KERINGANAN BERPUASA,
TATAPAN ILMU KEDOKTERAN*
TATAPAN ILMU KEDOKTERAN*
Oleh Machnun Husein
Simposium Nasional tentang “Kesehatan dan Puasa” di Semarang yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UNDIP dan RS Dr. Kariadi, 2 April 1988, penyelenggaraannya tepat pada saat-saat menjelasng datangnya Ramadan 1408 H. Machnun Husein, staf pengajar Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, termasuk salah seorang peserta simposium, menurunkan catatannya.
Inti Permasalahan
Puasa di bulan Ramadan adalah kewajiban bagi setiap Muslim dewasa, pria maupun wanita, yang berada dalam kondisi sehat, baik jasmani maupun ruhani. Dispensasi atau keringanan terhadap kewajiban tersebut secara limitatif diberikan oleh Islam kepada tiga kelompok orang: (1) yang sakit, (2) yang bepergian, dan (3) yang tidak mampu berpuasa lantaran ‘uzur. Kelompok pertama dan kedua diberi keringanan untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya di hari lain, sedangkan kelompok ketiga dibebaskan sama sekali dari kewajiban berpuasa dan sebagai penggantinya mereka hanya diwajibkan membayar fidyah berupa makanan kepada orang miskin.
Tidak atau belum adanya penjelasan yang relatif tuntas mengenai istilah-istilah sehat, sakit dan ‘uzur (dan juga perjalanan) yang berkaitan dengan kewajiban serta dispensasi terhadap kewajiban berpuasa ini ternyata merupakan masalah yang tidak kecil. Bahkan dalam simposium ini kelihatannya hal itu merupakan masalah inti yang ingin dicobapecahkan, setidak-tidaknya agar bisa dibuat rambu-rambu yang diinginkannya itu.
Sebenarnya para mujtahid dan fuqaha’ di masa lampau sudah berusaha merumuskan makna dan definisi istilah-istilah tersebut, entah tepat atau tidak, yang banyak diacu oleh umat Muslim generasi sekarang. Muhammad ‘Abduh, salah seorang di antara mereka, bahkan secara “progresif” telah memasukkan orang-orang dalam kondisi tertentu kedalam kelompok sehat, sakit atau tidak mampu berpuasa. Jadi sebenarnya tidak sepenuhnya benar bila dikatakan bahwa penjelasan tentang siapa yang disebut sehat, sakit dan tidak mampu karena ‘uzur itu belum ada. Sebenarnya sudah ada penjelasan itu, hanya belum disajikan saja dalam forum ini. Dan ini tentunya patut disayangkan.
Antara Agama dan Ilmu Kedokteran
Secara formal kajian dalam simposium ini memang didasarkan atas sudut pandang Ilmu Kedokteran. Sebelas di antara 12 makalah berbicara tentang dampak puasa terhadap para penderita penyakit tertentu, dan masing-masing disampaikan oleh dokter spesialis. Satu-satunya makalah yang membahas puasa dari sudut pandang filsafat Islam adalah dari Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mukti Ali mengemukakan bahwa puasa – walau dalam makna yang tidak persis sama dengan konsep puasa dalam Islam – sudah biasa digunakan oleh dokter sebagai salah satu terapi. Dan ternyata dengan terapi itu banyak pasien yang lantas sembuh dari penyakitnya. Karena itu tampaknya dia yakin bahwa puasa dapat membikin orang sakit menjadi sehat, karena ia memberikan kekuatan tambahan. Dalam hal ini dia mengatakan, “Istirahat yang diberikan kepada alat-alat pencernaan sebulan lamanya, sebagai kiasan terhadap puasa Ramadan, memberikan kekuatan tambahan, seperti tanah yang diistirahatkan tidak ditanami, akan menjadi lebih produktif. Demikian juga organ dari badan, jika diberi istirahat akan menambah kapasitasnya untuk kerja, dan makin baik kapasitas organ pencernaan itu maka makin sehat fisik orang itu.”
Pernyataan Mukti Ali ini secara implisit, bahkan eksplisit, sejalan dengan hadis Sumu tasihhu (Berpuasalah agar kamu sehat) yang sering diacu oleh banyak penyaji makalah lainnya dalam simposium ini. Dan memang ketika diminta komentarnya tentang hadis tersebut dia menyetujui isinya, walaupun belum sempat menilai kedudukan hadis tersebut.
Prof. Dr. Ahmad Muhammad Djojosugito, Guru Besar Fisiologi pada Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, yang mengajukan makalah tentang “Puasa pada Orang Sehat,” tidak membantah pernyataan Mukti Ali itu. Bahkan dia mengakui, selama karirnya sebagai dokter, dia sering melihat kenyataan-kenyataan yang “luar biasa” pada pasien-pasien yang berpuasa. Namun Ahmad Muhammad tampaknya tidak mau percaya begitu saja kepada kenyataan-kenyataan itu sebelum dibuktikan secara empirik. Dia mengakui bahwa puasa merupakan beban atau stress bagi fisik maupun psikis manusia. Apakah ia merupakan stress yang menguntungkan tubuh atau tiak, menurut pendapatnya, perlu diteliti dengan mengukur parameter-parameter fisik, fisiologik, biokimiawi dan psikis dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
Ahmad Muhammad juga mengakui, stress atau beban yang tidak berlebihan, yang datangnya berulang-ulang akan menimbulkan tanggapan tubuh untuk mengadaptasikan diri sedemikian rupa sehingga tubuh menjadi lebih kuat terhadap stress yang makin berat. Tanggapan atau reaksi inilah yang disebutnya reaksi siaga (defense reaction). Dengan pernyataannya itu tampaknya dia ingin menegaskan bahwa suatu stress – dalam hal ini puasa – bisa dianggap berlebih-lebihan pada orang tertentu dan bisa dinilai memadai atau bahkan relatif amat ringan oleh orang lain. Semuanya ini tergantung pada besar-kecilnya kemampuan tubuh untuk mengadaptasikan diri dengan stress tersebut.
Posisi dan Peranan Dokter
Masalahnya adalah siapa yang berhak atau bisa mengetahui besar-kecilnya kemampuan tubuh itu terhadap suatu stress atau katakanlah puasa itu. Atau dengan perkataan lain, siapakah yang berhak atau bisa menyatakan seseorang dalam kondisi sehat, misalnya, sehingga dia wajib berpuasa, atau dalam kondisi sakit atau ‘uzur, sehingga dia harus menggunakan dispensasi terhadap kewajiban berpuasa ini.
Terhadap permasalahan ini, kebanyakan (jumhur) ‘ulama’ berpendapat bahwa hendaknya orang yang sakit memperkirakan sendiri tentang kemampuannya untuk berpuasa. Ini berarti orang yang bersangkutan yang berhak atau wajib menentukan dan mengambil keputusan sendiri, berpuasa atau tidak. Dan orang lain – termasuk dokter – tentu saja tidak berhak mencampuri atau mengganggu-gugat keputusan itu. Namun dari hadis yang diriwayatkan dari Amr bin Dinar dan Hilal bin Yusuf dinyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad mengunjungi seseorang yang sedang sakit, beliau bersabda, “Bawalah ke dokter.” Ini berarti bahwa Nabi sendiri menaruh kepercayaan kepada dokter sebagai orang yang lebih mengetahui masalah kesehatan.
Alm. Dr. Ahmad Ramali, yang barangkali bisa disebut sebagai “orang pertama” di Indonesia yang membahas aturan Syari‘ah dalam bidang kesehatan dalam disertasinya, juga berpendapat bahwa dokterlah yang seharusnya memberikan keterangan, apakah seseorang harus mengambil dispensasi terhadap kewajiban berpuasa ataukah tidak. Bila pendapat ini disetujui, tentunya fungsi dokter tidak hanya sekedar memberikan perawatan dan pengobatan tetapi sekaligus menjadi “konsultan” dan penasihat dalam hal kewajiban berpuasa ini.
Jadi tegasnya, dokter berhak mencegah atau bahkan melarang seseorang melakukan puasa bila secara medik diyakini bahwa hal itu akan menambah semakin parahnya penyakit yang dideritanya atau bahkan menimbulkan kematiannya. Bagaimanapun juga dokter tidak boleh meluluskan keinginan seseorang yang tidak mampu untuk memaksakan diri berpuasa, karena hal ini, mengutip ucapan dr. Ismail Ali dari Fakultas Kedokteran UI Jakarta, sama saja dengan memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk melakukan bunuh diri secara perlahan-lahan. Dan bunuh diri, dengan alasan apapun, jelas dilarang oleh Islam. Dan berpuasa pun tidak dimaksudkan agar orang menjadi bertambah sakit atau bahkan meninggal.
Dalam hubungan ini kiranya perlu dikemukakan bahwa ternyata dalam simposium ini ada juga beberapa orang yang berbeda pendapat. Menurut mereka, meskipun dokter lebih tahu tentang kondisi kesehatan dan penyakit seseorang pasien, dia tidak berhak melarang pasien tersebut untuk menjalankan ibadah puasa. Masalah ibadah adalah masalah pribadi yang bersangkutan dan bukan masalah medik yang menjadi wewenang dokter. Karena itu apapun yang diputuskan oleh pasien tersebut – berpuasa atau tidak – merupakan hak dan tanggungjawabnya, bukan tanggungjawab dokter. Sudah barang tentu pendapat ini menimbulkan reaksi dari peserta-peserta lainnya. Tetapi patut disyukuri bahwa akhirnya perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan dengan penuh pengertian.
Beberapa Kesepakatan
Walaupun di sana-sini diakui adanya kekurangan-kekurangan dalam berbagai kajian mengenai dampak medik puasa terhadap beberapa penyakit tertentu, namun simposium ini dinilai oleh banyak peserta telah menjadi pendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut secara lebih seksama.
Yang jelas, tidak sembarang penyakit bisa dijadikan alasan untuk menggunakan dispensasi terhadap kewajiban berpuasa. Orang yang mengidap penyakit-penyakit tertentu yang menurut orang awam dianggap gawat pun, tetap dianggap sehat dan karenanya wajib menjalankan puasa selama penyakitnya itu tidak sampai pada tingkatan akut. Dan dalam hal ini simposium telah secara rinci merumuskan kondisi-kondisi tertentu pada berbagai penyakit yang secara medik dinyatakan tidak menghalangi orang untuk menjalankan ibadah puasa. Bahkan orang usia lanjut (55 tahun ke atas) yang kondisi fisiknya memungkinkan serta tidak mengidap penyakit kardiovaskuler berat, keganasan, diabetes mellitus atau penyakit saluran cerna, masih tetap dianggap sehat dan wajib menjalankan puasa.
Simposium tidak dapat menerima konsep sehat sebagaimana dikemukakan oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) yang mencantumkan “tanpa penyakit ataupun cacat.” Ia secara sederhana hanya merumuskan bahwa “sehat berarti organ-organ tubuh bekerja rata-rata normal, dapat menopang aktivitas tubuh untuk kehidupan sehari-hari, dan dapat menerima beban fisik maupun mental dalam ukuran sedang tanpa penderitaan yang berarti.”***
*Sumber: Panji Masyarakat, Jakarta, No. 573 Th. XXIX, 1408 H/1988, hlm. 54-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar