan marah...ya...beginilah akibatnya..........peace...!!
ehm @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:28 WIB
ya .. saya pikir ini himbauan ini ditujukan utk pemerintah yg gemar korupsi dan lamban bahkan tak tahu cara menanggulangi bencana.
geram dada @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:25 WIB
aduh lagi lagi ketua mui menyalahkan masyarakat yang kurang beriman dan atau berperilaku menyimpang/bebuat maksiat,...tentu saja bukan pendapat yang benar!!!mungkin saja karena mereka terlalu fanatik dalam beragama dan pelaku maksiat itu di aniaya dan dipermalukan didepan umum,hal ini mungkin juga tak di sukai allah s.w.t. jadi sedang sedang saja dalam mengomentari kehidupan masyarakat.lihat aceh,tasikmalaya,yogya d daerah tersebut kadar keislaman mereka amat kental toh bencana tetap terjadi.
MUI @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:14 WIB
Makanya agamasnya hindu aja damai sentosa bnyk turis jg percaya MUI lah bullshit racun dunia percaya aja luh dongeng arab dibohongin wahabi suruh omong arab pada mau biar mapus luh indon
@iping @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:07 WIB
Tidak ada gempa, juga Cobaan dan Peringatan ...
bqor @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:57 WIB
Mungkin ini dosa pejabat yg korup! rakyat Indonesia sudah cukup sabar dan taat beragama.
Heran_deh @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:52 WIB
Heran deh, Tuhan koq dikambinghitamkan? Meminta umat untuk bersabar sih boleh2 saja, tapi Tuhan dan keimanan saudara2 kita koq dikambinghitamkan....Dasar
hahay @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:48 WIB
Ya Allah .... ya tuhan yang maha perkasa tiada tanding. tuhan yang maha kasih tiada henti. Ampunilah dosa bangsaku. Sadarkanlah dan berilah kami jalan menuju tobat. semoga kau cukupkan cobaan untuk bangsaku, sehingga kami bisa menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. bangsa yang membesarkan martabat ISLAM.
hahay @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:47 WIB
ya Allah, peringatan apa kepada bangsaku?apa karena masih banyak pemimpin yang korupsi.atau pedagang yang mengurangi timbangan.apa karena rok mini perempuan indonesia.atau karena banyaknya istri yang selingkuh. apa karena bapak yang meniduri anak tirinya. atau laki2 yang selingkuh dengan tetangganya.atau semakin banyaknya wanita muslim yang menjadi pelacur.atau pelajar yg sudah pandai bikin foto dan video porno bahkan tanpa melepas jilbabnya.apa karena sudah tidak ada lagi nurani wakil rakyat.
bambang @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:43 WIB
ga ngaruh kali bencana sama maksiat masa bencana dateng gara2 maksiat di eropa aja seks bebas jarang ada musibah gmana MUI ini!!! dalam kehidupan ga mungkin ga ada bencana walaupun warga negaranya orang baik semua pasti ada bencananya
parmin @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:42 WIB
bumi tempat berpijak dan tempat hidup...maka manusia jangan melarang sesama manusia untuk MEMBANGUN TEMPAT IBADAH....sadarlah....Sang pencipta akan murka kalo di INDONESIA masih ada larangan sprti itu..
Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:02 WIB
MEDAN, KOMPAS.com - Gempa yang terjadi di Sumbar merupakan cobaan dan peringatan, baik bagi warga di ranah Minang itu maupun di daerah lain. "Karena itu, semua pihak harus mampu membuka mata hatinya terhadap musibah tersebut," kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut, Prof Dr H. Abdullah Syah, MA di Medan, Kamis malam.
Menurut Abdullah Syah, setiap musibah yang terjadi di dunia ini merupakan kehendak atau paling tidak atas izin Allah SWT. Banyak maksud dan tujuan yang ingin Allah SWT sampaikan melalui musibah itu, termasuk musibah gempa yang terjadi di Sumbar tersebut.
Gempa itu bisa saja bertujuan untuk menguji dan mengetahui kadar keimanan dan kesabaran warga Sumbar terhadap ketentuan Allah SWT. Untuk itu, warga Sumbar yang mengalami musibah tersebut harus banyak bersabar sambil terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.
"Orang yang mendapatkan musibah lalu bersabar dan berserah diri, Allah SWT pasti akan memuliakan dan mengangkat derajat manusia itu," kata Guru Besar IAIN Sumut itu.
Selain itu, kata Abdullah, ujian tersebut juga berlaku untuk kelompok masyarakat yang tidak terkena musibah apakan merasa prihatin dan bersedia memberikan bantuan untuk saudaranya yang sedang dalam kesulitan.
Karena itu, seluruh masyarakat, khususnya umat Islam harus bersedia memberi untuk meringankan kesusahan dan kesedihan yang dialami warga Sumbar yang menjadi korban gempa tersebut. "Sebenarnya, banyak yang mereka (warga Sumbar) butuhkan, baik bantuan makanan, obat-obatan maupun pakaian yang layak," katanya.
Namun, musibah gempa itu juga bisa berarti peringatan karena banyaknya maksiat atau perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan agama. Untuk itu, selain bersabar, warga Sumbar yang mengalami musibah gempa tersebut juga harus banyak memohon ampun kepada Allah SWT karena mungkin banyak melakukan kesalahan.
Peringatan itu juga berlaku untuk masyarakat di daerah lain, termasuk Sumut agar banyak memohon dan bertobat jika telah melakukan kesalahan dosa.
Selain itu, musibah tersebut juga peringatan untuk pemerintah agar lebih giat memberantas maksiat dan perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama. "Pemerintah harus sadar, banyaknya tempat maksiat justru mengundang bala bagi daerah itu," katanya.
Sebelumnya, gempa berkekuatan 7,6 pada Skala Richter mengguncang Sumbar pada Rabu (30/9) pukul 17.16 WIB yang terjadi pada episentrum 0,84 lintang selatan (LS) dan 99,65 bujur timur (BT). Pusat gempa berada pada 57 Km barat laut Pariaman, Provinsi Sumbar, pada berkedalaman 71 Km.
Pada pukul 17.38 WIB terjadi gempa susulan dengan kekuatan 6,2 SR pada episentrum 0,72 LS dan 99,94 BT dan pusat berada di 22 Km barat daya Pariaman Provinsi Sumbar dengan kedalaman 110 Km.
Selain menghancurkan ratusan, bahkan ribuan bangunan, gempa tersebut juga menewaskan ratusan warga Sumbar.
Sent from Indosat BlackBerry powered by
KSP
Sumber : Antara
Ada 51 Komentar Untuk Artikel Ini.
andhika @ Sabtu, 3 Oktober 2009 | 02:22 WIB
@abdullah : kalau gitu, Allah tidak mau menyadarkan sebagian orang kembali ke jalan-Nya dong.
rizal @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 22:46 WIB
pernakah terbesit di benak kita tuk berfikir mengapa dan mengapa negara kita tercinta selalu di landa bencana yang bertubi-tubi??/ akankah kita akan berfikir dan memaknai itu semua hanya sekedar "musibah" yang datang dari Allah Swt dan ujian atas tingkat kesabaran kita sebagai hamba-Nya??? tidakkah cukup cobaan demi cobaan, musibah demi musibah yang beruntun menimbah bangsa kita tercinta itu kita maknai hanya skedar musibah. tentunya di balik semua itu ada pesan dari Allah Swt yang hrs kita baca
Mora @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 11:40 WIB
Mari Kita berbenah diri menuju Ridhonya Allah, dan jangan berburuk sangka kepada Allah karena Alam semesta ini adalah milikNYa, makanya mari kita mohon kepada Allah agar kita selalu diberi petunjuk di jalan yang LURUS, Amiiin
adriani @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 11:03 WIB
semua ini peringatan buat qta bukan hanya utk org2 didaerah tertentu.....agar qta lbh bertaqwa...
nero @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:56 WIB
Byk yg menghubungkan bencana alam di Sumbar dg ayat Al Qur'an, dg pemerintah yg buruk, dg dosa yg diperbuat. Kok bisa ? apa korban itu dianggap tumbal ? itu sebagai hukuman atas dosa2 mrk ? korban tewas itu pelajaran bagi yg hidup ? Astagfirullahalaziim. Byk ngr kafir dan penuh maksiat, mengapa mereka tidak kena bencana ? kok seakan2 bencana yg datang adlh hukuman atas mrk sih...
nero @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:55 WIB
Byk yg menghubungkan bencana alam di Sumbar dg ayat Al Qur'an, dg pemerintah yg buruk, dg dosa yg diperbuat. Kok bisa ? apa korban itu dianggap tumbal ? itu sebagai hukuman atas dosa2 mrk ? korban tewas itu pelajaran bagi yg hidup ? Astagfirullahalaziim. Byk ngr kafir dan penuh maksiat, mengapa mereka tidak kena bencana ? kok seakan2 bencana yg datang adlh hukuman atas mrk sih...
niargolan @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:47 WIB
Apapun yang terjadi, kita wajib bersyukur pada TUHAN YANG MAHA ESA
Djekson Pandeirot @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:42 WIB
GILIRAN DI PADANG,AHLI2 AGAMA BILANG BANYAK DOSA..TAPI KALO RATUSAN SAMPE RIBUAN CALON HAJI MENINGGAL GENCET2AN DI TEROWONGAN MINA,DI BILANG ITU CUMA KEHENDAK ALLAH,GAK ADA YG DI SALAHIN,PADAHAL ITU JELAS2 SALAHNYA DAN KEBODOHAN SEMUA PIHAK,MAKANYA SEBELUM KOMENTAR,WO YA OTAK DAN NURANI ITU DI PAKAI,MALU SAMA GELAR DAN JABATAN...GITU AJA KOK REPORT,EH REPOT,SORRY
xxx @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:42 WIB
bukannya bermaksud menakut2i tp memang manusia perlu bertobat... Bumi Sudah Tua sudah terlalu lelah berdiam diri melihat manusia selalu berbuat maksiat dan dosa... Manusia memang ladangnya dosa...Introspeksi diri mulai saat ini sekarang juga... Tobatlah ujung2nya.. dengan TOBATAN NASUHA... Wallahualam dengan sega;a Kehendak Allah... Manusia Bisa Mati dimana saja... Innalillahi Wa Innaillaihi Roji'un... semua nya milik Allah dan Semuanya akan kembali Pada Allah...
Entheng @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:35 WIB
Siapa berakal akan melihat tanda-tanda alam. Kebenaran adalah bersifat universal, berlaku untuk semua umat manusia. Siapa menabur akan menuai.
Marini @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:33 WIB
Kayaknya MUI jangan asal ngomong, Aceh, Padang, Tasik, Jogya, semua adalah kantong2 Islam yg sampai sekarang InsyaAllah, masih lebih baik
ridho @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:31 WIB
tetap aja maksiat di mana2 dan perampokan dimna2 klo pemerintah klo pemerintah tdk tegas.katanya negara ini negara hukun tapi selalu orang kecil yg di hukum.perampok kelas kakap tetap berkeliaran. ini adalah murkah ALLAH pada umat manusia yg takperna sadar apa yg telah di perbuatnya.ini baru sekedar teguran kecil.bagi kita semua sadar lah wahai saudaraku semua. kita ini perlu sadar sewaktu kita masi didalam rahim ibu kita ga perna minta mata
Djekson Pandeirot @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:27 WIB
KAN KITA HARUS CERDIK SEPERTI ULAR,NAMUN BIJAK SEPERTI BURUNG MERPATI......AHLI2 BANGUNAN BISA BERINOVASI BANGUNAN TAHAN GEMPA....PEMERINTAH,BAIK PUSAT DAN DAERAH IKUT MENGAWASI MELALUI IZIN BANGUNAN YG SANGAT KETAT...TANPA PANDANG BULU...GITU AJA KOK REPORT,EH REPOT,SORRY...SEMOGA ALLAH MEMBERI KEKUATAN DAN KETABAHAN BAGI SAUDARA2 KITA DI SUMBAR,AMIN
Abdullah @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:19 WIB
@Sri : peringatan dari Allah bisa jadi kasih sayang Nya pada umat agar bisa memperbaiki diri dan meringankan beban di akherat kelak. Orang kafir dan lalai yg belum ditimpakan adzab itu justru diterlenakan oleh tipuan dunia sehingga semakin lalai dan menanggung beban dan adzab yg berat di akherat. Wallahu'alam ..
saprial @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:16 WIB
bagi saudaraku yang punya kelebihan rezeki ....mari kita ringankan beban saudara kita yang di Sumbar dan kerinci jambi yang terkena musibah...
David @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:15 WIB
pak kyai Daerah Sumbar itu daerah percontohan EKONOMI SYARIAH ISLAM jadi kalo dibilang maksiat, lebih maksiat JAKARTA tapi justru yang kena musibah adalah PADANG dan ACEH daerah percontohan SYARIAH ISLAM. Mohon pak Kyai jangan asal ngomonglah, orang lagi ditimpa bencana dibilang maksiat....
rio @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:10 WIB
instropeksi diri masing2...jika kita banyak salah dan dosa untuk segera mohon ampun kepada Allah SWT. Allah itu maha pengasih dan penyanyang kepada hamba2nya. Coba liat bukan hanya kepada yang Muslim tapi juga kepada yang kafir,Allah masih kasih sayang...Kasih sayang Allah kepada Manusia tiada yang dpt menandinginya.
rio @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:09 WIB
instropeksi diri masing2...jika kita banyak salah dan dosa untuk segera mohon ampun kepada Allah SWT. Allah itu maha pengasih dan penyanyang kepada hamba2nya. Coba liat bukan hanya kepada yang Muslim tapi juga kepada yang kafir,Allah masih kasih sayang...Kasih sayang Allah kepada Manusia tiada yang dpt menandinginya.
mui kok gitu @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:09 WIB
moga2 bapak yg ngomong musibah itu peringatan dan bakal diangkat derajatnya kena musibah yg paling fatal..amin
iwan @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 09:04 WIB
Benar iitu suatu musibah tapi jgn di dramatisir yg akhir nya memancing reaksi negatip. Seharusnya berbuat sesuatu yg membuat korban musibah gempa merasa tidak bersedih dan bersemangat kembali untuk membangun dari puing2 kehancuran.
Gunawan @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:45 WIB
nauzubillah........mana hati nurani mui???? asmong! asal ngomong....
san @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:37 WIB
sebuah penilaian akan menghasilkan perasaan, apakah itu perasaan benar, salah, atau ndak bersalah.
TANGIS KAMI @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:37 WIB
MUI KOK NGOMONGNYA NGE-JUDGE GITUH? SEOLAH2 RANAH MINANG ADALAH SARANG MAKSIAT. LIHAT JAKARTA, MANADO
gede @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:34 WIB
buat masyarakat padang semoga diberikan ketabahan.kita harus berlapang dada karena ini semua merupakan ujian bagi kita.setiap orang pasti punya ujian
Athok @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:25 WIB
Pendekatan, cara padang, solusi dari kejadian harus mengutaman Allah dan Rosulnya artinya jangan hanya mengandalkan akal, teknologi sebagai solusi tetapi kita bertanya kenapa Allah memberikan kejadian/gempa tsb, apa yang harus kita lakukan menurut Allah dan rosulnya setelah kejadian ini.
ZZZ @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 08:20 WIB
wah.. kyai ini meden-medeni wae..!! itu peristiwa alami.. pantai barat sumatera itu sering kena gempa krn dekat pertemuan lempeng bumi.. pake logika,baca sejarah jg kalo komentar pak kyai Yth... Mending bilang.. "inilah saatnya kedermawanan kita yg gak kena gempa diuji Allah...".. dst..,dll.....
SPESIALIS FATWA @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:31 WIB
MUI tolong segera mengeluarkan fatwa bahwa GEMPA ITU HARAM!!!
oon @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:24 WIB
setuju pak kyai... tapi jgn maksiat saja yg selalu disorot... PEJABAT KORUPSI ... (mungkin termasuk di MUI sendiri?) ... perlu ditegaskan....
Sri @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:19 WIB
Tasikmalaya dan Padang itu adalah kantong2 Islam. Berarti MUI mau ngomong bahwa orang Islam itu maksiat ya, dasar MUI gelo.
dev @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 06:52 WIB
setuju, bencana ini karena faktor alam dan manusia, alamnya gak bisa diapa2apain, jadi tinggal faktor manusianya. korban banyak karena peraturan gak jalan dan pemerintah yg lamban.
semprul @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 06:37 WIB
Kalau saya kepleset di kamar mandi hingga tak sadarkan diri mungkin coobaan juga kali ye ...???
Boedhy santoso @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 06:22 WIB
tetaplah sabar dan jangan berhenti utk berdoa, semua yg telah terjadi di dunia ini sdh ada porsi dan ketentuannya, tiada maksud yg lebih baik semua apa yg telah ditakdirkan oleh Allah kepada semua umatnya, marilah kita berdoa dan mengabdikan diri kita kepada Allah swt lebih dekat lagi, semoga dosa-2 korban bencana sumbar diampuni semua dosa-dosanya dan mudahkan hisabnya. tks
achmad @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 05:56 WIB
pak kyiai,jangan salahkan hanya kemaksiatan ya dari dulu saja sudah ada termasuk korupsi dll. tolong baca iptek dan webnya Inca 2012,disitu ada banyak pencerahan keadaan dunia mendatang ter masuk musibah2 yang tak bisa dihindari. ajarlah umat untuk tetap beriman dan takwa kepada Allah yang empunya Kuasa. jangan ajarkan kemunafikan/ekstrimis yang bertentangan dengan ajaran kebenaran yang ada dikitab2.
toing @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 02:49 WIB
semoga membuat kita makin sadar supaya tidak menuruti hawa nafsu...
jack @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 02:32 WIB
MUI sudah buat apa terhadap korban gempa? jangan2 ngomong doang.......... lagian itu juga ga ada hubungannya sama sekali dengan kutukan.....smua itu peristiwa alam..........pikirin baik2 dong.......atau kurang sekolah?
ais Said @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 00:21 WIB
Numpang tanya Pak.Haji: "Gempa, haram - halal?" (kq urusan gempa jd pemerintah yg suruh mawas!) weleh...,weleh..., ummat yg lg susah jgn d tambah susahnya dh n liat tuh pemerintah, nga ada d dunia yg kerja pemerintah padat ngurusin musibah rakyatnya cuma ada d sini.
muhammad zamzam @ Jumat, 2 Oktober 2009 | 00:06 WIB
astag firullah robbal baroya astagfirullooh minal khotoya!!!
punidi @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:43 WIB
Yth, Pak Kyai! Setiap saat kita dituntut untuk bertobat. Saat ini hidup semakin sulit, pasti banyak godaan untuk berdosa karena pada dasarnya tidak ada manusia yang menghendaki hidup susah. Situasi seperti ini semakin menuntut kita untuk selalu arif. Bencana alam terjadi karena faktor alami maupun manusiawi. Manusia dianugerahi akal budi untuk mengusahakan keselamatan hidupnya. Berbagai pengetahuan, ilmu, dan teknologi sudah semestinya diabdikan bagi kehidupan manusia. Sudahkah terjadi?
alfan @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:43 WIB
semoga ALLAH SWT, memberi ampunan buat kita smua... amin.
mgi @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:42 WIB
Pak peringatan tidak hanya ke maksiat tapi bisa jadi korupsi, ini terbukti. Coba di barat maksiat juga banyak, tapi korupsi kurang jadi negara barat tidak terkena musibah??? Analoginya mungkin begitu lebih tepatnya. Bapak juga mesti banyak baca ilmu pengetahuan, biar musibah ini juga bisa ditafsirkan dari sisi iptek, biar seimbang.
mamank @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:41 WIB
setuju....sangat setuju bencana ini adalah sebuah PERINGATAN .....ya....peringatan agar semua manusia kembali sadar bahwa TUhan adalah MAHA BERKUASA.....jadi, jangan lagi pernah melarang/menghalangi orang lain menyembah Tuhannya sesuai dengan ajaran agamanya masing2....Krn jika Tuhan marah...ya...beginilah akibatnya..........peace...!!
ehm @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:28 WIB
ya .. saya pikir ini himbauan ini ditujukan utk pemerintah yg gemar korupsi dan lamban bahkan tak tahu cara menanggulangi bencana.
geram dada @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:25 WIB
aduh lagi lagi ketua mui menyalahkan masyarakat yang kurang beriman dan atau berperilaku menyimpang/bebuat maksiat,...tentu saja bukan pendapat yang benar!!!mungkin saja karena mereka terlalu fanatik dalam beragama dan pelaku maksiat itu di aniaya dan dipermalukan didepan umum,hal ini mungkin juga tak di sukai allah s.w.t. jadi sedang sedang saja dalam mengomentari kehidupan masyarakat.lihat aceh,tasikmalaya,yogya d daerah tersebut kadar keislaman mereka amat kental toh bencana tetap terjadi.
MUI @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:14 WIB
Makanya agamasnya hindu aja damai sentosa bnyk turis jg percaya MUI lah bullshit racun dunia percaya aja luh dongeng arab dibohongin wahabi suruh omong arab pada mau biar mapus luh indon
@iping @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 23:07 WIB
Tidak ada gempa, juga Cobaan dan Peringatan ...
bqor @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:57 WIB
Mungkin ini dosa pejabat yg korup! rakyat Indonesia sudah cukup sabar dan taat beragama.
Heran_deh @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:52 WIB
Heran deh, Tuhan koq dikambinghitamkan? Meminta umat untuk bersabar sih boleh2 saja, tapi Tuhan dan keimanan saudara2 kita koq dikambinghitamkan....Dasar
hahay @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:48 WIB
Ya Allah .... ya tuhan yang maha perkasa tiada tanding. tuhan yang maha kasih tiada henti. Ampunilah dosa bangsaku. Sadarkanlah dan berilah kami jalan menuju tobat. semoga kau cukupkan cobaan untuk bangsaku, sehingga kami bisa menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. bangsa yang membesarkan martabat ISLAM.
hahay @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:47 WIB
ya Allah, peringatan apa kepada bangsaku?apa karena masih banyak pemimpin yang korupsi.atau pedagang yang mengurangi timbangan.apa karena rok mini perempuan indonesia.atau karena banyaknya istri yang selingkuh. apa karena bapak yang meniduri anak tirinya. atau laki2 yang selingkuh dengan tetangganya.atau semakin banyaknya wanita muslim yang menjadi pelacur.atau pelajar yg sudah pandai bikin foto dan video porno bahkan tanpa melepas jilbabnya.apa karena sudah tidak ada lagi nurani wakil rakyat.
bambang @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:43 WIB
ga ngaruh kali bencana sama maksiat masa bencana dateng gara2 maksiat di eropa aja seks bebas jarang ada musibah gmana MUI ini!!! dalam kehidupan ga mungkin ga ada bencana walaupun warga negaranya orang baik semua pasti ada bencananya
parmin @ Kamis, 1 Oktober 2009 | 22:42 WIB
bumi tempat berpijak dan tempat hidup...maka manusia jangan melarang sesama manusia untuk MEMBANGUN TEMPAT IBADAH....sadarlah....Sang pencipta akan murka kalo di INDONESIA masih ada larangan sprti itu..
Jumat, Oktober 02, 2009
detikcom : Merasa Ikut Produksi Batik, Malaysia Akan Pelajari Keputusan Unesco
title : Merasa Ikut Produksi Batik, Malaysia Akan Pelajari Keputusan Unesco
summary : UNESCO telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam daftar intangible cultural heritage (warisan budaya bukan benda). Otoritas Malaysia mengaku akan mempelajari keputusan itu lebih lanjut. (read more)
summary : UNESCO telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam daftar intangible cultural heritage (warisan budaya bukan benda). Otoritas Malaysia mengaku akan mempelajari keputusan itu lebih lanjut. (read more)
detikcom : Batik Ditetapkan UNESCO Sebagai Warisan Budaya Indonesia, Pakai Yuk!
title : Batik Ditetapkan UNESCO Sebagai Warisan Budaya Indonesia, Pakai Yuk!
summary : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) hari ini, Jumat (2/10/2009) menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia. Hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh penduduk ini pun dijadikan sebagai hari batik. (read more)
summary : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) hari ini, Jumat (2/10/2009) menetapkan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia. Hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh penduduk ini pun dijadikan sebagai hari batik. (read more)
Kamis, Oktober 01, 2009
detikcom : Kain Hitam Duka dari KPK untuk Pemberantasan Korupsi
title : Kain Hitam Duka dari KPK untuk Pemberantasan Korupsi
summary : Kini tak tampak lagi logo KPK yang angker menantang para koruptor. Selubung kain hitam berukuran besar 7x5 meter menutupnya. Para pegawai di KPK menutup logo itu. Pemberantasan korupsi berduka. (read more)
summary : Kini tak tampak lagi logo KPK yang angker menantang para koruptor. Selubung kain hitam berukuran besar 7x5 meter menutupnya. Para pegawai di KPK menutup logo itu. Pemberantasan korupsi berduka. (read more)
Selasa, September 29, 2009
An Incomplete State Secrets Fix
The New York Times
September 29, 2009
EDITORIAL
An Incomplete State Secrets Fix
One of the ways that the Bush administration tried to avoid accountability for its serious misconduct in the name of fighting terrorism was the misuse of an evidentiary rule called the state secrets privilege. The Obama administration has essentially embraced the Bush approach in existing cases, trying to toss out important lawsuits alleging kidnapping, torture and unlawful wiretapping without any evidence being presented.
The other day, Attorney General Eric Holder Jr. issued new guidelines for invoking the state secrets privilege in the future. They were a positive step forward, on paper, but did not go nearly far enough. Mr. Holder’s much-anticipated reform plan does not include any shift in the Obama administration’s demand for blanket secrecy in pending cases. Nor does it include support for legislation that would mandate thorough court review of state secrets claims made by the executive branch.
The rules, which replace a less formal set of procedures used during the Bush years, establish a high-level review process at the Justice Department before a privilege claim may be invoked in court. Executive agencies will have to persuade a Justice Department committee that disclosure of information would risk “significant harm” to national security.
The new rules instruct the Justice Department to look for ways to avoid shutting down an entire lawsuit and to reject privilege requests motivated by a desire to “conceal violations of the law, inefficiency or administrative error” or to “prevent embarrassment.” The rules sensibly give the attorney general the responsibility to sign off on all state secrets claims.
It remains to be seen whether, and to what extent, the new regimen will succeed in avoiding flimsy claims of secrecy. Much depends on how the rules are interpreted and enforced, and the Justice Department’s willingness to stand up to insistent intelligence agency demands.
One cautionary note: Since assuming office, Mr. Holder has reviewed the administration’s position in ongoing cases and has continued broad secrecy claims of the sort that President Obama criticized when he was running for president. To the extent that legitimate cases get dismissed as a result, Mr. Holder should make sure allegations of government wrongdoing get referred to an agency inspector general, as his new plan requires.
In any event, while more stringent self-policing of executive branch secrecy claims is welcome, it is hardly a total fix. Senator Russ Feingold, a Wisconsin Democrat, noted that without a clear, permanent mandate for independent court review of the administration’s judgment calls, Mr. Holder’s policy “still amounts to an approach of ‘just trust us.’”
If the Obama team is sincere about wanting to end state secrets abuses, it will support the State Secrets Protection Act sponsored in the Senate by Patrick Leahy, the Judiciary Committee chairman, and in the House by Representative Jerrold Nadler, a Democrat of New York. The measure contains safeguards to ensure protection of legitimate secrets. But before ruling on a secrets claim, and possibly dismissing a lawsuit, judges would be required to review the documents or evidence in question instead of just accepting assertions in government affidavits.
The need for such safeguards is not theoretical. Even as Mr. Holder tried to reassure Americans with new written rules, the Justice Department was seeking dismissal of a significant lawsuit over the Bush administration’s extraordinary renditions program based on a blanket claim of national security by Gen. Michael Hayden, the former director of the Central Intelligence Agency.
September 29, 2009
EDITORIAL
An Incomplete State Secrets Fix
One of the ways that the Bush administration tried to avoid accountability for its serious misconduct in the name of fighting terrorism was the misuse of an evidentiary rule called the state secrets privilege. The Obama administration has essentially embraced the Bush approach in existing cases, trying to toss out important lawsuits alleging kidnapping, torture and unlawful wiretapping without any evidence being presented.
The other day, Attorney General Eric Holder Jr. issued new guidelines for invoking the state secrets privilege in the future. They were a positive step forward, on paper, but did not go nearly far enough. Mr. Holder’s much-anticipated reform plan does not include any shift in the Obama administration’s demand for blanket secrecy in pending cases. Nor does it include support for legislation that would mandate thorough court review of state secrets claims made by the executive branch.
The rules, which replace a less formal set of procedures used during the Bush years, establish a high-level review process at the Justice Department before a privilege claim may be invoked in court. Executive agencies will have to persuade a Justice Department committee that disclosure of information would risk “significant harm” to national security.
The new rules instruct the Justice Department to look for ways to avoid shutting down an entire lawsuit and to reject privilege requests motivated by a desire to “conceal violations of the law, inefficiency or administrative error” or to “prevent embarrassment.” The rules sensibly give the attorney general the responsibility to sign off on all state secrets claims.
It remains to be seen whether, and to what extent, the new regimen will succeed in avoiding flimsy claims of secrecy. Much depends on how the rules are interpreted and enforced, and the Justice Department’s willingness to stand up to insistent intelligence agency demands.
One cautionary note: Since assuming office, Mr. Holder has reviewed the administration’s position in ongoing cases and has continued broad secrecy claims of the sort that President Obama criticized when he was running for president. To the extent that legitimate cases get dismissed as a result, Mr. Holder should make sure allegations of government wrongdoing get referred to an agency inspector general, as his new plan requires.
In any event, while more stringent self-policing of executive branch secrecy claims is welcome, it is hardly a total fix. Senator Russ Feingold, a Wisconsin Democrat, noted that without a clear, permanent mandate for independent court review of the administration’s judgment calls, Mr. Holder’s policy “still amounts to an approach of ‘just trust us.’”
If the Obama team is sincere about wanting to end state secrets abuses, it will support the State Secrets Protection Act sponsored in the Senate by Patrick Leahy, the Judiciary Committee chairman, and in the House by Representative Jerrold Nadler, a Democrat of New York. The measure contains safeguards to ensure protection of legitimate secrets. But before ruling on a secrets claim, and possibly dismissing a lawsuit, judges would be required to review the documents or evidence in question instead of just accepting assertions in government affidavits.
The need for such safeguards is not theoretical. Even as Mr. Holder tried to reassure Americans with new written rules, the Justice Department was seeking dismissal of a significant lawsuit over the Bush administration’s extraordinary renditions program based on a blanket claim of national security by Gen. Michael Hayden, the former director of the Central Intelligence Agency.
Global Economic Challenges
September 25, 2009
The New York Times
EDITORIAL
Global Economic Challenges
Leaders of the Group of 20 are in Pittsburgh this week for their third meeting since the financial crisis erupted a year ago. It is likely to be a positive gathering, with the leaders from the developed and large emerging economies sharing credit for avoiding the economic abyss. It will take a lot more than that, however, for the meeting to be a real success.
The previous two meetings were about projecting the ability and willingness to work together, which was a laudable goal last November when the markets were paralyzed and the global economy was in a tailspin, and, in April, when economies worldwide were still slumping badly. To quell panic generally, the G-20 leaders needed to show a united front. To ease specific fears that they would repeat the mistakes of the 1930s when protectionism prolonged the Great Depression, they needed to assert a commitment to open trade.
They succeeded in ensuring that conditions did not worsen because of actions they took or failed to take, but they did not confront the causes and cures of the financial crisis. In fact, they were successful largely because they stuck to the side effects of the crisis, like the harm to emerging markets, while avoiding the thorniest issues, like the dangers posed by too-big-to-fail institutions. Serious disagreements, like the proper size and role of fiscal stimulus, were papered over.
The question now is whether the G-20 can start to reach consensus on such vexing and divisive issues. If not, regulatory reform efforts of individual nations will be hobbled because nearly every pressing matter — cleaning up toxic assets, regulating derivatives, downsizing large and interconnected firms — has an international component. If reform efforts are hobbled, there is little hope of avoiding a repeat of the financial crisis.
The signs, so far, have been mixed at best. The leaders are likely to agree on the need to impose higher capital requirements on banks and other financial firms. That is important as a general statement, but real reform will require an agreement on substantial increases in capital levels, as well as on how capital will be measured and how the new rules will be enforced.
A consensus is also expected on how to regulate pay for financial industry executives. Skewed compensation incentives clearly drove some of the reckless risk-taking that led to the crisis. But pay reform is just a stopgap. It’s more important to enact reforms to ensure that banks can no longer engage in primarily speculative activities or other excessively risky transactions that lead to outsize paydays. Such reforms would include curbing the use of leverage and of opaque derivative trades to boost gains.
The G-20 is also expected to reach an agreement on ways to correct the crucial long-term issue of global imbalances that created the conditions for a global upheaval. In brief, the United States must reduce its budget deficit and boost household savings. China must invest its reserves in its own social safety net and thereby increase consumption, which would inevitably involve revaluing its currency.
But the leaders must not allow that to obscure more pressing concerns: The United States must clarify where it stands on open trade, having shaken faith in its stance by its recent imposition of tariffs on imports of Chinese tires. Large nations in the G-20 must commit themselves to continued government support of the world economy, including investment in poor countries and more stimulus spending for their own economies.
The United States appears to have little appetite for more stimulus spending, even though unemployment is rising. The commitment to stimulus in Europe, particularly Germany, has long been too weak, putting undue pressure on economies that have been willing to do more to boost demand.
The time has passed for consensus for the sake of consensus. It’s time for reform.
The New York Times
EDITORIAL
Global Economic Challenges
Leaders of the Group of 20 are in Pittsburgh this week for their third meeting since the financial crisis erupted a year ago. It is likely to be a positive gathering, with the leaders from the developed and large emerging economies sharing credit for avoiding the economic abyss. It will take a lot more than that, however, for the meeting to be a real success.
The previous two meetings were about projecting the ability and willingness to work together, which was a laudable goal last November when the markets were paralyzed and the global economy was in a tailspin, and, in April, when economies worldwide were still slumping badly. To quell panic generally, the G-20 leaders needed to show a united front. To ease specific fears that they would repeat the mistakes of the 1930s when protectionism prolonged the Great Depression, they needed to assert a commitment to open trade.
They succeeded in ensuring that conditions did not worsen because of actions they took or failed to take, but they did not confront the causes and cures of the financial crisis. In fact, they were successful largely because they stuck to the side effects of the crisis, like the harm to emerging markets, while avoiding the thorniest issues, like the dangers posed by too-big-to-fail institutions. Serious disagreements, like the proper size and role of fiscal stimulus, were papered over.
The question now is whether the G-20 can start to reach consensus on such vexing and divisive issues. If not, regulatory reform efforts of individual nations will be hobbled because nearly every pressing matter — cleaning up toxic assets, regulating derivatives, downsizing large and interconnected firms — has an international component. If reform efforts are hobbled, there is little hope of avoiding a repeat of the financial crisis.
The signs, so far, have been mixed at best. The leaders are likely to agree on the need to impose higher capital requirements on banks and other financial firms. That is important as a general statement, but real reform will require an agreement on substantial increases in capital levels, as well as on how capital will be measured and how the new rules will be enforced.
A consensus is also expected on how to regulate pay for financial industry executives. Skewed compensation incentives clearly drove some of the reckless risk-taking that led to the crisis. But pay reform is just a stopgap. It’s more important to enact reforms to ensure that banks can no longer engage in primarily speculative activities or other excessively risky transactions that lead to outsize paydays. Such reforms would include curbing the use of leverage and of opaque derivative trades to boost gains.
The G-20 is also expected to reach an agreement on ways to correct the crucial long-term issue of global imbalances that created the conditions for a global upheaval. In brief, the United States must reduce its budget deficit and boost household savings. China must invest its reserves in its own social safety net and thereby increase consumption, which would inevitably involve revaluing its currency.
But the leaders must not allow that to obscure more pressing concerns: The United States must clarify where it stands on open trade, having shaken faith in its stance by its recent imposition of tariffs on imports of Chinese tires. Large nations in the G-20 must commit themselves to continued government support of the world economy, including investment in poor countries and more stimulus spending for their own economies.
The United States appears to have little appetite for more stimulus spending, even though unemployment is rising. The commitment to stimulus in Europe, particularly Germany, has long been too weak, putting undue pressure on economies that have been willing to do more to boost demand.
The time has passed for consensus for the sake of consensus. It’s time for reform.
Zhawahir al-Afkar al-Muhammadiyyah
Zhawahir al-Afkar al-Muhammadiyyah Abra Qarn min al-Zaman
Bismillahirrahmanirrahim
Bahwa keberhasilan perjuangan Muhammadiyah yang berjalan hampir satu abad pada hakikatnya merupakan rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut disyukuri oleh seluruh warga Persyarikatan. Dengan modal keikhlasan dan kerja keras segenap anggota disertai dukungan masyarakat luas Muhammadiyah tidak kenal lelah melaksanakan misi da’wah dan tajdid dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Gerakan kemajuan tersebut ditunjukkan dalam melakukan pembaruan pemahaman Islam, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa di negeri ini.Namun disadari pula masih terdapat sejumlah masalah atau tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan langkah-langkah strategis dalam usianya yang cukup tua itu. Perjuangan Muhammadiyah yang diwarnai dinamika pasang-surut itu tidak lain untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta dalam rangka menyebarkan misi kerisalahan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang terhampar luas ini.
Karena itu dengan senantiasa mengharapkan ridha dan pertolongan Allah SWT Muhammadiyah dalam usia dan kiprahnya jelang satu abad ini menyampaikan pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) sebagai berikut:
A. Komitmen Gerakan
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam. Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan. Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi (pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi, Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia.
3. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya, sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk meneguhkan dan merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan.
B. Pandangan Keagamaan
1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: ”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.
4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
C. Pandangan tentang Kehidupan
1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan-keseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang harmoni.
2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi.
3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral tinggi.
D. Tanggungjawab Kebangsaan dan Kemanusiaan
1. Muhammadiyah memandang bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi yang penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental akan semakin memperparah krisis nasional. Wabah masalah tersebut menjadi beban nasional yang semakin berat dengan timbulnya berbagai musibah dan bencana nasional seperti terjadi di Aceh, Nias, dan daerah-daerah lain yang memperlemah dayatahan bangsa. Krisis dan masalah tersebut bahkan akan semakin membebani tubuh bangsa ini jika dipertautkan dengan kondisi sumberdaya manusia, ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur nasional maupun lokal yang jauh tertinggal dari kemajuan yang dicapai bangsa lain.
2. Bangsa Indonesia juga tengah berada dalam pertaruhan ketika berhadapan dengan perkembangan dunia yang berada dalam cengkeraman globalisasi, politik global, dan berbagai tarik-menarik kepentingan internasional yang diwarnai hegemoni dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Indonesia bahkan menjadi lahan paling subur dan tempat pembuangan limbah sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak neo-liberal. Jika tidak memiliki daya adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kookoh maka bangsa ini juga akan terombang-ambing dalam hegemoni dan liberalisasi politik global yang penuh konflik dan kepentingan. Pada saat yang sama bangsa ini juga tengah berhadapan dengan relasi-relasi baru yang dibawa oleh multikulturalisme yang memerlukan orientasi kebudayaan dan tatanan sosial baru yang kokoh.
3. Dalam menghadapi masalah dan tantangan internal maupun eksternal itu bangsa Indonesia memerlukan mobilisasi seluruh potensi dan kemampuan baik berupa sumberdaya manusia, sumberdaya alam, modal sosial-kultural, dan berbagai dayadukung nasional yang kuat dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Dalam kondisi yang sangat penuh pertaruhan dan sarat tantangan tersebut maka sangat diperlukan kepemimpinan yang handal dan visioner baik yang didukung kemampuan masyarakat yang mandiri baik di ingkat nasional maupun lokal agar berbagai masalah, tantangn, dan potensi bangsa ini mampu dihadapi serta dikelola dengan sebaik-baiknya.
4. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim juga tidak lepas dari perkembangan yang dihadapi saudara-saudaranya di dunia Islam. Mayoritas dunia Islam selain dililit oleh masalah-masalah nasional masing-masing, pada saat yang sama berada dalam dominasi dan hegemoni politik Barat yang banyak merugikan kepentingan-kepentingan dunia Islam. Sementara antar dunia Islam sendiri selain tidak terdapat persatuan yang kokoh, juga masih diwarnai oleh persaingan dan konflik yang sulit dipertemukan, sehingga semakin memperlemah posisi umat Islam dalam percaturan internasional. Kendati begitu, masih terdapat secercah harapan ketika Islam mulai berkembang di neger-negeri Barat dan terjadi perkembangan alam pikiran baru yang membawa misi perdamaian, kemajuan, dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
E. Agenda dan Langkah Ke Depan
1. Dalam menghadapi masalah bangsa, umat Islam, dan umat manusia sedunia yang bersifat kompleks dan krusial sebagaimana digambarkan itu Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan nasional akan terus memainkan peranan sosial-keagamaannya sebagaimana selama ini dilakukan dalam perjalanan sejarahnya. Usia jelang satu abad telah menempa kematangan Muhammadiyah untuk tidak kenal lelah dalam berkiprah menjalankan misi da’wah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Jika selama ini Muhammadiyah telah menorehkan kepeloporan dalam pemurnian dan pembaruan pemikrian Islam, pengembangan pendidikan Islam, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, serta dalam pembinaan kecerdasan dan kemajuan masyarakat; maka pada usianya jelang satu abad ini Muhammadiyah selain melakukan revitalisasi gerakannya juga berikhtiar untuk menjalankan peran-peran baru yang dipandang lebih baik dan lebih bermasalahat bagi kemajuan peradaban.
2. Peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan da’wah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik-praktik (politik kepartaian) yang bersifat jangka pendek dan sarat konflik kepentingan. Dengan bingkai Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah secara proaktif menjalankan peran dalam pemberanrasan korupsi, penegakan supremasi hukum, memasyarakatkan etika berpolitik, pengembangan sumberdaya manusia, penyelamatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, memperkokoh integrasi nasional, membangun karakter dan moral bangsa, serta peran-peran kebangsaan lainnya yang bersifat pencerahan. Muhammadiyah juga akan terus menjalankan peran dan langkah-langkah sistematik dalam mengembangkan kehidupan masyarakat madani (civil society) melalui aksi-aksi da’wah kultural yang mengrah pada pembentukan masyarakat Indonesia yang demokratis, otonom, berkeadilan, dan berakhlak mulia.
3. Dalam pergaulan internasional dan dunia Islam, Muhammadiyah juga terpanggil untuk menjalankan peran global dalam membangun tatanan dunia yang lebih damai, adil, maju, dan berkeadaban. Muhammadiyah menyadari pengaruh kuat globalisasi dan ekspansi neo-liberal yang sangat mencengkeram perkembangan masyarakat dunia saat ini. Dalam perkembangan dunia yang sarat permasalahan dan tantangan yang kompleks di abad ke-21 itu Muhammadiyah dituntut untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan berperadaban mulia.
4. Khusus bagi umat Islam baik di tingkat lokal, naional, maupun global Muhammadiyah dituntut untuk terus maminkan peran da’wah dan tajdid secara lebih baik sehingga kaum muslimin menjadi kekuatan penting dan menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban di era modern yang penuh tantangan ini. Era kebangkitan Islam harus terus digerakkan ke arah kemajuan secara signifikan dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam. Umat Islam harus tumbuh menjadi khaira ummah yang memiliki martabat tinggi di hadapan komunitas masyarakat lain di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tengah dinamika umat Islam yang semacam itu Muhammadiyah harus tetap istiqamah dan terus melakukan pembaruan dalam menjalankan dan mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang tercinta ini.
Demikian Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad sebagai ungkapan keyakinan, komitmen, pemikiran, sikap, dan ikhtiar mengenai kehadiran dirinya sebagai Gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid dalam memasuki usianya hampir seratus tahun. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad tersebut menjadi bingkai dan arah bagi segenap anggota dan pimpinan Persyarikatan baik dalam menghadapi perkembangan kehidupan maupun dalam melaksanakan usaha-usaha menuju tercapainya tujuan Muhammadiyah yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Akhirnya, dengan senantiasa memohon ridha dan karunia Allah SWT., semoga kiprah Muhammadiyah di pentas sejarah ini membawa kemasalahatn bagi hidup umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Nashr min Allah wa fath qarib.
Sumber: www.muhammadiyah.or.id
Bismillahirrahmanirrahim
Bahwa keberhasilan perjuangan Muhammadiyah yang berjalan hampir satu abad pada hakikatnya merupakan rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut disyukuri oleh seluruh warga Persyarikatan. Dengan modal keikhlasan dan kerja keras segenap anggota disertai dukungan masyarakat luas Muhammadiyah tidak kenal lelah melaksanakan misi da’wah dan tajdid dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Gerakan kemajuan tersebut ditunjukkan dalam melakukan pembaruan pemahaman Islam, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa di negeri ini.Namun disadari pula masih terdapat sejumlah masalah atau tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan langkah-langkah strategis dalam usianya yang cukup tua itu. Perjuangan Muhammadiyah yang diwarnai dinamika pasang-surut itu tidak lain untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta dalam rangka menyebarkan misi kerisalahan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang terhampar luas ini.
Karena itu dengan senantiasa mengharapkan ridha dan pertolongan Allah SWT Muhammadiyah dalam usia dan kiprahnya jelang satu abad ini menyampaikan pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) sebagai berikut:
A. Komitmen Gerakan
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam. Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan. Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi (pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi, Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia.
3. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya, sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk meneguhkan dan merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan.
B. Pandangan Keagamaan
1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: ”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.
4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.
C. Pandangan tentang Kehidupan
1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan-keseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang harmoni.
2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi.
3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral tinggi.
D. Tanggungjawab Kebangsaan dan Kemanusiaan
1. Muhammadiyah memandang bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi yang penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental akan semakin memperparah krisis nasional. Wabah masalah tersebut menjadi beban nasional yang semakin berat dengan timbulnya berbagai musibah dan bencana nasional seperti terjadi di Aceh, Nias, dan daerah-daerah lain yang memperlemah dayatahan bangsa. Krisis dan masalah tersebut bahkan akan semakin membebani tubuh bangsa ini jika dipertautkan dengan kondisi sumberdaya manusia, ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur nasional maupun lokal yang jauh tertinggal dari kemajuan yang dicapai bangsa lain.
2. Bangsa Indonesia juga tengah berada dalam pertaruhan ketika berhadapan dengan perkembangan dunia yang berada dalam cengkeraman globalisasi, politik global, dan berbagai tarik-menarik kepentingan internasional yang diwarnai hegemoni dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Indonesia bahkan menjadi lahan paling subur dan tempat pembuangan limbah sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak neo-liberal. Jika tidak memiliki daya adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kookoh maka bangsa ini juga akan terombang-ambing dalam hegemoni dan liberalisasi politik global yang penuh konflik dan kepentingan. Pada saat yang sama bangsa ini juga tengah berhadapan dengan relasi-relasi baru yang dibawa oleh multikulturalisme yang memerlukan orientasi kebudayaan dan tatanan sosial baru yang kokoh.
3. Dalam menghadapi masalah dan tantangan internal maupun eksternal itu bangsa Indonesia memerlukan mobilisasi seluruh potensi dan kemampuan baik berupa sumberdaya manusia, sumberdaya alam, modal sosial-kultural, dan berbagai dayadukung nasional yang kuat dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Dalam kondisi yang sangat penuh pertaruhan dan sarat tantangan tersebut maka sangat diperlukan kepemimpinan yang handal dan visioner baik yang didukung kemampuan masyarakat yang mandiri baik di ingkat nasional maupun lokal agar berbagai masalah, tantangn, dan potensi bangsa ini mampu dihadapi serta dikelola dengan sebaik-baiknya.
4. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim juga tidak lepas dari perkembangan yang dihadapi saudara-saudaranya di dunia Islam. Mayoritas dunia Islam selain dililit oleh masalah-masalah nasional masing-masing, pada saat yang sama berada dalam dominasi dan hegemoni politik Barat yang banyak merugikan kepentingan-kepentingan dunia Islam. Sementara antar dunia Islam sendiri selain tidak terdapat persatuan yang kokoh, juga masih diwarnai oleh persaingan dan konflik yang sulit dipertemukan, sehingga semakin memperlemah posisi umat Islam dalam percaturan internasional. Kendati begitu, masih terdapat secercah harapan ketika Islam mulai berkembang di neger-negeri Barat dan terjadi perkembangan alam pikiran baru yang membawa misi perdamaian, kemajuan, dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
E. Agenda dan Langkah Ke Depan
1. Dalam menghadapi masalah bangsa, umat Islam, dan umat manusia sedunia yang bersifat kompleks dan krusial sebagaimana digambarkan itu Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan nasional akan terus memainkan peranan sosial-keagamaannya sebagaimana selama ini dilakukan dalam perjalanan sejarahnya. Usia jelang satu abad telah menempa kematangan Muhammadiyah untuk tidak kenal lelah dalam berkiprah menjalankan misi da’wah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Jika selama ini Muhammadiyah telah menorehkan kepeloporan dalam pemurnian dan pembaruan pemikrian Islam, pengembangan pendidikan Islam, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, serta dalam pembinaan kecerdasan dan kemajuan masyarakat; maka pada usianya jelang satu abad ini Muhammadiyah selain melakukan revitalisasi gerakannya juga berikhtiar untuk menjalankan peran-peran baru yang dipandang lebih baik dan lebih bermasalahat bagi kemajuan peradaban.
2. Peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan da’wah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik-praktik (politik kepartaian) yang bersifat jangka pendek dan sarat konflik kepentingan. Dengan bingkai Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah secara proaktif menjalankan peran dalam pemberanrasan korupsi, penegakan supremasi hukum, memasyarakatkan etika berpolitik, pengembangan sumberdaya manusia, penyelamatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, memperkokoh integrasi nasional, membangun karakter dan moral bangsa, serta peran-peran kebangsaan lainnya yang bersifat pencerahan. Muhammadiyah juga akan terus menjalankan peran dan langkah-langkah sistematik dalam mengembangkan kehidupan masyarakat madani (civil society) melalui aksi-aksi da’wah kultural yang mengrah pada pembentukan masyarakat Indonesia yang demokratis, otonom, berkeadilan, dan berakhlak mulia.
3. Dalam pergaulan internasional dan dunia Islam, Muhammadiyah juga terpanggil untuk menjalankan peran global dalam membangun tatanan dunia yang lebih damai, adil, maju, dan berkeadaban. Muhammadiyah menyadari pengaruh kuat globalisasi dan ekspansi neo-liberal yang sangat mencengkeram perkembangan masyarakat dunia saat ini. Dalam perkembangan dunia yang sarat permasalahan dan tantangan yang kompleks di abad ke-21 itu Muhammadiyah dituntut untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan berperadaban mulia.
4. Khusus bagi umat Islam baik di tingkat lokal, naional, maupun global Muhammadiyah dituntut untuk terus maminkan peran da’wah dan tajdid secara lebih baik sehingga kaum muslimin menjadi kekuatan penting dan menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban di era modern yang penuh tantangan ini. Era kebangkitan Islam harus terus digerakkan ke arah kemajuan secara signifikan dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam. Umat Islam harus tumbuh menjadi khaira ummah yang memiliki martabat tinggi di hadapan komunitas masyarakat lain di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tengah dinamika umat Islam yang semacam itu Muhammadiyah harus tetap istiqamah dan terus melakukan pembaruan dalam menjalankan dan mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang tercinta ini.
Demikian Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad sebagai ungkapan keyakinan, komitmen, pemikiran, sikap, dan ikhtiar mengenai kehadiran dirinya sebagai Gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid dalam memasuki usianya hampir seratus tahun. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad tersebut menjadi bingkai dan arah bagi segenap anggota dan pimpinan Persyarikatan baik dalam menghadapi perkembangan kehidupan maupun dalam melaksanakan usaha-usaha menuju tercapainya tujuan Muhammadiyah yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Akhirnya, dengan senantiasa memohon ridha dan karunia Allah SWT., semoga kiprah Muhammadiyah di pentas sejarah ini membawa kemasalahatn bagi hidup umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Nashr min Allah wa fath qarib.
Sumber: www.muhammadiyah.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)