PENDIDIKAN NASIONAL: ANTARA KEAHLIAN DAN KETERAMPILAN
Machnun Husein
Sudah sejak lama terdengar keluhan masyarakat akan betapa tertinggalnya pendidikan nasional di Indonesia dibandingkan dengan pendidikan di negara lain. Kenyataan menunjukkan bahwa sarjana S-1 lulusan universitas di negeri ini masih belum bisa disejajarkan dengan lulusan program sarjana di luar negeri. Mereka diperlakukan tidak lebih daripada sebagai sarjana muda (undergraduate). Karenanya, mereka yang melanjutkan belajar di luar negeri masih diharuskan mengikuti program sarjana (graduate program) di negara yang bersangkutan selama 4 semester sebelum mengikuti program doktoral.
Memang, sampai batas tertentu, hal ini sudah mulai mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun para pengelola universitas swasta, antara lain, dengan melakukan kerjasama atau berafilisasi dengan perguruan tinggi di luar negeri. Namun seberapa jauh hasilnya, ternyata masih belum dapat dikemukakan, karena memang masih dalam proses perintisan.Keluhan lain yang juga masih nyaring terdengar adalah bahwa banyak, atau bahkan sebagian besar, lulusan pendidikan nasional kita, terutama dari jenjang sekolah menengah umum, tidak berhasil mendapatkan pekerjaan. Bahkan, meminjam kata-kata para pengamat, pendidikan nasional kita belum berhasil mencetak tenaga-tenaga terampil atau setengah terampil yang siap bekerja, melainkan hanya menghasilkan tenaga-tenaga penganggur atau setengah penganggur. Kenyataan ini tentu saja menyebabkan semakin melonjaknya jumlah penganggur di negeri ini dan sekaligus menjadi tambahan beban berat bagi pemerintah khususnya. Memang benar, bahwa peningkatan jumlah penganggur juga dapat disebabkan oleh kondisi ekonomi yang stagnan atau bahkan mundur, terutama ekonomi industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Namun hal ini tidak akan diulas dalam tulisan ini.
Dua Orientasi Pendidikan
Secara garis besar dapat dikemukakan adanya dua orientasi dalam pendidikan. Pertama, orientasi akademik, dengan target akhir menjadi tenaga ahli (expert) dalam bidang-bidang keilmuan tertentu. Orientasi ini pada umumnya dilakukan melalui sekolah umum, katakanlah, dari SMP, SMA dan kemudian melanjutkan ke fakultas atau jurusan tertentu di universitas. Dan setelah meraih gelar kesarjanaan dalam program S-1 (Strata 1) yang bersangkutan dapat melanjutkan lagi ke program S-2 dan S-3, dan akhirnya dapat memperoleh derajat guru besar dalam bidangnya.
Dapat dikatakan bahwa orientasi akademik ini selama bertahun-tahun merupakan pilihan favorit bagi kebanyakan anak didik kita. Mereka merasa bahwa dengan orientasi ini prestise atau status sosial mereka lebih terangkat dan lebih terhormat. Padahal, bila diperhitungkan dari sisi waktunya, untuk meraih gelar kesarjanaan dalam program S-1 saja mereka memerlukan tambahan waktu sekitar 4 tahun atau bahkan lebih setelah SMA. Belum lagi bila mereka berkeinginan untuk meraih derajat guru besar. Dan tentu saja, selain biayanya besar, kemungkinan untuk gagal di tengah jalan pun sangat besar. Mereka yang gagal di tengah jalan itulah pada akhirnya menjadi penganggur-penganggur atau setengah penganggur. Para anak didik kita pada umumnya kurang atau sama sekali tidak memahami hal ini. Dan anehnya lagi, karena SMA selama bertahun-tahun merupakan lembaga pendidikan yang memiliki daya jual paling tinggi (best seller?) maka semua pengelola pendidikan pun berlomba-lomba mendirikan SMA.
Orientasi pendidikan yang kedua adalah yang sering dikenal sebagai orientasi teknologis atau orientasi kerja (vocational). Salah satu ciri orientasi ini adalah mencetak tenaga terampil atau setengah terampil dalam pekerjaan tertentu, tidak mencetak tenaga ahli dalam bidang keilmuan tertentu, sebagaimana dalam orientasi akademik. Karena itu kurikulumnya pun relatif lebih ramping atau sederhana. Bidang-bidang studi yang tidak atau kurang terkait dengan keterampilan kerja yang dipilih oleh anak didik tidak perlu diajarkan.
Orientasi pendidikan teknologis ini sebenarnya sudah cukup lama diterapkan di Indonesia, baik di tingkat Sekolah Menengah, seperti Sekolah Guru B (SGB), Sekolah Guru A (SGA), Sekolah Teknik Pertama (STP), Sekolah Teknik Menengah (STM), Sekolah Guru Olah Raga (SGO), SMEP, SMEA, dan sebagainya. Bahkan, di universitas-universitas pun dibuka berbagai macam program diploma dalam bidang-bidang keterampilan kerja tertentu. Namun, sekolah-sekolah kejuruan dan program-program diploma itu rupanya masih kalah pamor dengan sekolah-sekolah umum dan fakultas-fakultas yang berorientasi akademik.
SMK Bisa?
Satu hal yang boleh dikatakan sebagai kejutan atau terobosan baru dalam pembaharuan pendidikan di Indonesia sekarang adalah difusikannya sekolah-sekolah kejuruan yang pernah ada dalam apa yang dikenal sebagai Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dilihat dari jumlah buku ajarnya saja yang mencapai 195 judul dalam Compact Disk Buku Sekolah Elektronik (BSE) produksi Depdiknas, terlihat betapa banyaknya jurusan dalam SMK tersebut. Bahkan, dengan sangat gencarnya pernyataan “SMK Bisa” dalam iklan-iklan Depdiknas terlihat bahwa pamor SMA semakin lama semakin pudar.
Pertanyaannya, apakah SMK benar-benar bisa sebagaimana terucap dalam iklan-iklan tersebut, tampaknya belum dapat dijawab sekarang juga. Bagaimana pun hal itu masih dalam proses perintisan yang tentu saja masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan.
Salah satu persoalan yang barangkali perlu diungkapkan di sini adalah bahwa tidak semua SMK, terutama yang dikelola swasta, memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk praktikum para siswanya. Bagi SMK Negeri, boleh jadi persoalan itu tidak terlalu berat karena SMK Negeri dapat bekerjasama atau memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang juga milik pemerintah dan ada di banyak tempat. Persoalan lainnya adalah kurang tersedianya tenaga-tenaga pengajar yang memiliki basis pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan bidang keterampilan yang diajarkannya. Tidak sedikit guru, bila tidak dapat disebut banyak, yang latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang studi/keterampilan yang diajarkannya.
Perlu dikhawatirkan juga, bahwa boleh jadi ada lembaga-lembaga swasta pengelola SMK yang beranggapan bahwa siswa-siswa SMK tidak perlu praktikum, karena mereka tidak memiliki prasarana dan sarana untuk itu. Bila kekhawatiran tersebut benar-benar ada, maka pertanyaan terakhirnya: Apakah SMK benar-benar bisa? •
_____________________________
Penulis adalah mantan Dosen Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, kini tinggal di Depok, Jabar
Sumber : Suara Muhammadiyah No. 15/2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar