Jumat, September 04, 2009

Pemahaman Al-Qur'an secara Komprehensif

PEMAHAMAN AL-QUR’AN SECARA KOMPREHENSIF
Oleh Machnun Husein

I

Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. a.l. dimaksudkan agar menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat Islam. Demikian penegasan Allah sendiri dalam firman-Nya pada surat Al-Baqarah ayat 185. Karenanya siapa pun yang mampu memahaminya, cepat atau lambat, akan memperoleh petunjuk itu. Jika setelah itu orang mampu dan mau menghayati serta mengamalkannya, maka baginya ia merupakan pedoman hidup. Dan orang yang berpedoman hidup Al-Qur’an dijamin oleh Allah tidak akan tersesat selama-lamanya.

Logikanya jika orang tidak memahami Al-Qur’an, sukarlah baginya untuk menempatkan kitab suci itu sebagai pedoman hidupnya. Sebab penghayatan dan pengamalan tidak mungkin terlaksana tanpa adanya pemahaman. Oleh karena itulah kecintaan kita terhadap Al-Qur’an yang pada umumnya baru sampai pada membaca perlu disempurnakan dengan usaha memahami isi dan kandungannya.

Namun demikian pemahaman yang tuntas sekalipun terhadap Al-Qur’an tidaklah menjamin orang untuk mampu dan mau menghayati serta mengamalkannya. Ada faktor lain di luar dirinya yang sangat menentukan yakni “hidayah” atau pimpinan dari Allah swt. Hidayah adalah milik mutlak Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Tak seorang pun bisa memberikan hidayah itu. Nabi Muhammad pun tidak bisa. Allah menegaskan hal ini dalam surat Qasas ayat 56: “Sesungguhnya kamu [Muhammad] tidak akan dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai sekalipun. Allah sajalah yang memberikan hidayah itu kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah jualah yang lebih tahu siapa [orang-orang] yang menerima hidayah itu.”

Itulah sebabnya setiap Muslim wajib memohon dan berdoa kepada Allah swt. agar ia dapat memperoleh hidayah, sebab hidayah itulah yang merupakan kunci utama bagi siapa saja untuk menjadi Muslim sejati. Disadari atau pun tidak, sebenarnya setiap Muslim selalu mengucapkan doa itu. Paling sedikit tujuh belas kali dalam sehari, yakni pada saat-saat menjalankan salat lima waktu. Doa itu adalah (lihat Surat Al-Fatihah ayat 6 dan 7): “Berikanlah kepada kami hidayah untuk menuju ke jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni‘mat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”

Jika ditelaah secara seksama isi doa di atas akan timbul peranyaan pada pikiran kita, jalan lurus manakah yang dikehendaki. Pertanyaan ini jelas akan terjawab apabila kita mampu memahami siapakah sebenarnya orang-orang yang telah mendapatkan ni‘mat Allah itu dan siapa pula orang-orang yang dimurkai-Nya dan yang tersesat itu. Bahkan akan lebih luas lagi pengertian kita tentang mereka jika kita mampu menelusuri sikap hidup mereka masing-masing. Dan semuanya itu bisa kita peroleh apabila kita mau mempelajari Al-Qur’an dengan seksama.

II

Walaupun pemahaman terhadap Al-Qur’an itu tidak merupakan syarat untuk bisa memperoleh hidayah Allah, namun dari segi penalarannya memang hal itu merupakan sesuatu yang mutlak perlu. Dan ternyata penalaran ini diisyaratkan juga di dalam Al-Qur’an sendiri, yakni pada Surat An-Nisa’ ayat 81 dan Surat Muhammad ayat 24, walaupun kedua ayat tersebut pada hakikatnya ditujukan kepada orang-orang munafik. Kedua ayat tesebut menyatakan: “Apakah mereka [orang-orang munafik itu] tidak mempelajari Al-Qur’an? Kalau Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An-Nisa: 81). “Apakah mereka [orang-orang munafik itu] tidak mempelajari Al-Qur’an ataukah hati mereka sendiri yang telah tertutup rapat?” (QS. Muhammad: 24).

Dua ayat Al-Qur’an yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan oratoris itu sebenarnya merupakan penegasan kepada kita bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari sisi Allah dan bukan ciptaan Nabi Muhammad atau orang lain. Buktinya di dalam Al-Qur’an itu tidak terdapat pertentangan-pertentangan. Ini adalah kesimpulan pokok dari Surat An-Nisa’ ayat 81. Dan bukti itu dapat kita cek apabila kita telah memahami Al-Qur’an secara total. Sedangkan dari Surat Muhammad ayat 24 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang telah tertutup rapat hatinya, dalam arti tidak mendapatkan hidayah Allah sebagaimana halnya dengan orang-orang munafik itu, tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dengan benar.

Oleh karena itulah dalam usaha memahami Al-Qur’an itu pun hidayah Allah merupakan faktor yang sangat menentukan, dan tanpa hidayah itu kita akan keliru memahami kandungan kitab suci itu.

III

Untuk dapat memahami Al-Qur’an, usaha pertama yang perlu dilakukan adalah penataan kembali sikap kita terhadap kitab suci itu. Al-Qur’an yang selama ini lebih sering diperlakukan sekedar sebagai buku bacaan harus diubah sedemikian rupa sehingga kitab suci itu benar-benar berfungsi sebagai pedoman hidup. Setiap Muslim bukan saja harus senang membacanya tetapi juga wajib memahami isinya. Kepekaan terhadap kesalahan orang di saat membaca Al-Qur’an belumlah cukup, tetapi harus disempurnakan sehingga orang akan peka pula terhadap belum dihayati dan diamalkannya Al-Qur’an itu.

Dalam waktu yang sama pemahaman Islam yang terlalu berorientasi kepada Fiqih pun harus dijauhkan. Sebab pendekatan yang terlalu “fiqih oriented” inilah yang justeru menimbulkan jarak antara tiap Muslim dengan Al-Qur’annya. Bahkan kadang-kadang menimbulkan kesan seolah-olah Islam itu hanyalah Fiqih, yang karenanya Islam tidak mempunayi peranan apa-apa di luar bidang Fiqih itu.

Setiap kali umat Islam menghadapi persoalan, usaha pertama yang selalu dilakukan ialah mencari ketetapan hukumnya dalam kitab-kitab Fiqih. Sedangkan Al-Qur’an seringkali ditempatkan sekedar sebagai buku acuan (referensi) untuk menguatkan dan melegalisasikan ketetapan hukum Fiqih itu. Padahal jika kita telusuri seluruh ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6.666 buah itu terbukti bahwa ayat-ayat tentang Fiqih itu hanyalah merupakan sebahagian kecil saja.

Itulah sebabnya terasa sudah saatnya untuk dilakukan reorientasi terhadap pemahaman Islam itu, sehingga Islam benar-benar dipahami, dihayati dan diamalkan secara total dan tidak terpecah-pecah. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa orientasi baru itu akan mampu menempatkan setiap Muslim bukan saja sebagai hamba Allah yang patuh mengabdi kepada-Nya, tetapi juga sebagai makhluk sosial yang mengemban tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dan untuk menuju ke arah itu, paling tidak, menurut hemat saya, harus diawali dengan kegiatan pemahaman terhadap Al-Qur’an.

IV

Pandangan-pandangan lama yang bernada “melarang” usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an harus secara tuntas dienyahkan. Demikian juga pendapat-pendapat yang bernada “sinis” dan “penuh prasangka” terhadap kitab-kitab tafsir tertentu harus secara gradual (menurut atau sesuai dengan derajatnya) ditempatkan pada proporsinya. Saya tidak yakin bahwa mereka yang “sinis” itu benar-benar telah menelaah kitab-kitab tafsir yang tidak mereka senangi itu. Dan bahkan tidak yakin bahwa mereka mampu menafsirkan Al-Qur’an itu dengan cara yang lebih baik. Saya malah khawatir jangan-jangan mereka cuma “membeo” kepada para guru mereka saja yang kebetulan menganut mazhab terentu.

Lebih dari itu lembaga-lembaga pengajian Al-Qur’an perlu dibentuk di mana-mana dan para ahli tafsir dikerahkan ke dalamnya. Lebih dari itu pula, perlu dipikirkan adanya penggalian dan penulisan tema-tema baru dalam Al-Qur’an itu, yang hingga kini sangat kurang dipersoalkan oleh para mufassir terdahulu. Katakanlah tema-tema Al-Qur’an tentang alam semesta, tentang sains, tentang sejarah, tentang masyarakat, dan sebagainya.

Tunjukkanlah kepada dunia bahwa Islam dengan Al-Qur’annya benar-benar datang sebagai rahmat bagi umat manusia sejagat dan bukan semata-mata ditujukan kepada kaum Muslimin. Kumpulan tafsir tentang ayat-ayat hukum yang sekarang sudah ada, sudah saatnya untuk dilengkapi dengan kumpulan tafsir ayat-ayat lainnya. Dan semuanya itu jelas memerlukan kerjasama anara para “ulama” di satu pihak dan para “sarjana” di pihak lain.

Al-Qur’an mengandung berbagai macam hal yang tampaknya sudah tidak mungkin lagi dipahami oleh orang-orang dari satu profesi dan didekati dengan satu disiplin ilmu semata-mata. Karenanya pandangan yang seolah-olah menempatkan Al-Qur’an hanya sebagai bidang studi “para ulama” dalam pengertian yang sempit, sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Sebaliknya kita justeru harus berpikir bahwa Al-Qur’an adalah bidang studi semua orang dengan profesi mereka masing-masing. Atau dengan perkataan lain, istilah ulama harus diberi arti yang jauh lebih luas sehingga mencakup segala jenis disiplin ilmu dan profesi itu.

Kerjasama antar ulama dan sarjana dalam memahami Al-Qur’an secara komprehensif, yang sudah dirintis secara sporadis (tersebar, terpisah-pisah) di beberapa tempat, kiranya perlu dilanjutkan dan dikembangkan oleh masyarakat Islam di tempat-tempat lainnya.

V

Apa yang saya kemukakan ini bukanlah dimaksudkan untuk merendahkan kedudukan dan peranan para ulama dan kiyai kita, sebab bagaimanapun juga pada saatnya mereka adalah pelopor-pelopor yang berjasa besar dan yang telah mengenalkan kita kepada Islam. Namun pada saat sekarang ini tampaknya sudah mulai terasa (sekali lagi terasa) bahwa mereka mulai kehilangan daya tarik dan pamornya. Apalagi mereka yang masih “bertahan” (conserved) pada pendekatan lamanya. Oleh karena itulah kita menyaksikan timbulnya kecenderungan baru di kalangan terpelajar non-agama, khususnya, bahwa mereka lebih tertarik dengan muballigh-muballigh dari kalangan mereka sendiri yang seprofesi.

Menurut hemat saya, timbulnya muballigh-muballigh “intelek” itu bukanlah merupakan “saingan” yang dikhawatirkan akan “menggeser” kedudukan dan peranan para ulama dan kiyai kita selama ini, tetapi justeru merupakan penyambung lidah yang efektif karena melalui ucapan dan tinta mereka itu Islam bisa dikomunikasikan kepada khalayak yang selama ini belum terjangkau oleh para ulama dan para kiyai itu.

VI

Untuk melaksanakan kegiatan dan usaha pemahaman Al-Qur’an dengan pendekaan yang komprehensif (tidak terpisah-pisah) ini saya kira ada beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan. Alternatif pertama ialah studi Al-Qur’an menurut urutan ayat sejak dari awal hingga akhir (tartib mashafi). Cara ini adalah cara yang konvensional.

Walaupun penelaahan atas dasar “tartib mashafi” ini relatif lebih mudah, namun dalam prakteknya seringkali sulit sekali. Terutama apabila si penelaah kurang memahami pertautan (tanasub) antara satu ayat dengan ayat lainnya., sehingga karenanya konsepsi yang tuntas dari suatu masalah tidak dapat diperoleh. Ingat bahwa dalam Al-Qur’an, suatu masalah seringkali, bahkan selalu, diungkapkan dalam beberapa ayat baik dalam surat yang sama ataupun dalam surat yang berbeda-beda. Sebagai contoh ialah kisah Nabi Musa as. yang dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 30 kali dengan pengungkapan yang berbeda-beda dan pada surat-surat yang berbeda-beda pula.

Oleh karena itulah cara yang pertama ini seringkali ditinggalkan orang dan digantikan dengan cara lain yang didasarkan atas urutan permasalahannya, yang dikenal dengan istilah “tartib maudu‘i”. Walaupun dengan cara ini si penelaah akan banyak mengalami kesulitan dalam mengumpulkan ayat-ayat tentang persoalan atau judul yang sedang dibahas, namun cara ini biasanya memudahkan orang untuk dengan segera memperoleh gambaran yang tuntas tentang judul atau masalah tertentu. Cara ini sudah diikuti antara lain oleh para mufassir terdahulu yang membukukan ayat-ayat hukum [Tafsir Ayat Al-Ahkam].

Disamping dua cara tersebut di atas ada pula cara lain lagi yang relatif jauh lebih sulit, yakni yang didasarkan atas urutan sejarah diturunkannya ayat-ayat tersebut, yang biasanya dikenal dengan istilah “tartib nuzuli.”

Dari uraian ini jelaslah bahwa pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur’an itu, selain diakui pentingnya juga perlu mendapatkan penanganan yang serius. Namun demikian kesamaan sikap dan ketekunan bersama di antara kita adalah faktor penting yang seharusnya diciptakan telebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Yang jelas, pemahaman Al-Qur’an secara terpisah-pisah, apalagi terpotong-potong, akan mengakibatkan tidak tuntasnya pemahaman kita terhadap kandungan kitab suci itu.

Kalau lantaran itu saya boleh berharap, maka satu-satunya harapan ialah semoga para ulama dan sarjana Muslim sempat memikirkan masalah ini. Sebab keterbelakangan umat selama ini antara lain disebablan oleh ketidaktahuan mereka akan isi dan kandungan kitab suci Al-Qur’an. Karenanya janganlah diharapkan bahwa mereka akan mampu menghayati dan mengamalkan Al-Qur’an selama mereka belum memahami kandungannya secara sempurna.***

Sumber: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, No. 22 Th. ke-62, 1403 H/1982 M, hlm. 18-20.

Pembetukan Jama'ah dan Solidaritas Sosial Islam

PEMBENTUKAN JAMA‘AH DAN SOLIDARITAS SOSIAL ISLAM
Catatan Kecil dari Silaturrahmi Warga Muhammadiyah Yogya
Oleh Machnun Husein

I

Setiap tanggal 1 Sawwal, setelah selesai menunaikan salat jama‘ah ‘Idulfitri, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta selalu menyelenggarakan silaturrahmi dengan wara Muhammadiyah dan para simpatisannya. Acaranya sederhana sekali. Jamuannya pun demikian pula. Biasanya the dengan makanan kecil ala kadarnya. Pembicaranya tunggal, biasanya Ketua PP sendiri. Kadang-kadang ada sambutan dan selingan pengumuman-pengumuman.

Silaturrahmi tersebut merupakan tradisi yang sudah sangat lama umurnya. Karenanya walaupun tanpa undangan atau pemberitahuan melalui media massa pun yang hadir pasti banyak. Bahkan pada 1 Syawwal 1402 ybl. (22 Juli 1982) banyak tamu yang terpaksa bediri karena tidak mendapat kursi lagi.

Yang dikemukakan oleh PP dalam kesempatan itu biasanya hal-hal yang actual bagi Muhammadiyah. Baik yang sedang dikerjakan atau pun yang akan dikerjakan Muhammadiyah dalam waktu dekat. Tanggapan orang luar terhadap Muhammadiyah kadang-kadang dikemukakan juga. Demikian juga sikap Muhammadiyah terhadap tanggapan-tanggapan itu. Sudah barang tentu ucapan selamat dan saling memaafkan tidak pernah dilupakan dan bahkan memberi warna tersendiri pada pertemuan ini.

Untuk tahun ini Pak AR Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah, memberikan informasi tentang rencana Pemerintah untuk mengajukan RUU Keormasan dan sedikit ulasan mengenai efeknya terhadap Muhammadiyah. Menurut Pak AR pembubaran Muhammadiyah jelas tidak mungkin, barangkali cuma “memepetkan atau menjepitnya” saja. Namun bagi Muhammadiyah, demikian Pak AR, perasaan “terpepet” dan “terjepit” adalah hal yang biasa. Bahkan semenjak jaman penjajahan dulu. Yang jelas, Muhammadiyah tetap berjalan dan beramal. Disamping itu dikemukakan juga tentang gagasan da‘wah melalui pembentukan jama‘ah, yang notabene sudah pernah diputuskan dalam Mu’amar beberapa tahun yl. dan yang hingga kini belum pernah mengalami perubahan.

Catatan kecil ini diangkat dari topik pembicaraan Pak AR yang kedua itu, yang walaupun kedengaran begitu praktis dan mengundang banyak tawa, namun ternyata banyak hal yang problematik di dalamnya. Karenanyalah catatan ini saya sajikan dengan harapan agar kita, pembaca SM khususnya, ikut tergugah memberikan sumbangan pikirannya. Sebab bagi saya khususnya program itu perlu didukung.

II

Menurut Pak AR, pada setiap lingkungan tempat tinggal yang terdiri dari sekurang-kurangnya 10 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang Muslim dapat dibentuk satu jama‘ah yang dipimpin oleh seorang Imam atau pimpinan Jama‘ah. Pimpinan itu dipilih di antara mereka sendiri. Tugasnya selain menggerakkan salat jama‘ah bagi para anggotanya juga memikirkan dan berusaha memenuhi kebutuhan fisik material dari para anggotanya itu yang kebetulan sedang mengalami kesulitan, musibah atau sakit. Termasuk juga kesulitan keuangan di saat mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka, katakanlah untuk membayar uang pangkal, sumbangan gedung dan lain-lain. Jika jama‘ah itu bisa terbentuk dan kegiatan-kegiatannya bisa terkoordinasi secara baik, insya Allah jama‘ah itu akan merupakan benteng yang kuat untuk menjaga dan membina keimanan serta penghidupan semua anggotanya. Tepat seperti gambaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa orang-orang Muslim laksana sebuah bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan.

III

Sepanjang yang kita ketahui apa yang dikemukakan Pak AR itu bukan hal baru lagi. Diskusi-diskusi tentang itu sudah sering dilakukan orang. Istilahnya pun beranekaragam. Ada Ukhuwwah Islamiyah, keadilan sosial dalam Islam, dan masih banyak lagi. Namun sayang sekali dalam banyak diskusi, permasalahannya cuma sekedar didekati dari segi doktrin atau normanya yang kemudian diikuti dengan sederatan “daftar keinginan” yang seharusnya dicapai. Barangkali karena itulah setiap kali selesai berdiskusi tak ada kegiatan operasional yang menonjol. Hasil diskusi yang berorientasi normatif dan doktriner itu hanya mampu menambah ilmu pengetahuan dari para pesertanya dan menambah koleksi dokumen mereka masing-masing.

Pada saat sekarang ini batrangkali ada baiknya untuk didiskusikan kembali dengan pendekatan yang berbeda. Kita cari permasalahannya dan kita cari jalan keluar untuk memecahkan masalah itu. Barangkali dengan orientasi pemecahan masalah (problem-solving orientation) inilah dapat diperoleh faktor-faktor penghambat dan pendukungnya, sehingga pentahapan dan pencapaian tujuan dapat disusun sedemikian rupa sesuai dengan besar-kecilnya hambatan-hambatan itu.

Saya akan mencoba membandingkannya dengan sistem penyantunan anak yatim dalam Muhammadiyah. Menurut tuntunan Rasulullah saw. sistem yang paling baik dalam hal ini ialah memelihara anak yatim itu dalam lingkungan keluarga. Namun ternyata dalam hal ini terdapat hambatan-hambatan psikologis yang sulit diatasi, khususnya di antara si anak yatim dengan anak (anak-anak) dari keluarga pengasuhnya sendiri. Oleh karena itulah diberikan alternatif lain supaya tidak timbul akibat-akibat buruk bagi si anak yatim dengan menempatkannya di rumah-rumah atau panti-panti asuhan (Lihat Putusan Raker PKU di Purwokerto tahun 1968).

Untuk mendiskusikan permasalahan solidaritas sosial Islam di atas jelas diperlukan peran serta dari para ahli ilmu-ilmu sosial, sebab bagaimanapun juga pendekatan psikologis akan sangat mendukung pelaksanaan ajaran sosial Islam itu. Di sinilah terletak urgensinya bagi Muhammadiyah untuk mengundang dan melibatkan mereka dalam proyek besar ini.

Pak AR menyatakan bahwa selama ini masyarakat Islam masih suka nafsi-nafsi atau sendiri-sendiri (lihat Brosur Lebaran terbitan Pemuda Muhammadiyah Daerah Kodya Yogyakarta dan AMM Kotegede, No. 20 Th/ XX, 1 Syawwal 1402 H, hl, 14). Barangkali ini merupakan istilah lain saja dari krisis solidaritas Islam. Pertanyaannya ialah mengapa bisa terjadi krisis itu? Pendekatan yang tuntas terhadap masalah ini saya yakin bisa memberikan jawabannya, Dan jawaban itulah yang kita perlukan sebagai landasan dan titik awal perencanaan selanjutnya.

IV

Saya yakin bahwa ajaran Solidarias Sosial dalam Islam jauh lebih ideal dan tuntas dibandingkan dengan ajaran agama-agama atau faham-faham apa pun. Solidaritas sosial Islam tidak semata-mata membatasi diri pada pemenuhan keperluan sosial yang bersifat fisik material, melainkan juga yang bersifat mental spiritual. Islam tidak menghendaki masyarakat sejahtera dalam arti lahiriah semata-mata, tetapi juga sejahtera dalam arti batiniahnya juga. Islam menghendaki terbentuknya masyarakat yang dapat menikmati hidup dan memperoleh penghidupan yang layak sebagai makhluk sosial dan yang tetap dalam keadaan Muslim dan Mu’min yang memperoleh rida Allah swt.

Islam adalah satu-satunya agama yang menganjurkan para penganutnya untuk berusaha menjadi kaya. Tetapi Islam tidak membenarkan orang-orang yang kaya itu melakukan penindasan dan atau menyengsarakan saudara-saudaranya yang fakir dan miskin. Itulah sebabnya Islam mewajibkan zakat dan infak kepada orang-orang Muslim yang kaya sehingga si fakir dan si miskin dapat memperoleh penghidupan yang layak. Rasulullah saw. pernah menyatakan bahwa kefakiran dan kemiskinan hampir-hampir dapat membawa orang ke arah kekufuran. Ini berarti bahwa Muslim yang fakir berada dalam posisi yang berbahaya sebab dia dapat mengorbankan iman dan Islamnya demi terpenuhinya keperluan fisik materialnya itu. Karena itulah peranan zakat dan infak dari orang-orang kaya itu besar sekali dalam memelihara dan membina keimanan setiap Muslim.

Saya ingin mengingatkan bahwa pada dasarnya zakat apapun (tidak cuma zakat firtah) adalah diprioritaskan bagi orang-orang fakir dan miskin itu. Sabda Rasulullah dalam hadis Mu‘adz yang terkenal itu menyatakan bahwa zakat itu dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka. Jika tidak demikian halnya maka berarti telah terjadi kezaliman. Jika orang-orang fakir yang merasa dizalimi itu berdoa kepada Allah atas kezaliman si kaya itu (dengan doa yang jelek sekalipun) Allah menjamin akan mengabulkannya (lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, juz 3, hlm. 6).

Dalam Surat At-Taubah ayat 60 pun kita lihat bahwa golongan fakir dan miskin itu menempati urutan pertama dan kedua di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat. Saya yakin urutan itu mempunyai maksud agar orang-orang fakir dan miskin itu selalu mendapatkan prioritas dalam penerimaan zakat itu. Dan salah besarlah jika hak mereka di diserobot begitu saja lantaran adanya kepentingan lain yang dianggap (sekali lagi dianggap) lebih bermanfaat.

Kalau sekarang masih tedapat banyak orang fakir dan miskin, ini berarti suatu indikasi bahwa pembagian zakat selama ini masih belum beres. Itulah sebabnya penelitian dan “kontrol” terhadap pelaksanaan pengumpulan dan pembagian zakat perlu dilakukan. Termasuk juga penelitian terhadap persoalan apakah masih ada di antara kita yang belum mau mengeluarkan zakatnya. (Ingat pada masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dahulu orang-orang Islam yang enggan mengeluarkan zakatnya justeru diperangi).

V

Saya sangat menghargai amal-usaha Muhammadiyah selama ini yang sangat menaruh perhatian terhadap pelaksanaan tuntunan Islam mengenai zakat dan infak ini. Penyelenggaraan yang bertentangan dengan tuntunan yang sebenarnya dibetulkan oleh persyarikatan ini. Di antaranya, yang paling terkenal ialah pelaksanaan zakat fitrah. Zakat fitrah yang selama berpuluh-puluh tahun disalahalamatkan telah dibetulkan sehingga benar-benar diberikan kepada fakir-miskin sesuai dengan tuntutan Islam yang sebenarnya.

Dalam hal zakat-zakat lainnya pun Muhammadiyah sangat berhati-hati, karenanya ketika pada tahun 1968 yl. Presiden Suharto berprakarsa untuk bertindak sebagai pengumpul zakat dari umat Islam, Muhammadiyah tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Selama tiga hari PP Muhammadiyah (4-6 Januari 1969) mengadakan Musyawarah Zakat di Yogyakarta sebelum mengeluarkan tanggapannya. Berikut ini saya kutip tanggapan Muhammadiyah tersebut (lihat juga Suara Muhammadiyah No. 1-2 Th. ke-49, Januari 1969, hlm. 4):

“Penyelenggaraan zakat yang dilakukan oleh Pemerintah seperti sekarang dapat menimbulkan banyak persoalan, a.l. perasaan bahwa kesempatan untuk menunaikan kewajiban agama dan memuaskan rasa keagamaan mereka seolah-olah menjadi terganggu, hingga menimbulkan perselisihan dan pertentangan faham di kalangan umat Islam sendiri tentang harta-harta yang dipungut maupun mustahiqnya dan cara pembagiannya yang akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, kesulitan-kesulitan dalam bidang pelaksanaan dan administrasi yang diragukan keefisienannya.

Muhammadiyah belum sepenuhnya dapat menyetujui gagasan dan langkah-langkah Pemerintah untuk menyelenggarakan zakat. Tapi Muhammadiyah bersedia bekerjasama dalam Panitia Zakat Nasional untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam dan sempurna mengenai soal-soal yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat. Dan sambil menunggu hasilnya, Muhammadiyah berpendapat agar penyelenggaraan zakat dilakukan oleh perorangan atau organisasi-organisasi Islam sendiri-sendiri.”

Beberapa tahun yang silam Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan istruksi kepada para anggotanya untuk melakukan penghitungan zakat sendiri dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Namun sejauh mana pelaksanaan instruksi tersebut, termasuk juga tindak lanjut dari sikap Muhammadiyah tersebut di atas, hingga kini tampaknya belum pernah diteliti. Padahal menurut hemat kita penelitian dan juga kontrol terhadap pelaksanaan instruksi apapun mutlak perlu. Sebab baaimana pun juga posisi Muhammadiyah dalam hal ini tidak semata-mata sebagai penganjur melainkan juga sebagai penyelenggaranya (Baca kembali kutipan tanggapan Muhammadiyah pada alinea kedua di atas). Penelitian dan kontrol adalah alat yang vital untuk mengevaluasi keberhasilan suatu proyek. Evaluasi itulah yang seharusnya menjadi titik tolak bagi perencanaan proyek berikutnya.

VI

Dari uraian di atas semakin jelas bahwa realisasi kegiatan pembentukan jama‘ah tidak dapat dipisahkan dengan realisasi ajaran Islam tentang zakat dan infak itu. Artinya jama‘ah itu sendiri tidak mungkin berfungsi secara sempurna tanpa adanya pembenahan dalam bidang penyelenggaraan zakat dan infak itu. Atau dengan perkataan lain, penyelenggaraan zakat dan infak selain berperan sebagai faktor pendukung bagi realisasi gagasan pembentukan jama‘ah juga sekaligus dapat merupakan faktor penghambatnya.

Hal lain yang perlu dipermasalahkan dalam hubungan ini ialah keanekaragaman keadaan Ranting dan Cabang Muhammadiyah kita yang merupakan ajang dari jama‘ah yang hendak dibentuk itu. Keanekaragaman bukan saja dalam hal ketertiban organisasinya tetapi juga dalam taraf hidup para anggotanya. Itulah sebabnya semakin terasa lagi urgensinya akan penelitian-penelitian sosiologis itu.

Gagasan pembentukan jama‘ah dengan segala aktivitasnya memang merupakan usaha yang sangat simpatik dan mulia, yang karenanya perlu didukung. Namun karena ternyata banyak hal yang problematik di dalamnya maka pendekatan yang mengarah kepada pemecahan masalah benar-benar diperlukan. Keberhasilan usaha ini, cepat atau lambat, akan memberikan citra yang lain kepada Muhammadiyah.***

Sumber: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, No. 16 Th. ke-62, 1402 H/1982 M, hlm. 14-16.

Rabu, September 02, 2009

Jihadi Suicide Bombers: The New Wave

Jihadi Suicide Bombers: The New Wave
Ahmed Rashid


After September 11, 2001, readers around the world quickly learned about the basic
tenets of jihad and its distortion by al-Qaeda. Now the shelves of Western bookshops are again filled with books on the subject, which gives no sign of going away. Jihad, which means struggle, is "recommended" rather than obligatory for all Muslims, but its interpretation is literally an open book—the lesser jihad to purify one's soul and perform good deeds for the community, the greater jihad to defend Islam when it is under attack. Each major collection of Hadith, or the sayings of the Prophet Muhammad that were compiled by several Muslim scholars well after the Prophet's death, contains its own descriptions of jihad, with the result that the discussion of jihad has always been a matter of differing interpretations rather than literal observance.

Yet the young men who trained in these camps were not educated in the Islamic
schools called madrasas and they were inspired less by extremist Islamic ideology
than by their desires to see the world, handle weapons, and have a youthful adventure. It was a boy's world of reality games. "I realized that I had dreamed of this moment for years," writes Nasiri—a nom de plume.

Nobody in the West seemed to suspect at the time how extensively bin Laden had
already distorted Islam. His tactics had hardly anything to do with religion and everything to do with gaining political power and influence.

Jihad was no longer a defensive manoeuvre but an offensive weapon that elevated martyrdom. But the Koran categorically forbids suicide. Until al-Qaeda began turning
religious texts on their heads, martyrdom was accepted only as the last resort of a cornered Muslim warrior and not as a wilfully planned death. This radical change in the concept of martyrdom has been viewed by many commentators as the license for modern Islamic terrorism.

Suicide attacks have been made possible by the new training and indoctrination provided by al-Qaeda as well as the booming drug trade, which has provided the Taliban and al-Qaeda with enormous funds to compensate the families of young suicides. Even more tragic, women and children are now considered fair game. On November 6, 2007, a suicide bomber struck in Baghlan in northern Afghanistan, killing seventy-two Afghans
including five members of parliament and fifty-nine schoolchildren. Another ninetythree
children were wounded. Afghan schools are now regularly bombed by the Taliban and
some six hundred out of a total of 8,500 have been forced to close down, sending 300,000 students home. Over 150 teachers and students have been killed.

One household makes the detonator, another sews the belt, a third molds ball bearings,
and so on. These are then collected and paid for by the Taliban, who claim in their
propaganda that they have hundreds of willing youngsters lined up to carry out suicide
bombings. Their main problems, they say, are finding good targets and the lack of sufficient explosives. While in Pakistan most suicide bombers are Pakistanis, in Afghanistan they include Afghans, Pakistanis, Kashmiris, Central Asians, Chechens, and, most recently, a German-born Turk, Cuneyt Cifici, who on March 3 rammed his explosive-laden car into a US military outpost near Khost in eastern Afghanistan, killing two American soldiers and wounding another fifteen. Two Afghan civilians were also killed.

A similar human conveyor belt carries Africans, Arabs, and Europeans to Iraq, just for
the purpose of blowing themselves up. This year there has been an average of eighteen
suicide attacks a month in Iraq compared to eight to ten a month in 2007, according to a
US military spokesman in Baghdad in April. The suicide cult has become so accepted that ordinary al-Qaeda fighters are now wearing suicide belts as part of their equipment when they fight conventional battles with US forces.

The belts prevent them from being taken alive, allow them to kill Americans even as
they die, but above all satisfy a desire to constantly live with and embrace the idea of martyrdom.
---------------
Ahmed Rashid is a well-known Pakistani journalist and best-seller author writing for such
publications as The Washington Post, Wall Street Journal, Far East Economic Review, etc. He appears regularly on international TV and radio networks such as CNN and BBC World. His works include, The Resurgence of Central Asia: Islam or Nationalism?, St. Martin's Press, 1994; Taliban: Militant Islam, Oil and Fundamentalism in Central Asia, Yale University Press, 2000., and Jihad: The Rise of Militant Islam in Central Asia, Yale University Press, 2002.

Excerpted from The New York Review of Books, Volume 55, Number 10· June 12, 2008
Source: http://www.nybooks.com/articles/21473

Powerful Indonesian quake kills 11

Powerful Indonesian quake kills 11; dozens injured
By ANTHONY DEUTSCH, Associated Press Writer Anthony Deutsch, Associated Press Writer – 16 mins ago


JAKARTA, Indonesia – A powerful earthquake rattled a large swath of southern Indonesia on Wednesday, killing at least 11 people, injuring dozens and causing extensive damage to houses and buildings.

The quake struck at 2:55 p.m. (0755 GMT) off the southern coast of the main island of Java with a preliminary magnitude of 7.0. It had a depth of about 30 miles (50 kilometers), the U.S. Geological Survey said. A tsunami alert was issued, but revoked less than an hour later.
Some of the victims were killed in a rock slide near the southern coast of Java island, while the others died when houses or buildings collapsed, disaster officials said.

Hospitals across the region were admitting scores of injured people.

"We all ran out in panic, we didn't even put our sandals on," said Muharaham Ardan, a university lecturer in the town of Tasikmalaya, about 70 miles (115 kilometers) from the epicenter.

Ardan said it was the biggest quake he had ever felt. "The neighbors were shouting: 'Get out of the house! Get out of the house!'"

At least 10 people died in the southern Cianjur district of West Java, and another in the coastal village of Pelabahan Ratu where dozens of buildings were severely damaged, said National Disaster Management Agency spokesman Satrio Nurhadiwibowo.

"A dozen houses were buried by a landslide triggered by the earthquake in Jeblong village," Nurhadiwibowo said.

The shaking was felt over roughly half of Java island, where the majority of the country's population of 235 million live.

In the capital, Jakarta, more than a hundred miles (160 kilometers) away, panicked office workers ran onto the streets.

Health Ministry Crisis Center chief Rustam Pakaya said at least 27 people were admitted to the hospital in Jakarta and the number of injured was rising.

The Pacific Tsunami Warning Center said the quake was powerful enough to cause a local tsunami, but there were no immediate reports of high waves. "Sea level readings indicate a significant tsunami was not generated," the center later said in a statement retracting the alert.
Indonesia, a vast archipelago, straddles continental plates and is prone to seismic activity along what is known as the Pacific Ring of Fire. A huge quake off western Indonesia caused a powerful tsunami in December 2004 that killed around 230,000 people in a dozen countries.

Diam dan Maknanya, sebuah kajian Psikologi Agama

DIAM DAN MAKNANYA, SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Oleh Machnun Husein


Diam bisa berarti tidak berbicara atau bersuara atau tidak berbuat atau bergerak. Dalam tulisan ini, diam yang dimaksud adalah dalam pengertian pertama, yakni tidak berbicara atau tidak mengemukakan pernyataan dalam bentuk bahasa lisan. Padanannya adalah as-sumt dalam bahasa Arab atau silence dalam bahasa Inggris.

Diam adalah gejala fisik atau jasmaniah. Namun ia didorong atau dimotivasi oleh, dan bahkan merupakan manifestasi dari gejala kejiwaan orang yang bersangkutan. Karena itu untuk mengetahui motif-motif maupun maknanya perlu ditelusuri dan diteliti faktor-faktor kejiwaan yang melatarbelakanginya. Dengan perkataan lain, penelusuran dan penelitian itu dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, ‘Mengapa orang yang bersangkutan diam?’

Namun penelitian-penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut, ternyata, tidak selamanya dapat memberikan jawaban yang akurat terhadap pertanyaan di atas. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh adanya kecenderungan setiap individu untuk merahasiakan atau menutup-nutupi hal-hal yang sebenarnya, karena alasan-alasan atau kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat sangat pribadi. Karena itu, berbeda dengan penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk berbicara atau mengemukakan pernyataan, di sini diperlukan kecermatan yang relatif lebih tinggi.

Selain itu, faktor-faktor non-kejiwaan pun sering ikut berperan, terutama yang berkaitan dengan pemuasan atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik-material ataupun sosial, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Itulah sebabnya sering kita dapati orang yang tidak mengemukakan pendapat atau diam karena dia merasa bahwa tindakan atau sikapnya itu ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.

Bahasa Isyarat

Di lihat dari satu sisi, diam bisa dimasukkan dalam kategori bahasa isyarat (gesture) atau alat komunikasi, sehingga karenanya ia memiliki makna. Namun berbeda dengan bahasa lisan maupun tulisan, makna diam ini tidak jelas dan cenderung berbeda-beda. Sekedar contoh dapat dikemukakan tentang diamnya seorang gadis di zaman Nabi Muhammad saw. ketika ditanya oleh ayah atau walinya, apakah dia setuju dinikahkan dengan seseorang calon suami tertentu. Berdasarkan hadis yang dituturkan oleh Jama‘ah selain Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, Nabi Muhammad bersabda: “Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dapat memberi pesetujuan atas dirinya, dan persetujuan itu adalah diamnya” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, 6: 14-15).

Dari hadis tersebut jelas bahwa diamnya gadis itu berarti persetujuannya. Yang menjadi masalah adalah, apakah makna diam yang berlaku di kalangan bangsa Arab pada masa Nabi itu masih dianggap valid dan berlaku dalam masyarakat dan bagi gadis-gadis sekarang yang relatif lebih “berani” mengemukakan pendapat. Dalam kaitan ini, barangkali kita bisa berbeda pendapat dan bahkan berdebat berkepanjangan. Namun yang jelas, begitulah makna diamnya gadis di zaman Rasul ketika ditanya oleh ayah atau walinya mengenai calon suami pilihan ayah atau walinya itu.

Menurut pendapat saya, diam di luar konteks hadis tersebut di atas tidak selalu berarti setuju. Sebab diamnya seseorang mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan orang yang bersangkutan dan mungkin juga oleh faktor-faktor kejiwaan yang memberatkan orang tersebut untuk berbicara, seperti perasaan takut, merasa terpaksa, cemas, frustrasi dan sebagainya. Karena itu untuk mengetahui makna sebenarnya dari diamnya orang tersebut perlu dilakukan penelusuran dan penelitian secara cermat terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut. Bila ternyata diamnya seseorang itu disebabkan oleh ketiaktahuannya, berarti diam itu bermakna netral: bukan setuju dan juga bukan tidak setuju.

Sebaliknya, bila diamnya itu disebabkan oleh perasaan takut, terancam, tertekan, terpaksa dan sebagainya, berarti diam itu bermakna penolakan atau ketidaksetujuan secara tidak terang-terangan. Bila kesimpulan ini dapat dibenarkan, maka konsep ijma‘ sukuti dalam agama Islam yang diartikan sebagai kesepakatan atau persetujuan terhadap kondisi atau pendapat yang ditawarkan perlu dipertanyakan. Menurut saya, hal itu tak ubahnya seperti silent public opinion dalam masyarakat yang sebenarnya sarat dengan perbedaan-perbedaan pendapat tetapi tidak muncul ke permukaan karena adanya kendala-kendala kejiwaan yang memaksa orang-orang untuk diam atau tidak bersuara. Opsi tidak tahu dalam jajak pendapat atau polling dan abstain dalam voting atau golput dalam pemungutan suara atau pemilihan umum pun, saya kira, tidak berbeda dengannya. Karenanya tidak bijaksana bila hal itu diartikan sebagai tidak setuju atau menolak.

Dari sisi lain, apakah sikap diam dalam konteks ijma’ sukuti, silent public opinion, dan sebagainya itu bisa diartikan sebagai ketidakjujuran atau bahkan kebohongan terselubung, barangkali perlu ditelaah lebih lanjut, setidak-tidaknya melalui wawancara individual atau, lebih baik lagi, melalui tatap muka empat mata, yang relatif lebih jujur dan tidak bersifat memaksa atau menyudutkan.

Diam dalam Islam

Islam memang tidak secara eksplisit mewajibkan atau mengharamkan orang untuk berbicara ataupun diam. Yang jelas Islam melarang orang untuk berkata bohong atau mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat, walaupun hanya sekedar bercanda atau untuk memancing tawa orang. Menurut Nabi Muhammad, berkata bohong adalah salah satu tanda kemunafikan. Karenanya Nabi Muhammad saw. menyuruh umatnya untuk berbicara yang baik dan jujur atau diam saja.

Namun demikian dalam konteks yang berbeda Nabi Muhammad “agak mencela” sikap diam umatnya, terutama dalam dua hal: (1) dalam menghadapi penguasa yang lalim, dan (2) dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat. Nabi Muhammad menyatakan bahwa berbicara jujur di depan penguasa yang lalim adalah jihad paling berat, karenanya dalam hal ini umat Muslim tidak boleh diam saja. Sedangkan sikap diam umat terhadap kemungkaran beliau nilai sebagai indikasi bahwa iman mereka paling lemah.

Tiga Hikmah

Hasan Muhammad asy-Syarqawi, salah seorang pakar psikologi agama, dalam bukunya Nahwa ‘Ilmin-Nafsil-Islami (1979: 190), menyatakan bahwa ucapan dapat menjerumuskan orang ke dalam neraka, tetapi bila ucapannya baik justeru akan mengantarkannya ke surga. Hal itu tergantung pada baik-buruknya hati orang yang mengucapkannya itu. Bila hatinya baik, maka ucapannya pun akan baik, sebaliknya, bila hatinya buruk mata kata-kata yang diucapkannya pun akan buruk. Karenanya, menurut Asy-Syarqawi, diam itu sarat dengan hikmah; terutama dalam tiga hal: (1) sebagai jalan menuju kesehatan jiwa, (2) kesempurnaan akhlak, dan (3) kesempurnaan kemanusiaan. Melalui diam, orang dapat membersihkan batinnya dari berbagai nafsu dan penyakit kejiwaan, dan menghiasinya dengan berbagai hakikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyempurnakan sopan santun dalam peribadatannya. Demikian Asy-Syarqawi.

Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa berbicara dalam Islam tidak dilarang bahkan dalam kasus-kasus tertentu justeru dianjurkan, Namun pembicaraan yang diperbolehkan oleh Islam hanyalah pembicaraan yang baik-baik saja, bermanfaat dan tidak mengandung kebohongan. Setiap Muslim wajib menjaga lidahnya agar tidak terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak baik, dan salah satu upaya untuk menjaga lidah adalah diam, meskipun dalam beberapa hal tertentu diam itu kurang disenangi oleh Islam.***

Puasa Ramadan sebagai Pelatihan Tahunan

PUASA RAMADAN SEBAGAI PELATIHAN TAHUNAN
Oleh Machnun Husein


Bagi ummat Muslim, bulan Ramadhan boleh dikatakan sebagai bulan pelatihan tahunan yang bersifat rutin, karena pada bulan itu setiap Muslim berusaha meningkatkan kualitas keislamannya melalui puasa dan berbagai ibadah lainnya. Dengan puasa selama bulan Ramadan setiap Muslim diharapkan bisa meningkat menjadi orang yang bertaqwa. Demikian menurut firman Allah dalam surat 2 (Al-Baqarah):183.

Berbeda dengan pelatihan-pelatihan lain yang didisain oleh manusia, pelatihan keagamaan melalui puasa di bulan Ramadan ini relatif ringan. Sebab orang yang sakit atau yang sedang bepergian boleh tidak berpuasa asal menggantinya pada hari lain di luar bulan Ramadan; tentu saja setelah dia sehat kembali dan tidak bepergian lagi. Bahkan orang yang sudah tidak mampu berpuasa karena usia lanjut atau ibu-ibu yang hamil dan atau menyusui pun yang kahawatir akan kandungan atau bayinya boleh meninggalkan puasa. Baginya cukup dengan membayar fidyah berupa makanan kepada orang miskin {lihat surat 2 (Al-Baqarah): 184}.

Jumlah hari berpuasa pun dibatasi sedemikian rupa sehingga hanya berkisar antara 29 atau 30 hari saja, tidak pernah lebih. Itupun hanya dalam bulan Ramadan. Jadi dalam Islam tidak ada puasa 40 hari, misalnya, seperti sering dilakukan orang untuk keperluan-keperluan tertentu yang bersifat duniawi, misalnya untuk mempengaruhi pikiran seseorang gadis atau jejaka yang sedang ditaksirnya. Satu-satunya puasa selama lebih dari 30 hari, hanyalah puasa kaffarah selama 60 hari berturut-turut; yaitu puasa sebagai hukuman atas tindak pidana keagamaan tertentu.

Pendek kata puasa dalam Islam itu ringan. Keringanan itu juga terlihat pada tidak adanya larangan terhadap makanan atau minuman tertentu, selama keduanya dinyatakan halal oleh agama dan atau tidak dianjurkan oleh dokter untuk dipantang karena secara medis berbahaya bagi kesehatannya. Semua makanan dan minuman yang halal di luar bulan Ramadan juga halal di dalam bulan Ramadan. Tidak ada ketentuan dalam Islam bahwa makanan atau minuman tertentu harus dipantang demi “kesempurnaan” berpuasa. Islam tidak mengenal, misalnya, puasa pati gĂȘni, dengan memantang makanan yang dimasak di atas api, puasa mutih, dengan memakan yang serba putih seperti nasi putih, dengan lauk garam yang putih dan minum air putih; dan puasa-puasa lain semacamnya.

Pendek kata puasa dalam Islam, sebagaimana ibadah-ibadah mahdah yang lain, sudah diatur secara tuntas sedemikian rupa oleh Islam sehingga tidak perlu ditambah-tambah, dikurangi atau diubah-ubah. Puasa dalam Islam tidak dimaksudkan untuk mempersulit manusia. Karena itu kita tidak usah mempersulit diri. Kerjakanlah puasa itu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Islam agar, setidak-tidaknya, secara formal, puasa kita bisa dikatakan sah.

Namun perlu diingat bahwa keabsahan puasa secara formal itu tidak menjamin bahwa puasanya berhasil. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan bahwa banyak orang berpuasa tetapi hasilnya cuma lapar dan dahaga saja. Ini berarti puasa tidak hanya bersifat fisik material, atau sekedar mencegah makan dan minum dan keinginan fisik material lainnya pada saat antara terbit fajar hingga matahari terbenam. Ada hal lain yang perlu dicegah dan dikekang pada saat berpuasa itu. Orang berpuasa harus mengekang diri untuk tidak berbuat maksiyat. Tidak boleh berbohong, menipu, mencuri, mengunjingkan aib orang, melihat atau mendengarkan hal-hal yang tidak senonoh, dan sebagainya. Bahkan bila ada orang mengajak bertengkar, menurut Nabi, orang yang berpuasa seharusnya mengatakan, “Maaf, saya sedang berpuasa.”

Semua hal buruk yang non-fisik dan immaterial yang harus dicegah oleh orang berpuasa itulah yang diistilahkan sebagai hawa nafsu. Memang mengekang hawa nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan jauh lebih berat daripada berperang secara fisik. Tetapi justeru itulah yang harus dilakukan bila orang ingin sah puasanya secara fisik material maupun secara immaterial. Pendek kata, meminjam kata-kata alm. Prof. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, orang berpuasa adalah seperti malaikat dalam ujud manusia. Dia tidak hanya diwajibkan mengekang dari segala hal yang bersifat fisik material agar puasanya tidak batal, tetapi dia harus “mematikan sama sekali” semua nafsu buruknya yang menjurus kepada kemaksiyatan.

Bila hal-hal yang bersifat fisik material dan immaterial atau hawa nafsu itu benar-benar dijaga oleh orang yang sedang berpuasa, maka insyaallah puasanya akan benar-benar dikabulkan oleh Allah swt. Dengan perkataan lain, dia telah lulus dalam pelatihan tahunan itu. Dan sesuai dengan janji Allah, dia akan Dia ampuni segala dosa-dosanya. Dan lebih dari itu, sesuai dengan janji Allah pula, doa orang yang berpuasa juga akan selalu dikabulkan oleh Allah swt. ***

Senin, Agustus 31, 2009

Pendidikan Nasional: Antara Keahlian dan Keterampilan

PENDIDIKAN NASIONAL: ANTARA KEAHLIAN DAN KETERAMPILAN
Machnun Husein

Sudah sejak lama terdengar keluhan masyarakat akan betapa tertinggalnya pendidikan nasional di Indonesia dibandingkan dengan pendidikan di negara lain. Kenyataan menunjukkan bahwa sarjana S-1 lulusan universitas di negeri ini masih belum bisa disejajarkan dengan lulusan program sarjana di luar negeri. Mereka diperlakukan tidak lebih daripada sebagai sarjana muda (undergraduate). Karenanya, mereka yang melanjutkan belajar di luar negeri masih diharuskan mengikuti program sarjana (graduate program) di negara yang bersangkutan selama 4 semester sebelum mengikuti program doktoral.

Memang, sampai batas tertentu, hal ini sudah mulai mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun para pengelola universitas swasta, antara lain, dengan melakukan kerjasama atau berafilisasi dengan perguruan tinggi di luar negeri. Namun seberapa jauh hasilnya, ternyata masih belum dapat dikemukakan, karena memang masih dalam proses perintisan.Keluhan lain yang juga masih nyaring terdengar adalah bahwa banyak, atau bahkan sebagian besar, lulusan pendidikan nasional kita, terutama dari jenjang sekolah menengah umum, tidak berhasil mendapatkan pekerjaan. Bahkan, meminjam kata-kata para pengamat, pendidikan nasional kita belum berhasil mencetak tenaga-tenaga terampil atau setengah terampil yang siap bekerja, melainkan hanya menghasilkan tenaga-tenaga penganggur atau setengah penganggur. Kenyataan ini tentu saja menyebabkan semakin melonjaknya jumlah penganggur di negeri ini dan sekaligus menjadi tambahan beban berat bagi pemerintah khususnya. Memang benar, bahwa peningkatan jumlah penganggur juga dapat disebabkan oleh kondisi ekonomi yang stagnan atau bahkan mundur, terutama ekonomi industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Namun hal ini tidak akan diulas dalam tulisan ini.

Dua Orientasi Pendidikan

Secara garis besar dapat dikemukakan adanya dua orientasi dalam pendidikan. Pertama, orientasi akademik, dengan target akhir menjadi tenaga ahli (expert) dalam bidang-bidang keilmuan tertentu. Orientasi ini pada umumnya dilakukan melalui sekolah umum, katakanlah, dari SMP, SMA dan kemudian melanjutkan ke fakultas atau jurusan tertentu di universitas. Dan setelah meraih gelar kesarjanaan dalam program S-1 (Strata 1) yang bersangkutan dapat melanjutkan lagi ke program S-2 dan S-3, dan akhirnya dapat memperoleh derajat guru besar dalam bidangnya.

Dapat dikatakan bahwa orientasi akademik ini selama bertahun-tahun merupakan pilihan favorit bagi kebanyakan anak didik kita. Mereka merasa bahwa dengan orientasi ini prestise atau status sosial mereka lebih terangkat dan lebih terhormat. Padahal, bila diperhitungkan dari sisi waktunya, untuk meraih gelar kesarjanaan dalam program S-1 saja mereka memerlukan tambahan waktu sekitar 4 tahun atau bahkan lebih setelah SMA. Belum lagi bila mereka berkeinginan untuk meraih derajat guru besar. Dan tentu saja, selain biayanya besar, kemungkinan untuk gagal di tengah jalan pun sangat besar. Mereka yang gagal di tengah jalan itulah pada akhirnya menjadi penganggur-penganggur atau setengah penganggur. Para anak didik kita pada umumnya kurang atau sama sekali tidak memahami hal ini. Dan anehnya lagi, karena SMA selama bertahun-tahun merupakan lembaga pendidikan yang memiliki daya jual paling tinggi (best seller?) maka semua pengelola pendidikan pun berlomba-lomba mendirikan SMA.

Orientasi pendidikan yang kedua adalah yang sering dikenal sebagai orientasi teknologis atau orientasi kerja (vocational). Salah satu ciri orientasi ini adalah mencetak tenaga terampil atau setengah terampil dalam pekerjaan tertentu, tidak mencetak tenaga ahli dalam bidang keilmuan tertentu, sebagaimana dalam orientasi akademik. Karena itu kurikulumnya pun relatif lebih ramping atau sederhana. Bidang-bidang studi yang tidak atau kurang terkait dengan keterampilan kerja yang dipilih oleh anak didik tidak perlu diajarkan.

Orientasi pendidikan teknologis ini sebenarnya sudah cukup lama diterapkan di Indonesia, baik di tingkat Sekolah Menengah, seperti Sekolah Guru B (SGB), Sekolah Guru A (SGA), Sekolah Teknik Pertama (STP), Sekolah Teknik Menengah (STM), Sekolah Guru Olah Raga (SGO), SMEP, SMEA, dan sebagainya. Bahkan, di universitas-universitas pun dibuka berbagai macam program diploma dalam bidang-bidang keterampilan kerja tertentu. Namun, sekolah-sekolah kejuruan dan program-program diploma itu rupanya masih kalah pamor dengan sekolah-sekolah umum dan fakultas-fakultas yang berorientasi akademik.

SMK Bisa?

Satu hal yang boleh dikatakan sebagai kejutan atau terobosan baru dalam pembaharuan pendidikan di Indonesia sekarang adalah difusikannya sekolah-sekolah kejuruan yang pernah ada dalam apa yang dikenal sebagai Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dilihat dari jumlah buku ajarnya saja yang mencapai 195 judul dalam Compact Disk Buku Sekolah Elektronik (BSE) produksi Depdiknas, terlihat betapa banyaknya jurusan dalam SMK tersebut. Bahkan, dengan sangat gencarnya pernyataan “SMK Bisa” dalam iklan-iklan Depdiknas terlihat bahwa pamor SMA semakin lama semakin pudar.

Pertanyaannya, apakah SMK benar-benar bisa sebagaimana terucap dalam iklan-iklan tersebut, tampaknya belum dapat dijawab sekarang juga. Bagaimana pun hal itu masih dalam proses perintisan yang tentu saja masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan.

Salah satu persoalan yang barangkali perlu diungkapkan di sini adalah bahwa tidak semua SMK, terutama yang dikelola swasta, memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk praktikum para siswanya. Bagi SMK Negeri, boleh jadi persoalan itu tidak terlalu berat karena SMK Negeri dapat bekerjasama atau memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang juga milik pemerintah dan ada di banyak tempat. Persoalan lainnya adalah kurang tersedianya tenaga-tenaga pengajar yang memiliki basis pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan bidang keterampilan yang diajarkannya. Tidak sedikit guru, bila tidak dapat disebut banyak, yang latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang studi/keterampilan yang diajarkannya.

Perlu dikhawatirkan juga, bahwa boleh jadi ada lembaga-lembaga swasta pengelola SMK yang beranggapan bahwa siswa-siswa SMK tidak perlu praktikum, karena mereka tidak memiliki prasarana dan sarana untuk itu. Bila kekhawatiran tersebut benar-benar ada, maka pertanyaan terakhirnya: Apakah SMK benar-benar bisa? •
_____________________________

Penulis adalah mantan Dosen Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, kini tinggal di Depok, Jabar
Sumber : Suara Muhammadiyah No. 15/2009

Demokrasi dan Transformasi Kewarganegaraan

DEMOKRASI DAN TRANSFORMASI KEWARGANEGARAAN
Oleh Machnun Husein

Demokrasi dan kewarganegaraan adalah dua hal yang saling terikat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu di antara keduanya tidak ada, maka yang lain akan tidak berfungsi. Dengan perkataan lain tidak ada demokrasi tanpa kewarganegaraan dan tidak ada kewarganegaraan tanpa demokrasi.

Jika demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik dan penyelenggaraan negara dan masyarakatnya berdasarkan hasil pemilihan umum, maka kewarganegaraan merupakan keanggotaan masyarakat tersebut yang sah dan yang secara sadar menerima berbagai hak dan tanggungjawab inherennya. Definisi ini didasarkan atas penafsiran utama kewarganegaraan sebagai “interaksi”, yang terjadi dalam jaringan orang-orang yang ikut serta di dalamnya. Jadi, kewarganegaraan sama sekali bukan konsentrasi yang sempit kepada individualisme.

Selain itu, demokrasi dilandasi oleh konsep suara rakyat (popular vote) atau pilihan rakyat. Karena itu, pemerintah dan batas-batas kekuasaannya diawasi dan dikendalikan oleh warga negara yang memilihnya. Bila warga negara kehilangan hak pilihnya itu, maka tidak ada lagi yang dapat memantau dan mengatur implementasi otoritas pemerintah dan karena itu demokrasi pun tidak ada lagi. Dengan perkataan lain, berbarengan dengan penghapusan hak pilih warga negara muncullah kediktatoran. Dan ini sangat berbahaya bagi setiap pemerintahan demokratis karena warga negara dapat melakukan perlawanan besar-besaran yang biasanya dikenal sebagai people power sehingga pada akhirnya pemerintah pun akan jatuh.

Konstruksi demokrasi memerlukan proses yang dikenal sebagai proses transformasi kewarganegaraan, yakni mengubah individu yang tidak menaruh perhatian, acuh tak acuh atau tidak peduli menjadi warga negara yang peduli dan yang mengetahui hak serta tanggungjawabnya. Setiap orang yang lahir di suatu negara tidak secara otomatis menjadi warga negara dalam pengertian seperti ini, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pakar Arab, Qistantin Rizaq. Mereka tidak lebih daripada sekedar makhluk biologis dan juga sebagai penduduk yang, sampai batas tertentu, tidak memiliki hubungan sosial maupun politik.

Dalam proses transformasi ini, ada tiga kriteria yang dapat digunakan: (1) kesadaran politik, (2) komitmen kepada kondisi-kondisi kewarganegaraan, dan (3) voluntarisme.

Kesadaran Politik

Kesadaran politik adalah kepedulian terhadap diri dan lingkungannya, yang diikuti dengan perilaku sebagai konsekuensi dari kepedulian ini. Dengan demikian, kewarganegaraan adalah kesadaran untuk ikut memiliki atau tergabung dalam kelompok orang tertentu yang menghuni lokasi geografik tertentu dan yang diperintah oleh pemerintah tertentu yang didukung oleh rakyatnya dan partai politik yang berkuasa. Kesadaran inilah yang akan mengubah diri seseorang dari lingkungan individu menjadi kesadaran untuk ikut memiliki dan kesediaan untuk menerima berbagai tanggungjawab dan hak dirinya terhadap warga negara lainnya.Kesadaran politik tidak muncul secara alami begitu saja, melainkan sebagai akibat dari pendidikan politik yang dipraktikkan baik dalam rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Kesinambungan kewarganegaraan dari satu generasi ke generasi berikutnya juga mengharuskan adanya kesinambungan pendidikan politik itu. Pendidikan politik ini merupakan salah satu tugas pokok partai politik. Kegagalan dalam pendidikan politik menyebabkan orang tidak mampu menjadi warga negara yang baik dan efektif. Orang-orang yang tidak memiliki kemauan untuk menjadi warga negara yang efektif akan cenderung melakukan bermacam-macam tindakan tidak terpuji, seperti korupsi, kejahatan dan ketidaksusilaan. Korupsi dalam masalah keuangan, pemerintahan dan penyalahgunaan aturan hukum, serta pengabaian terhadap tugas-tugas publik adalah contoh-contoh kegagalan dalam pendidikan politik ini.

Komitmen kepada Kondisi-kondisi Kewarganegaraan

Komitmen kepada kondisi-kondisi kewarganegaraan adalah jaringan hubungan antara seseorang individu dengan individu-individu lain, antara individu-individu dengan masyarakat dan antara individu dengan negara. Dari hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan yang didasarkan atas kesepakatan dan prinsip memberi dan meminta (principle of take and give) inilah individu-individu dapat berkembang menjadi warga negara yang efektif. Mutu hubungan ini tergantung terutama pada komitmen terhadap kesepakatan-kesepakatan itu. Inilah yang dengan tepat disebut sebagai hak dan kewajiban.

Kewajiban adalah apa yang diberikan seseorang warga negara kepada hubungan yang dinilai paling tinggi dan hak adalah sesuatu yang diterima seseorang warga negara sebagai imbalannya. Dengan perkataan lain, kewajiban adalah harga dari hak. Inilah yang dikenal dengan kesadaran akan tanggungjawab sebagai unsur kedua dalam pembentukan kewarganegaraan yang efektif.

Secara historis sistem ini berkembang secara gradual dan kini telah mencapai puncaknya sebagai salah satu bagian dari piagam universal dan juga tertuang dalam konstitusi atau undang-undang dasar hampir semua negara, lengkap dengan rinciannya masing-masing. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa adanya konstitusi tertulis itu tidak menjamin terlaksananya sistem ini. Mohammad Abdul Jabbar asy-Syabut, mantan Pimpinan Redaksi Surat kabar harian as-Sabah, Baghdad, Iraq, menyatakan bahwa undang-undang tertulis itu tidak dapat dilaksanakan dan terealisasi bila kedua belah pihak tidak berupaya melaksanakannya. Baik pemerintah, yang memiliki sumber dan kekuasaan untuk melaksanakannya, maupun para anggota parlemen yang merupakan warga negara-warga negara efektif, memainkan peranan penting untuk mentransformasikan aturan-aturan hukum tertulis ini menjadi realitas yang nyata.

Voluntarisme

Voluntarisme (L. voluntas = kebebasan berpikir) adalah peringkat kewarganegaraan tertinggi dan menunjukkan efektivitas individu yang sempurna. Jenis kewarganegaraan yang dibentuk oleh berbagai macam rezim biasanya bercorak memaksa, tidak saling menguntungkan, sebab ia tidak didasarkan atas perimbangan antara hak dan kewajiban. Sedangkan kewarganegaraan yang didasarkan atas voluntarisme memerlukan warga negara-warga negara yang bebas tanpa ikatan. Voluntarisme adalah kesediaan pribadi warga negara untuk melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbalan berupa uang atau barang. Dan ini merupakan landasan masyarakat madani (civil society) di mana para warga negara merasa terikat dengan pekerjaan sukarela tanpa campur tangan pemerintah.

Ikatan-ikatan secara sukarela ini dikenal sebagai lembaga-lembaga masyarakat madani. Aktivitas para warga negara diukur dari banyaknya pekerjaan sukarela yang mereka lakukan. Kekuatan masyarakat ini, berbeda dengan dominasi pemerintah, diukur sesuai dengan sejauh mana lembaga-lembaga masyarakat madani itu dapat melindungi diri dan memertahankan independensi relatif mereka terhadap penjabat eksekutif. Karena itu aktivitas warga negara-warga negara efektif menjadi salah satu syarat paling penting untuk menegakkan demokrasi dalam masyarakat.

Kebebasan dan Persamaan

Untuk mengubah manusia sebagai makhluk biologis menjadi warga negara efektif dua faktor penting perlu dijamin: kebebasan dan persamaan. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan individu untuk mengambil keputusan berdasarkan keyakinan politiknya, berdasarkan penolakan terhadap dominasi otoritas lain dan berdasarkan pengakuan atas tanggungjawabnya. Jika kewarganegaraan terikat dengan tanggungjawab, maka pertama-tama dia harus bebas, sebab tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan.

Yang terpenting di antara kebebasan-kebebasan itu adalah kebebasan berbicara, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 19 Piagam PBB mengenai hak-hak sipil dan politik. Untuk itu, menurut piagam tersebut, arus informasi tidak boleh dibatasi dan setiap warga negara berhak mengakses informasi tersebut. Dengan demikian, warga negara yang tidak suka membaca atau mengikuti informasi akan mengalami kesulitan untuk menjadi warganegara yang efektif. Disamping itu, kesamaan juga harus diberikan kepada setiap warganegara untuk berpartisipasi secara politis untuk ikut mengatur pemerintahan. Partisipasi politik adalah inti demokrasi. Karena itu, mereka harus diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat secara terbuka selama masa kampanye pemilihan umum untuk memilih pimpinan dan wakil-wakil mereka yang tepat di parlemen.

Kewarganegaraan juga tidak memiliki arti apa-apa tanpa persamaan di antara sesama warga negara. Diskriminasi berdasarkan gender (jenis kelamin), agama dan warna kulit atau kelompok etnis sama sekali tidak dapat dibenarkan. Diskriminasi serupa dalam kesempatan dan lapangan kerja pun tidak boleh dilakukan, kecuali atas persyaratan merit (ijazah) yang terkait. Selain itu, mereka juga harus diberi kebebasan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat, yang terdiri dari hak-hak keamanan, tempat tinggal, pemeliharaan kesehatan, kesempatan belajar dan sumber-sumber keuangan. Semakin cermat hak-hak warga negara dijamin, akan semakin besar pula kesediaan warga negara untuk berpartisipasi dalam politik.•
_______________________________
Penulis, mantan dosen Program Magister Studi Islam, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta
Sumber: Suara Muhammadiyah No. 09/2009