KERAGAMAN DALAM PERSEPSI DAN STUDI ISLAM
Oleh Machnun Husein
Oleh Machnun Husein
Islam bagi ummat Muslim jelas memiliki posisi paling terhormat. Ia tidak hanya dikaji dan dipahami tetapi juga dihayati dan diamalkan. Karena itu Islam tidak hanya merupakan bidang studi (subject) tetapi juga merupakan keyakinan (faith) dan sekaligus tuntunan (guidance) yang harus dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Namun demikian tidak berarti bahwa semua ummat Muslim harus menjadi ahli Islam. Menurut Al-Qur’an, pada setiap kaum atau bangsa harus ada sekelompok orang yang menekuni agama (tafaqquh fiddin), dan kelompok inilah yang kemudian memberi peringatan kepada kaum atau bangsanya itu (QS. 9:122).
Secara ideal pemahaman Islam itu seharusnya tunggal, tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Karena itu penghayatan dan pengamalannya oleh ummat Muslim pun jadi berbeda-beda. Kelompok-kelompok puritanis (mujaddidun) dalam Islam bercita-cita menyatukan kembali pemahaman Islam itu, dengan mengajak ummat Muslim kembali kepada dua sumber pokok Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apakah usaha mereka akan berhasil atau tidak, setidak-tidaknya, tergantung pada dua hal: (1) pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap makna Al-Qur’an dan Sunnah itu dan (2) pemahaman dan konsep mereka tentang “penyimpangan” atau “kekeliruan” pemahaman-pemahaman ummat Muslim terhadap Islam selama ini.
Kebenaran pesan Al-Qur’an dan Sunnah Sahihah memang bernilai mutlak, tetapi pesan yang mutlak itu tidak selamanya bisa ditangkap dan dipersepsi oleh nalar manusia, apalagi mengenai hal-hal yang oleh Nabi di masa hayatnya belum pernah dijelaskan dan kemudian muncul sebagai permasalahan setelah beliau wafat. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak masa sahabat, Islam mulai dipahami secara berbeda-beda, sebab sejak itu pemikiran dalam Islam mulai muncul. Munculnya berbagai pemahaman dan persepsi tentang Islam ini tidak hanya disebabkan oleh munculnya persoalan-persoalan baru yang belum pernah ada di zaman Nabi, tetapi juga karena sejak saat itu Islam mulai bersentuhan dengan tradisi-tradisi keagamaan, peradaban, budaya dan juga dengan tradisi keilmuan di luar tempat kelahirannya sendiri, terutama dari Barat klasik (Yunani).
Timbulnya berbagai firqah dan mazhab dalam Islam, baik di bidang Ilmu Kalam, Fiqih, Filsafat maupun Tasawwuf, sebenarnya berakar dari munculnya berbagai pemikiran di lingkungan ummat Muslim ini. Dan sekarang firqah-firqah ini tampaknya cenderung semakin bertambah, terutama, sejak ummat Muslim mulai berkenalan dengan pemikiran Barat moderen dan membaca buku-buku tentang Islam yang ditulis oleh para ahli Islam di lingkungan Kristen maupun Yahudi, yang mengancang Islam semata-mata sebagai bidang studi. Memang, seperti dikatakan oleh Philip K. Hitti dalam bukunya, Islam A Way of Life,[1] kajian Islam oleh Barat sudah dirintis sejak awal abad ke-12 yang ditandai dengan terbitnya terjemahan Al-Qur’an yang pertama kali dalam bahasa Latin pada tahun 1141 yang disponsori oleh uskup Clunny, Prancis, Peter the Venerable. Karena itu, sekarang semakin banyak orang yang memahami, bahkan ahli, Islam tetapi tidak menghayati dan apalagi mengamalkannya, sebab memang motif mereka mengkaji Islam tidak lebih daripada sekedar memenuhi rasa ingin tahu intelektual (intellectual curiosity) mereka.
Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Doktrinal
Sebagaimana sudah saya kemukakan, pemahaman atau persepsi tentang Islam yang beragam akan menimbulkan keragaman pula dalam penghayatan maupun pengamalannya. Masalahnya, apakah pemahaman atau persepsi itu harus disatukan atau ditunggalkan ataukah dibiarkan beragam. Bila persepsi itu harus tunggal, lalu manakah yang dimaksud dan bila beragam, mana pula yang dimaksud. Sepanjang pembacaan dan pembelajaran saya, persepsi ummat Muslim tentang, aspek-aspek, Islam selama ini tidak pernah seragam. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh “keterbatasan” akal manusia dalam menangkap pesan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tetapi juga karena tidak ada penjelasan rinci mengenai persepsi (ijtihad) yang benar dan salah sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau hanya menyatakan bahwa ijtihad yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah satu pahala.
Karena itulah, saya berpendapat bahwa hasil ijtihad itu tidak memiliki status mutlak melainkan relatif, dalam pengertian bahwa, hasil ijtihad yang pada suatu saat dinilai benar harus dianggap tidak benar bila ada ijtihad baru yang relatif memiliki argumen atau hujjah lebih kuat. Ini berarti pintu ijtihad tidak tertutup dan setiap hasil ijtihad tidak terlarang untuk dikaji ulang dan dievaluasi dalam rangka mendapatkan pemahaman atau persepsi yang lebih tepat dan sesuai dengan makna yang “sebenarnya”.
Dalam proses pengkajian ulang ini, setiap Muslim tidak hanya berupaya memahami metode-metode yang dipergunakan oleh para mujtahid di masa lampau tetapi juga memahami substansi yang dipermasalahkan oleh para mujtahid itu. Dan, last not least, para pengkaji Islam yang datang belakangan atau mujtahid-mujtahid baru itu diharapkan bisa menampilkan tidak hanya metode-metode baru dalam pengkajian Islam tetapi juga menampilkan persepsi-persepsi baru tentang Islam dan aspek-aspeknya ini.
Yang saya kemukakan ini sebenarnya bukan barang baru sebab dalam sejarah pemikiran Islam dikenal pakar-pakar, seperti Wasil bin ‘Ata’, Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Gazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun dan lain-lain yang dengan metodenya masing-masing mengeritik dan membantah pemikiran dan persepsi para pakar Muslim sebelumnya, baik dalam bidang Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Tasawwuf maupun dalam bidang-bidang lainnya.
Bila demikian halnya, apakah dalam Islam tidak ada kebenaran doktrinal yang mutlak atau absolut. Menurut pendapat saya, tentu saja ada, yakni kebenaran mengenai apa yang biasa dikenal sebagai masalah-masalah bukan-ijtihadi (masa’il ghairu ijtihadi), termasuk di dalamnya masalah-masalah praktis (‘amali) yang secara eksplisit sudah ditegaskan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul.
Karena itu, meskipun ada kebolehan untuk berijtihad, dan juga mengkaji ulang hasil ijtihad para mujtahid di masa lampau, setiap pengkaji Islam harus memahami secara tepat bidang-bidang manakah yang boleh diangkat sebagai obyek ijtihad dan bidang mana pula yang harus diterima begitu saja tanpa berpikir. Untuk memahami hal ini, secara sederhana dapat dikemukakan bila Al-Qur’an menggunakan kata-kata seperti fikr, ‘aql, ‘ulil-albab, ‘ulin-nuha dan sebangsanya berarti nalar kita boleh berbicara tetapi bila Al-Qur’an menggunakan kata-kata seperti iman, yaqin dan sebangsanya berarti nalar tidak perlu ikut-ikut berbicara. Atau secara substansial, dengan mengacu hadis Mu’az bin Jabal yang sangat populer, bila suatu masalah sudah dikemukakan secara jelas dalam Al-Qur’an maupun Sunnah ijtihad tidak diperlukan.
Bila hal itu dikaitkan dengan peristilahan moderen, berarti dalam Islam selain terdapat aspek-aspek yang bisa dan harus dikaji secara ilmiah atau deskriptif ada juga hal-hal yang harus dikaji secara doktriner atau normatif. Kajian deskriptif akan menghasilkan kebenaran relatif (relative truth) sedangkan kajian normatif akan menghasilkan kebenaran “mutlak” (“absolute” truth).
Kajian Islam: Normatif dan Deskriptif
Di kalangan Muslim “tradisional” yang cenderung mengikuti orientasi normatif, kajian Islam menempati posisi sentral karena seakan-akan ia menentukan “to-be or not-to-be”-nya Islam dan ummat Muslim. Bahkan, ekstremitas yang kadang-kadang timbul dari orientasi ini adalah kecenderungan untuk sama sekali tidak, atau setidak-tidaknya kurang, mementingkan kajian bidang-bidang studi lain yang “dianggap” tidak relevan dengan kepentingan Islam dan ummat Muslim, atau bahkan “dianggap” bias menyebabkan jatuhnya ummat Muslim ke dalam kekufuran.
Dengan demikian, kajian Islam secara normatif lebih ditujukan untuk memperkuat keyakinan terhadap kebenaran Islam dan meningkatkan penghayatan dan pengamalannya. Untuk itu, pengkajinya harus memiliki apa disebut “otoritas dogmatik” atau, setidak-tidaknya, beragama Islam. Implikasinya, kajian dan pemahaman Islam yang dilakukan atau dikemukakan oleh pengkaji bukan-Muslim cenderung selalu dianggap salah, meskipun mereka memiliki “otoritas profesional.”
Kecenderungan semacam ini kadang-kadang diperluas sedemikian rupa sehingga para pengkaji Islam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keislaman pun dianggap tidak memiliki otoritas untuk berbicara tentang Islam. Bahkan di beberapa kalangan tertentu otoritas dogmatik itu dikaitkan juga dengan tokoh-tokoh atau imam-imam mazhab tertentu. Karena itu di beberapa lembaga pendidikan Islam tertentu kadang-kadang ada semacam larangan untuk mendengarkan uraian tentang Islam dari orang-orang yang tidak semazhab atau mempelajari pikiran-pikiran, buku-buku atau kitab-kitab yang tidak “direstui” oleh pimpinan lembaga-lembaga pendidikan yang bersangkutan. Hal ini pernah terjadi juga di Universitas Al-Azhar, Kairo, di masa Muhammad ‘Abduh, yang tidak mau memasukkan kajian-kajian tentang Ilmu Kalam, Filsafat dam sehingga, sehingga karena itu dia berusaha merombak kurikulumnya, walaupun akhirnya gagal.
Sikap semacam ini mungkin ada korelasinya dengan pemikiran para pemikir Muslim sendiri di masa lalu, seperti Al-Gazali yang dalam bukunya Ihya’u ‘Ulumiddin mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu-ilmu Syar‘iyyah yang seluruhnya mahmudah [terpuji] dan Ilmu-ilmu Ghairu Syar‘iyyah yang sebagian dinilai mahmudah dan sebagian lagi mazmumah [tercela] atau bahkan membahayakan keimanan seseorang Muslim. Banyak orang meniliai bahwa klasifikasi ilmu pengetahuan dari Al-Gazali inilah yang menyebabkan timbulnya diferensiasi atau dikotomi antara ilmu agama, di satu pihak, dan ilmu umum atau ilmu bukan-agama, di pihak lain.
Dalam bukunya, Tahafutul-Falasifah, Al-Gazali juga secara implisit, bahkan eksplisit, mengingatkan ummat Muslim betapa berbahayanya pemikiran filsafat terhadap keimanan dan bahkan menyebut 3 di antara 20 masalah kefilsafatan yang dianggapnya dapat menjatuhkan orang Muslim ke dalam kekufuran: (1) tentang kekadiman alam, (2) tentang Tuhan yang dianggap tidak mengetahui hal-hal yang rinci, dan (3) tentang tidak adanya kebangkitan jasmani di hari kiamat.
Ibnu Taimiyyah, walaupun pada umumnya dikenal sebagai perintis pemikiran Islam moderen, dalam bukunya Ar-Raddu ‘alal-Mantiqiyyin juga seakan-akan melarang orang mempelajari filsafat dan logika. Dan pendapatnya ini, sampai batas-batas tertentu, ternyata diikuti oleh pemikir Muslim Mesir asal Syria, Muhammad Rasyid Rida, yang namanya cukup populer juga di kalangan Muslim moderen di Indonesia.
Berbeda dengan orientasi normatif, dalam orientasi deskriptif kajian Islam tidak menempati posisi sentral. Ia dianggap penting hanya oleh dan bagi orang-orang yang secara akademik menaruh minat terhadap kajian tersebut. Dengan demikian kajian Islam secara deskriptif tidak ada kaitannya sama sekali dengan masa depan dan keberadaan Islam dan ummatnya, dan juga tidak terikat dengan norma atau kepentingan apapun selain dari ikatan akademik atau keilmuan. Karena itu, kadang-kadang terjadi perbenturan antara kepentingan akademik dan kepentingan keagamaan yang bersangkutan, sebab semua keyakinan yang bersifat dogmatik atau doktriner cenderung dinafikan dalam orientasi ini.
Islam: Displin Ilmu atau Pokok Bahasan?
Masalahnya adalah apakah kajian Islam merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana Sosiologi, Antropologi, Biologi dan sebagainya ataukah sekedar pokok bahasan dari disiplin-disiplin ilmu yang selama ini sudah dikenal. Terhadap pertanyaan ini perlu dikemukakan bahwa dalam kehidupan ilmiah selama ini ada kecenderungan kuat di kalangan para ilmuwan untuk mengikuti klasifikasi keilmuan menurut epistemologi dan filsafat ilmu Barat yang mengelompokkan ilmu menjadi tiga: ilmu-ilmu kealaman (physical sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan humaniora (humanities). Klasifikasi ini adalah hasil kesepakatan rektor-rektor universitas-universitas se-Amerika yang diambil dalam pertemuan mereka di Universitas Harvard pada tahun 1957.[2]
Menurut klasifikasi ini Ilmu Agama (Divinity) tidak termasuk disiplin ilmu. Namun demikian di Barat sendiri (bahkan di Amerika) tidak semua ilmuwan sependapat dengan hasil rumusan itu. Karena itu di antara mereka ada yang memasukkan Ilmu Agama kedalam kelompok Ilmu Humaniora atau Ilmu Sosial,[3] dan bahkan untuk itu mereka membuka berbagai lembaga, fakultas atau jurusan khusus untuk mengembangkan kajian Ilmu Agama ini. Salah satu lembaga yang khusus mengembangkan kajian Islam dan cukup populer di Indonesia adalah Institute of Islamic Studies pada Universitas McGill di Montreal, Canada, di mana Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Muchtar Na’im dan lain-lain pernah mempelajari Islam.
Jadi jelas bahwa masalah posisi keilmuan Ilmu Agama, termasuk Islam, di Barat sendiri masih kontroversial. Namun demikian, ternyata studi Islam di Barat itu tetap berkembang dengan pesat bahkan, dari sisi metodologinya, relatif lebih pesat daripada studi Islam yang dikembangkan di negara-negara Timur, khususnya di negara-negara Islam.[4]
Lebih dari itu, kajian terhadap berbagai macam agama, yang lebih dikenal dengan sebutan History of Religions [Sejarah Agama-agama] atau Comparative Study of Religions [Kajian Perbandingan Agama], ternyata berkembang paling pesat di Amerika. Jadi tampaknya kesepakatan para rektor universitas-universitas se-Amerika itu tidak mengikat dan sama sekali bukan limitasi formal bagi munculnya disiplin baru yang bernama Ilmu Agama ini.
Khusus mengenai kajian Islam di Barat barangkali bisa dikemukakan secara sederhana bahwa Islam sebagai bidang studi dikelompokkan menjadi 4 pokok bahasan sebagai berikut:
1. Sejarah Islam, berdasarkan ancangan regional dan kronologik.
2. Pemikiran Islam, yang mencakup bidang-bidang teologi (Ilmu Kalam), Filsafat, Tasawwuf, Hukum, dan sebagainya.
3. Lembaga-lembaga Islam, baik yang menyangkut bidang peribadatan, ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya; dan
4. Perkembangan pemikiran dan gerakan moderen di Dunia Islam, terutama sejak sekitar abad ke-18 hingga sekarang.
Beberapa Metode Mutakhir dalam Kajian Islam
Seperti sudah disinggung di depan, di Barat ilmu Agama dimasukkan ke dalam kelompok ilmu humaniora dan ilmu sosial. Dalam hal ini terdapat dua fase sejarah dalam ancangannya: (1) periode klasik, mulai sekitar awal abad ke-19 hingga pecahnya Perang Dunia II, dan (2) kontemporer, sejak selesainya Perang Dunia II di tahun 1945 hingga sekarang.
Beberapa metode yang berkembang selama dua fase sejarah ilmu agama itu adalah sebagai berikut:
A. Dalam kelompok Ilmu Humaniora:
1. Metode Historik, yang melihat agama dari segi sejarahnya tanpa memberikan penilaian terhadap benar-tidaknya ajaran agama yang dikaji.
2. Metode Fenomenologik, yang menekankan perlunya adanya jarak antara pengkaji dengan berbagai kategori normatif maupun spekulatif dalam mengkaji gejala-gejala keagamaan dan adanya orientasi menyeluruh di mana pengkaji meneliti apa yang diyakini oleh penganut agama yang bersangkutan.
3. Metode Komparatif, yang mengkaji suatu agama dengan memperbandingkannya dengan agama yang lain secara ilmiah dan tidak memihak.
4. Metode Ilmiah, yang mencoba mengkaji agama secara sistematik sesuai dengan sub-sub pokok bahasannya: sejarah, teologi, filsafat, perbandingan, dsb. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh lembaga-lembaga Kristen sehingga corak kekristenannya tampak menonjol.[5]
B. Dalam Kelompok Ilmu Sosial:
1. Metode Psikologik, yang mencoba mengkaji secara psikologik mengapa orang menganut dan mengamalkan agama tertentu dan mengapa orang lain justeru tidak menganut atau mengamalkannya.
2. Metode Sosiologik, yang mencoba mengkaji agama sebagai gejala dan kegiatan sosial.
3. Metode Antropologi Sosial, yang mencoba mengkaji peran agama dalam masyarakat dan bukan tentang agama itu sendiri.
4. Metode Antropologi Kultural, yang menempatkan dan mengkaji agama sebagai bagian dari peradaban dan budaya bangsa penganutnya.
5. Metode Fungsional, yang mencoba mengkaji peran agama terhadap perorangan, sosial maupun lingkungan.[6]
Penutup
Sebagai penutup uraian ini saya ingin mengemukakan bahwa, terlepas dari ancangan dan metode apapun yang digunakan, setiap pengkaji Islam dari kalangan Muslim tetap dituntut tanggung-jawabnya terhadap Islam maupun ummatnya, sesuai dengan posisinya sebagai munzir. Dia tidak hanya dituntut untuk senantiasa mengembangkan profesinya dalam kajian Islam tetapi juga harus senantiasa mengoreksi kekeliruan-kekeliruan dan penyimpangan-penyimpangan ummat dalam mempersepsi Islam, menghayati dan mengamalkannya. Di samping itu dia juga berkewajiban memberikan masukan kepada para pemimpin ummat, bila dia sendiri tidak termasuk di dalamnya, dan para da’i – dalam pengertian seluas-luasnya – sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban mereka masing-masing dalam pembinaan ummat.
Sesuai dengan posisinya sebagai ahli Islam, dia juga harus bisa berfungsi sebagai da’i dan motivator bagi kalangan intelektual Muslim yang ternyata masih memiliki persepsi, penghayatan dan pengamalan Islam yang belum tepat; dan, karena itu, dia sendiri harus tampil sebagai model. Dan lebih dari itu, dia juga harus mampu tampil sebagai dinding penangkis terhadap masuknya persepsi-persepsi yang keliru tentang Islam, terutama, dari kalangan pengkaji Islam bukan-Muslim atau yang mempunyai maksud tidak baik terhadap Islam dan ummatnya.
Karena itu, sebagaimana para pemimpin ummat, para ahli Islam yang Muslim juga memiliki peran dan tanggung-jawab besar. ***
Semarang, 19 Februari 1992
[2]Syed Sajjad Husain & Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education (Cambridge & Jeddah: Hodder and Stoughton & King Abdulaziz University, 1979), hlm. 2.
[3]Buku relatif terbaru mengenai ancangan kajian agama dari sudt pandang Ilmu Humaniora dan Ilmu Sosial adalah Frank Whaling, Ed., Contemporary Approaches to the Study of Religion, 2 jilid, (Berlin, New York & Amsterdam: Mouton Publishers, 1984 dan 1985).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar