PEMAHAMAN AL-QUR’AN SECARA KOMPREHENSIF
Oleh Machnun Husein
Oleh Machnun Husein
I
Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. a.l. dimaksudkan agar menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat Islam. Demikian penegasan Allah sendiri dalam firman-Nya pada surat Al-Baqarah ayat 185. Karenanya siapa pun yang mampu memahaminya, cepat atau lambat, akan memperoleh petunjuk itu. Jika setelah itu orang mampu dan mau menghayati serta mengamalkannya, maka baginya ia merupakan pedoman hidup. Dan orang yang berpedoman hidup Al-Qur’an dijamin oleh Allah tidak akan tersesat selama-lamanya.
Logikanya jika orang tidak memahami Al-Qur’an, sukarlah baginya untuk menempatkan kitab suci itu sebagai pedoman hidupnya. Sebab penghayatan dan pengamalan tidak mungkin terlaksana tanpa adanya pemahaman. Oleh karena itulah kecintaan kita terhadap Al-Qur’an yang pada umumnya baru sampai pada membaca perlu disempurnakan dengan usaha memahami isi dan kandungannya.
Namun demikian pemahaman yang tuntas sekalipun terhadap Al-Qur’an tidaklah menjamin orang untuk mampu dan mau menghayati serta mengamalkannya. Ada faktor lain di luar dirinya yang sangat menentukan yakni “hidayah” atau pimpinan dari Allah swt. Hidayah adalah milik mutlak Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Tak seorang pun bisa memberikan hidayah itu. Nabi Muhammad pun tidak bisa. Allah menegaskan hal ini dalam surat Qasas ayat 56: “Sesungguhnya kamu [Muhammad] tidak akan dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai sekalipun. Allah sajalah yang memberikan hidayah itu kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah jualah yang lebih tahu siapa [orang-orang] yang menerima hidayah itu.”
Itulah sebabnya setiap Muslim wajib memohon dan berdoa kepada Allah swt. agar ia dapat memperoleh hidayah, sebab hidayah itulah yang merupakan kunci utama bagi siapa saja untuk menjadi Muslim sejati. Disadari atau pun tidak, sebenarnya setiap Muslim selalu mengucapkan doa itu. Paling sedikit tujuh belas kali dalam sehari, yakni pada saat-saat menjalankan salat lima waktu. Doa itu adalah (lihat Surat Al-Fatihah ayat 6 dan 7): “Berikanlah kepada kami hidayah untuk menuju ke jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni‘mat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Jika ditelaah secara seksama isi doa di atas akan timbul peranyaan pada pikiran kita, jalan lurus manakah yang dikehendaki. Pertanyaan ini jelas akan terjawab apabila kita mampu memahami siapakah sebenarnya orang-orang yang telah mendapatkan ni‘mat Allah itu dan siapa pula orang-orang yang dimurkai-Nya dan yang tersesat itu. Bahkan akan lebih luas lagi pengertian kita tentang mereka jika kita mampu menelusuri sikap hidup mereka masing-masing. Dan semuanya itu bisa kita peroleh apabila kita mau mempelajari Al-Qur’an dengan seksama.
II
Walaupun pemahaman terhadap Al-Qur’an itu tidak merupakan syarat untuk bisa memperoleh hidayah Allah, namun dari segi penalarannya memang hal itu merupakan sesuatu yang mutlak perlu. Dan ternyata penalaran ini diisyaratkan juga di dalam Al-Qur’an sendiri, yakni pada Surat An-Nisa’ ayat 81 dan Surat Muhammad ayat 24, walaupun kedua ayat tersebut pada hakikatnya ditujukan kepada orang-orang munafik. Kedua ayat tesebut menyatakan: “Apakah mereka [orang-orang munafik itu] tidak mempelajari Al-Qur’an? Kalau Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An-Nisa: 81). “Apakah mereka [orang-orang munafik itu] tidak mempelajari Al-Qur’an ataukah hati mereka sendiri yang telah tertutup rapat?” (QS. Muhammad: 24).
Dua ayat Al-Qur’an yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan oratoris itu sebenarnya merupakan penegasan kepada kita bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari sisi Allah dan bukan ciptaan Nabi Muhammad atau orang lain. Buktinya di dalam Al-Qur’an itu tidak terdapat pertentangan-pertentangan. Ini adalah kesimpulan pokok dari Surat An-Nisa’ ayat 81. Dan bukti itu dapat kita cek apabila kita telah memahami Al-Qur’an secara total. Sedangkan dari Surat Muhammad ayat 24 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang telah tertutup rapat hatinya, dalam arti tidak mendapatkan hidayah Allah sebagaimana halnya dengan orang-orang munafik itu, tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dengan benar.
Oleh karena itulah dalam usaha memahami Al-Qur’an itu pun hidayah Allah merupakan faktor yang sangat menentukan, dan tanpa hidayah itu kita akan keliru memahami kandungan kitab suci itu.
III
Untuk dapat memahami Al-Qur’an, usaha pertama yang perlu dilakukan adalah penataan kembali sikap kita terhadap kitab suci itu. Al-Qur’an yang selama ini lebih sering diperlakukan sekedar sebagai buku bacaan harus diubah sedemikian rupa sehingga kitab suci itu benar-benar berfungsi sebagai pedoman hidup. Setiap Muslim bukan saja harus senang membacanya tetapi juga wajib memahami isinya. Kepekaan terhadap kesalahan orang di saat membaca Al-Qur’an belumlah cukup, tetapi harus disempurnakan sehingga orang akan peka pula terhadap belum dihayati dan diamalkannya Al-Qur’an itu.
Dalam waktu yang sama pemahaman Islam yang terlalu berorientasi kepada Fiqih pun harus dijauhkan. Sebab pendekatan yang terlalu “fiqih oriented” inilah yang justeru menimbulkan jarak antara tiap Muslim dengan Al-Qur’annya. Bahkan kadang-kadang menimbulkan kesan seolah-olah Islam itu hanyalah Fiqih, yang karenanya Islam tidak mempunayi peranan apa-apa di luar bidang Fiqih itu.
Setiap kali umat Islam menghadapi persoalan, usaha pertama yang selalu dilakukan ialah mencari ketetapan hukumnya dalam kitab-kitab Fiqih. Sedangkan Al-Qur’an seringkali ditempatkan sekedar sebagai buku acuan (referensi) untuk menguatkan dan melegalisasikan ketetapan hukum Fiqih itu. Padahal jika kita telusuri seluruh ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6.666 buah itu terbukti bahwa ayat-ayat tentang Fiqih itu hanyalah merupakan sebahagian kecil saja.
Itulah sebabnya terasa sudah saatnya untuk dilakukan reorientasi terhadap pemahaman Islam itu, sehingga Islam benar-benar dipahami, dihayati dan diamalkan secara total dan tidak terpecah-pecah. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa orientasi baru itu akan mampu menempatkan setiap Muslim bukan saja sebagai hamba Allah yang patuh mengabdi kepada-Nya, tetapi juga sebagai makhluk sosial yang mengemban tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dan untuk menuju ke arah itu, paling tidak, menurut hemat saya, harus diawali dengan kegiatan pemahaman terhadap Al-Qur’an.
IV
Pandangan-pandangan lama yang bernada “melarang” usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an harus secara tuntas dienyahkan. Demikian juga pendapat-pendapat yang bernada “sinis” dan “penuh prasangka” terhadap kitab-kitab tafsir tertentu harus secara gradual (menurut atau sesuai dengan derajatnya) ditempatkan pada proporsinya. Saya tidak yakin bahwa mereka yang “sinis” itu benar-benar telah menelaah kitab-kitab tafsir yang tidak mereka senangi itu. Dan bahkan tidak yakin bahwa mereka mampu menafsirkan Al-Qur’an itu dengan cara yang lebih baik. Saya malah khawatir jangan-jangan mereka cuma “membeo” kepada para guru mereka saja yang kebetulan menganut mazhab terentu.
Lebih dari itu lembaga-lembaga pengajian Al-Qur’an perlu dibentuk di mana-mana dan para ahli tafsir dikerahkan ke dalamnya. Lebih dari itu pula, perlu dipikirkan adanya penggalian dan penulisan tema-tema baru dalam Al-Qur’an itu, yang hingga kini sangat kurang dipersoalkan oleh para mufassir terdahulu. Katakanlah tema-tema Al-Qur’an tentang alam semesta, tentang sains, tentang sejarah, tentang masyarakat, dan sebagainya.
Tunjukkanlah kepada dunia bahwa Islam dengan Al-Qur’annya benar-benar datang sebagai rahmat bagi umat manusia sejagat dan bukan semata-mata ditujukan kepada kaum Muslimin. Kumpulan tafsir tentang ayat-ayat hukum yang sekarang sudah ada, sudah saatnya untuk dilengkapi dengan kumpulan tafsir ayat-ayat lainnya. Dan semuanya itu jelas memerlukan kerjasama anara para “ulama” di satu pihak dan para “sarjana” di pihak lain.
Al-Qur’an mengandung berbagai macam hal yang tampaknya sudah tidak mungkin lagi dipahami oleh orang-orang dari satu profesi dan didekati dengan satu disiplin ilmu semata-mata. Karenanya pandangan yang seolah-olah menempatkan Al-Qur’an hanya sebagai bidang studi “para ulama” dalam pengertian yang sempit, sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Sebaliknya kita justeru harus berpikir bahwa Al-Qur’an adalah bidang studi semua orang dengan profesi mereka masing-masing. Atau dengan perkataan lain, istilah ulama harus diberi arti yang jauh lebih luas sehingga mencakup segala jenis disiplin ilmu dan profesi itu.
Kerjasama antar ulama dan sarjana dalam memahami Al-Qur’an secara komprehensif, yang sudah dirintis secara sporadis (tersebar, terpisah-pisah) di beberapa tempat, kiranya perlu dilanjutkan dan dikembangkan oleh masyarakat Islam di tempat-tempat lainnya.
V
Apa yang saya kemukakan ini bukanlah dimaksudkan untuk merendahkan kedudukan dan peranan para ulama dan kiyai kita, sebab bagaimanapun juga pada saatnya mereka adalah pelopor-pelopor yang berjasa besar dan yang telah mengenalkan kita kepada Islam. Namun pada saat sekarang ini tampaknya sudah mulai terasa (sekali lagi terasa) bahwa mereka mulai kehilangan daya tarik dan pamornya. Apalagi mereka yang masih “bertahan” (conserved) pada pendekatan lamanya. Oleh karena itulah kita menyaksikan timbulnya kecenderungan baru di kalangan terpelajar non-agama, khususnya, bahwa mereka lebih tertarik dengan muballigh-muballigh dari kalangan mereka sendiri yang seprofesi.
Menurut hemat saya, timbulnya muballigh-muballigh “intelek” itu bukanlah merupakan “saingan” yang dikhawatirkan akan “menggeser” kedudukan dan peranan para ulama dan kiyai kita selama ini, tetapi justeru merupakan penyambung lidah yang efektif karena melalui ucapan dan tinta mereka itu Islam bisa dikomunikasikan kepada khalayak yang selama ini belum terjangkau oleh para ulama dan para kiyai itu.
VI
Untuk melaksanakan kegiatan dan usaha pemahaman Al-Qur’an dengan pendekaan yang komprehensif (tidak terpisah-pisah) ini saya kira ada beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan. Alternatif pertama ialah studi Al-Qur’an menurut urutan ayat sejak dari awal hingga akhir (tartib mashafi). Cara ini adalah cara yang konvensional.
Walaupun penelaahan atas dasar “tartib mashafi” ini relatif lebih mudah, namun dalam prakteknya seringkali sulit sekali. Terutama apabila si penelaah kurang memahami pertautan (tanasub) antara satu ayat dengan ayat lainnya., sehingga karenanya konsepsi yang tuntas dari suatu masalah tidak dapat diperoleh. Ingat bahwa dalam Al-Qur’an, suatu masalah seringkali, bahkan selalu, diungkapkan dalam beberapa ayat baik dalam surat yang sama ataupun dalam surat yang berbeda-beda. Sebagai contoh ialah kisah Nabi Musa as. yang dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 30 kali dengan pengungkapan yang berbeda-beda dan pada surat-surat yang berbeda-beda pula.
Oleh karena itulah cara yang pertama ini seringkali ditinggalkan orang dan digantikan dengan cara lain yang didasarkan atas urutan permasalahannya, yang dikenal dengan istilah “tartib maudu‘i”. Walaupun dengan cara ini si penelaah akan banyak mengalami kesulitan dalam mengumpulkan ayat-ayat tentang persoalan atau judul yang sedang dibahas, namun cara ini biasanya memudahkan orang untuk dengan segera memperoleh gambaran yang tuntas tentang judul atau masalah tertentu. Cara ini sudah diikuti antara lain oleh para mufassir terdahulu yang membukukan ayat-ayat hukum [Tafsir Ayat Al-Ahkam].
Disamping dua cara tersebut di atas ada pula cara lain lagi yang relatif jauh lebih sulit, yakni yang didasarkan atas urutan sejarah diturunkannya ayat-ayat tersebut, yang biasanya dikenal dengan istilah “tartib nuzuli.”
Dari uraian ini jelaslah bahwa pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur’an itu, selain diakui pentingnya juga perlu mendapatkan penanganan yang serius. Namun demikian kesamaan sikap dan ketekunan bersama di antara kita adalah faktor penting yang seharusnya diciptakan telebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Yang jelas, pemahaman Al-Qur’an secara terpisah-pisah, apalagi terpotong-potong, akan mengakibatkan tidak tuntasnya pemahaman kita terhadap kandungan kitab suci itu.
Kalau lantaran itu saya boleh berharap, maka satu-satunya harapan ialah semoga para ulama dan sarjana Muslim sempat memikirkan masalah ini. Sebab keterbelakangan umat selama ini antara lain disebablan oleh ketidaktahuan mereka akan isi dan kandungan kitab suci Al-Qur’an. Karenanya janganlah diharapkan bahwa mereka akan mampu menghayati dan mengamalkan Al-Qur’an selama mereka belum memahami kandungannya secara sempurna.***
Sumber: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, No. 22 Th. ke-62, 1403 H/1982 M, hlm. 18-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar