Senin, Agustus 31, 2009

Demokrasi dan Transformasi Kewarganegaraan

DEMOKRASI DAN TRANSFORMASI KEWARGANEGARAAN
Oleh Machnun Husein

Demokrasi dan kewarganegaraan adalah dua hal yang saling terikat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu di antara keduanya tidak ada, maka yang lain akan tidak berfungsi. Dengan perkataan lain tidak ada demokrasi tanpa kewarganegaraan dan tidak ada kewarganegaraan tanpa demokrasi.

Jika demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik dan penyelenggaraan negara dan masyarakatnya berdasarkan hasil pemilihan umum, maka kewarganegaraan merupakan keanggotaan masyarakat tersebut yang sah dan yang secara sadar menerima berbagai hak dan tanggungjawab inherennya. Definisi ini didasarkan atas penafsiran utama kewarganegaraan sebagai “interaksi”, yang terjadi dalam jaringan orang-orang yang ikut serta di dalamnya. Jadi, kewarganegaraan sama sekali bukan konsentrasi yang sempit kepada individualisme.

Selain itu, demokrasi dilandasi oleh konsep suara rakyat (popular vote) atau pilihan rakyat. Karena itu, pemerintah dan batas-batas kekuasaannya diawasi dan dikendalikan oleh warga negara yang memilihnya. Bila warga negara kehilangan hak pilihnya itu, maka tidak ada lagi yang dapat memantau dan mengatur implementasi otoritas pemerintah dan karena itu demokrasi pun tidak ada lagi. Dengan perkataan lain, berbarengan dengan penghapusan hak pilih warga negara muncullah kediktatoran. Dan ini sangat berbahaya bagi setiap pemerintahan demokratis karena warga negara dapat melakukan perlawanan besar-besaran yang biasanya dikenal sebagai people power sehingga pada akhirnya pemerintah pun akan jatuh.

Konstruksi demokrasi memerlukan proses yang dikenal sebagai proses transformasi kewarganegaraan, yakni mengubah individu yang tidak menaruh perhatian, acuh tak acuh atau tidak peduli menjadi warga negara yang peduli dan yang mengetahui hak serta tanggungjawabnya. Setiap orang yang lahir di suatu negara tidak secara otomatis menjadi warga negara dalam pengertian seperti ini, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pakar Arab, Qistantin Rizaq. Mereka tidak lebih daripada sekedar makhluk biologis dan juga sebagai penduduk yang, sampai batas tertentu, tidak memiliki hubungan sosial maupun politik.

Dalam proses transformasi ini, ada tiga kriteria yang dapat digunakan: (1) kesadaran politik, (2) komitmen kepada kondisi-kondisi kewarganegaraan, dan (3) voluntarisme.

Kesadaran Politik

Kesadaran politik adalah kepedulian terhadap diri dan lingkungannya, yang diikuti dengan perilaku sebagai konsekuensi dari kepedulian ini. Dengan demikian, kewarganegaraan adalah kesadaran untuk ikut memiliki atau tergabung dalam kelompok orang tertentu yang menghuni lokasi geografik tertentu dan yang diperintah oleh pemerintah tertentu yang didukung oleh rakyatnya dan partai politik yang berkuasa. Kesadaran inilah yang akan mengubah diri seseorang dari lingkungan individu menjadi kesadaran untuk ikut memiliki dan kesediaan untuk menerima berbagai tanggungjawab dan hak dirinya terhadap warga negara lainnya.Kesadaran politik tidak muncul secara alami begitu saja, melainkan sebagai akibat dari pendidikan politik yang dipraktikkan baik dalam rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Kesinambungan kewarganegaraan dari satu generasi ke generasi berikutnya juga mengharuskan adanya kesinambungan pendidikan politik itu. Pendidikan politik ini merupakan salah satu tugas pokok partai politik. Kegagalan dalam pendidikan politik menyebabkan orang tidak mampu menjadi warga negara yang baik dan efektif. Orang-orang yang tidak memiliki kemauan untuk menjadi warga negara yang efektif akan cenderung melakukan bermacam-macam tindakan tidak terpuji, seperti korupsi, kejahatan dan ketidaksusilaan. Korupsi dalam masalah keuangan, pemerintahan dan penyalahgunaan aturan hukum, serta pengabaian terhadap tugas-tugas publik adalah contoh-contoh kegagalan dalam pendidikan politik ini.

Komitmen kepada Kondisi-kondisi Kewarganegaraan

Komitmen kepada kondisi-kondisi kewarganegaraan adalah jaringan hubungan antara seseorang individu dengan individu-individu lain, antara individu-individu dengan masyarakat dan antara individu dengan negara. Dari hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan yang didasarkan atas kesepakatan dan prinsip memberi dan meminta (principle of take and give) inilah individu-individu dapat berkembang menjadi warga negara yang efektif. Mutu hubungan ini tergantung terutama pada komitmen terhadap kesepakatan-kesepakatan itu. Inilah yang dengan tepat disebut sebagai hak dan kewajiban.

Kewajiban adalah apa yang diberikan seseorang warga negara kepada hubungan yang dinilai paling tinggi dan hak adalah sesuatu yang diterima seseorang warga negara sebagai imbalannya. Dengan perkataan lain, kewajiban adalah harga dari hak. Inilah yang dikenal dengan kesadaran akan tanggungjawab sebagai unsur kedua dalam pembentukan kewarganegaraan yang efektif.

Secara historis sistem ini berkembang secara gradual dan kini telah mencapai puncaknya sebagai salah satu bagian dari piagam universal dan juga tertuang dalam konstitusi atau undang-undang dasar hampir semua negara, lengkap dengan rinciannya masing-masing. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa adanya konstitusi tertulis itu tidak menjamin terlaksananya sistem ini. Mohammad Abdul Jabbar asy-Syabut, mantan Pimpinan Redaksi Surat kabar harian as-Sabah, Baghdad, Iraq, menyatakan bahwa undang-undang tertulis itu tidak dapat dilaksanakan dan terealisasi bila kedua belah pihak tidak berupaya melaksanakannya. Baik pemerintah, yang memiliki sumber dan kekuasaan untuk melaksanakannya, maupun para anggota parlemen yang merupakan warga negara-warga negara efektif, memainkan peranan penting untuk mentransformasikan aturan-aturan hukum tertulis ini menjadi realitas yang nyata.

Voluntarisme

Voluntarisme (L. voluntas = kebebasan berpikir) adalah peringkat kewarganegaraan tertinggi dan menunjukkan efektivitas individu yang sempurna. Jenis kewarganegaraan yang dibentuk oleh berbagai macam rezim biasanya bercorak memaksa, tidak saling menguntungkan, sebab ia tidak didasarkan atas perimbangan antara hak dan kewajiban. Sedangkan kewarganegaraan yang didasarkan atas voluntarisme memerlukan warga negara-warga negara yang bebas tanpa ikatan. Voluntarisme adalah kesediaan pribadi warga negara untuk melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbalan berupa uang atau barang. Dan ini merupakan landasan masyarakat madani (civil society) di mana para warga negara merasa terikat dengan pekerjaan sukarela tanpa campur tangan pemerintah.

Ikatan-ikatan secara sukarela ini dikenal sebagai lembaga-lembaga masyarakat madani. Aktivitas para warga negara diukur dari banyaknya pekerjaan sukarela yang mereka lakukan. Kekuatan masyarakat ini, berbeda dengan dominasi pemerintah, diukur sesuai dengan sejauh mana lembaga-lembaga masyarakat madani itu dapat melindungi diri dan memertahankan independensi relatif mereka terhadap penjabat eksekutif. Karena itu aktivitas warga negara-warga negara efektif menjadi salah satu syarat paling penting untuk menegakkan demokrasi dalam masyarakat.

Kebebasan dan Persamaan

Untuk mengubah manusia sebagai makhluk biologis menjadi warga negara efektif dua faktor penting perlu dijamin: kebebasan dan persamaan. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan individu untuk mengambil keputusan berdasarkan keyakinan politiknya, berdasarkan penolakan terhadap dominasi otoritas lain dan berdasarkan pengakuan atas tanggungjawabnya. Jika kewarganegaraan terikat dengan tanggungjawab, maka pertama-tama dia harus bebas, sebab tidak ada tanggungjawab tanpa kebebasan.

Yang terpenting di antara kebebasan-kebebasan itu adalah kebebasan berbicara, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 19 Piagam PBB mengenai hak-hak sipil dan politik. Untuk itu, menurut piagam tersebut, arus informasi tidak boleh dibatasi dan setiap warga negara berhak mengakses informasi tersebut. Dengan demikian, warga negara yang tidak suka membaca atau mengikuti informasi akan mengalami kesulitan untuk menjadi warganegara yang efektif. Disamping itu, kesamaan juga harus diberikan kepada setiap warganegara untuk berpartisipasi secara politis untuk ikut mengatur pemerintahan. Partisipasi politik adalah inti demokrasi. Karena itu, mereka harus diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat secara terbuka selama masa kampanye pemilihan umum untuk memilih pimpinan dan wakil-wakil mereka yang tepat di parlemen.

Kewarganegaraan juga tidak memiliki arti apa-apa tanpa persamaan di antara sesama warga negara. Diskriminasi berdasarkan gender (jenis kelamin), agama dan warna kulit atau kelompok etnis sama sekali tidak dapat dibenarkan. Diskriminasi serupa dalam kesempatan dan lapangan kerja pun tidak boleh dilakukan, kecuali atas persyaratan merit (ijazah) yang terkait. Selain itu, mereka juga harus diberi kebebasan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat, yang terdiri dari hak-hak keamanan, tempat tinggal, pemeliharaan kesehatan, kesempatan belajar dan sumber-sumber keuangan. Semakin cermat hak-hak warga negara dijamin, akan semakin besar pula kesediaan warga negara untuk berpartisipasi dalam politik.•
_______________________________
Penulis, mantan dosen Program Magister Studi Islam, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta
Sumber: Suara Muhammadiyah No. 09/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar