Jumat, September 04, 2009

Pembetukan Jama'ah dan Solidaritas Sosial Islam

PEMBENTUKAN JAMA‘AH DAN SOLIDARITAS SOSIAL ISLAM
Catatan Kecil dari Silaturrahmi Warga Muhammadiyah Yogya
Oleh Machnun Husein

I

Setiap tanggal 1 Sawwal, setelah selesai menunaikan salat jama‘ah ‘Idulfitri, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta selalu menyelenggarakan silaturrahmi dengan wara Muhammadiyah dan para simpatisannya. Acaranya sederhana sekali. Jamuannya pun demikian pula. Biasanya the dengan makanan kecil ala kadarnya. Pembicaranya tunggal, biasanya Ketua PP sendiri. Kadang-kadang ada sambutan dan selingan pengumuman-pengumuman.

Silaturrahmi tersebut merupakan tradisi yang sudah sangat lama umurnya. Karenanya walaupun tanpa undangan atau pemberitahuan melalui media massa pun yang hadir pasti banyak. Bahkan pada 1 Syawwal 1402 ybl. (22 Juli 1982) banyak tamu yang terpaksa bediri karena tidak mendapat kursi lagi.

Yang dikemukakan oleh PP dalam kesempatan itu biasanya hal-hal yang actual bagi Muhammadiyah. Baik yang sedang dikerjakan atau pun yang akan dikerjakan Muhammadiyah dalam waktu dekat. Tanggapan orang luar terhadap Muhammadiyah kadang-kadang dikemukakan juga. Demikian juga sikap Muhammadiyah terhadap tanggapan-tanggapan itu. Sudah barang tentu ucapan selamat dan saling memaafkan tidak pernah dilupakan dan bahkan memberi warna tersendiri pada pertemuan ini.

Untuk tahun ini Pak AR Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah, memberikan informasi tentang rencana Pemerintah untuk mengajukan RUU Keormasan dan sedikit ulasan mengenai efeknya terhadap Muhammadiyah. Menurut Pak AR pembubaran Muhammadiyah jelas tidak mungkin, barangkali cuma “memepetkan atau menjepitnya” saja. Namun bagi Muhammadiyah, demikian Pak AR, perasaan “terpepet” dan “terjepit” adalah hal yang biasa. Bahkan semenjak jaman penjajahan dulu. Yang jelas, Muhammadiyah tetap berjalan dan beramal. Disamping itu dikemukakan juga tentang gagasan da‘wah melalui pembentukan jama‘ah, yang notabene sudah pernah diputuskan dalam Mu’amar beberapa tahun yl. dan yang hingga kini belum pernah mengalami perubahan.

Catatan kecil ini diangkat dari topik pembicaraan Pak AR yang kedua itu, yang walaupun kedengaran begitu praktis dan mengundang banyak tawa, namun ternyata banyak hal yang problematik di dalamnya. Karenanyalah catatan ini saya sajikan dengan harapan agar kita, pembaca SM khususnya, ikut tergugah memberikan sumbangan pikirannya. Sebab bagi saya khususnya program itu perlu didukung.

II

Menurut Pak AR, pada setiap lingkungan tempat tinggal yang terdiri dari sekurang-kurangnya 10 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang Muslim dapat dibentuk satu jama‘ah yang dipimpin oleh seorang Imam atau pimpinan Jama‘ah. Pimpinan itu dipilih di antara mereka sendiri. Tugasnya selain menggerakkan salat jama‘ah bagi para anggotanya juga memikirkan dan berusaha memenuhi kebutuhan fisik material dari para anggotanya itu yang kebetulan sedang mengalami kesulitan, musibah atau sakit. Termasuk juga kesulitan keuangan di saat mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka, katakanlah untuk membayar uang pangkal, sumbangan gedung dan lain-lain. Jika jama‘ah itu bisa terbentuk dan kegiatan-kegiatannya bisa terkoordinasi secara baik, insya Allah jama‘ah itu akan merupakan benteng yang kuat untuk menjaga dan membina keimanan serta penghidupan semua anggotanya. Tepat seperti gambaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa orang-orang Muslim laksana sebuah bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan.

III

Sepanjang yang kita ketahui apa yang dikemukakan Pak AR itu bukan hal baru lagi. Diskusi-diskusi tentang itu sudah sering dilakukan orang. Istilahnya pun beranekaragam. Ada Ukhuwwah Islamiyah, keadilan sosial dalam Islam, dan masih banyak lagi. Namun sayang sekali dalam banyak diskusi, permasalahannya cuma sekedar didekati dari segi doktrin atau normanya yang kemudian diikuti dengan sederatan “daftar keinginan” yang seharusnya dicapai. Barangkali karena itulah setiap kali selesai berdiskusi tak ada kegiatan operasional yang menonjol. Hasil diskusi yang berorientasi normatif dan doktriner itu hanya mampu menambah ilmu pengetahuan dari para pesertanya dan menambah koleksi dokumen mereka masing-masing.

Pada saat sekarang ini batrangkali ada baiknya untuk didiskusikan kembali dengan pendekatan yang berbeda. Kita cari permasalahannya dan kita cari jalan keluar untuk memecahkan masalah itu. Barangkali dengan orientasi pemecahan masalah (problem-solving orientation) inilah dapat diperoleh faktor-faktor penghambat dan pendukungnya, sehingga pentahapan dan pencapaian tujuan dapat disusun sedemikian rupa sesuai dengan besar-kecilnya hambatan-hambatan itu.

Saya akan mencoba membandingkannya dengan sistem penyantunan anak yatim dalam Muhammadiyah. Menurut tuntunan Rasulullah saw. sistem yang paling baik dalam hal ini ialah memelihara anak yatim itu dalam lingkungan keluarga. Namun ternyata dalam hal ini terdapat hambatan-hambatan psikologis yang sulit diatasi, khususnya di antara si anak yatim dengan anak (anak-anak) dari keluarga pengasuhnya sendiri. Oleh karena itulah diberikan alternatif lain supaya tidak timbul akibat-akibat buruk bagi si anak yatim dengan menempatkannya di rumah-rumah atau panti-panti asuhan (Lihat Putusan Raker PKU di Purwokerto tahun 1968).

Untuk mendiskusikan permasalahan solidaritas sosial Islam di atas jelas diperlukan peran serta dari para ahli ilmu-ilmu sosial, sebab bagaimanapun juga pendekatan psikologis akan sangat mendukung pelaksanaan ajaran sosial Islam itu. Di sinilah terletak urgensinya bagi Muhammadiyah untuk mengundang dan melibatkan mereka dalam proyek besar ini.

Pak AR menyatakan bahwa selama ini masyarakat Islam masih suka nafsi-nafsi atau sendiri-sendiri (lihat Brosur Lebaran terbitan Pemuda Muhammadiyah Daerah Kodya Yogyakarta dan AMM Kotegede, No. 20 Th/ XX, 1 Syawwal 1402 H, hl, 14). Barangkali ini merupakan istilah lain saja dari krisis solidaritas Islam. Pertanyaannya ialah mengapa bisa terjadi krisis itu? Pendekatan yang tuntas terhadap masalah ini saya yakin bisa memberikan jawabannya, Dan jawaban itulah yang kita perlukan sebagai landasan dan titik awal perencanaan selanjutnya.

IV

Saya yakin bahwa ajaran Solidarias Sosial dalam Islam jauh lebih ideal dan tuntas dibandingkan dengan ajaran agama-agama atau faham-faham apa pun. Solidaritas sosial Islam tidak semata-mata membatasi diri pada pemenuhan keperluan sosial yang bersifat fisik material, melainkan juga yang bersifat mental spiritual. Islam tidak menghendaki masyarakat sejahtera dalam arti lahiriah semata-mata, tetapi juga sejahtera dalam arti batiniahnya juga. Islam menghendaki terbentuknya masyarakat yang dapat menikmati hidup dan memperoleh penghidupan yang layak sebagai makhluk sosial dan yang tetap dalam keadaan Muslim dan Mu’min yang memperoleh rida Allah swt.

Islam adalah satu-satunya agama yang menganjurkan para penganutnya untuk berusaha menjadi kaya. Tetapi Islam tidak membenarkan orang-orang yang kaya itu melakukan penindasan dan atau menyengsarakan saudara-saudaranya yang fakir dan miskin. Itulah sebabnya Islam mewajibkan zakat dan infak kepada orang-orang Muslim yang kaya sehingga si fakir dan si miskin dapat memperoleh penghidupan yang layak. Rasulullah saw. pernah menyatakan bahwa kefakiran dan kemiskinan hampir-hampir dapat membawa orang ke arah kekufuran. Ini berarti bahwa Muslim yang fakir berada dalam posisi yang berbahaya sebab dia dapat mengorbankan iman dan Islamnya demi terpenuhinya keperluan fisik materialnya itu. Karena itulah peranan zakat dan infak dari orang-orang kaya itu besar sekali dalam memelihara dan membina keimanan setiap Muslim.

Saya ingin mengingatkan bahwa pada dasarnya zakat apapun (tidak cuma zakat firtah) adalah diprioritaskan bagi orang-orang fakir dan miskin itu. Sabda Rasulullah dalam hadis Mu‘adz yang terkenal itu menyatakan bahwa zakat itu dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka. Jika tidak demikian halnya maka berarti telah terjadi kezaliman. Jika orang-orang fakir yang merasa dizalimi itu berdoa kepada Allah atas kezaliman si kaya itu (dengan doa yang jelek sekalipun) Allah menjamin akan mengabulkannya (lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, juz 3, hlm. 6).

Dalam Surat At-Taubah ayat 60 pun kita lihat bahwa golongan fakir dan miskin itu menempati urutan pertama dan kedua di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat. Saya yakin urutan itu mempunyai maksud agar orang-orang fakir dan miskin itu selalu mendapatkan prioritas dalam penerimaan zakat itu. Dan salah besarlah jika hak mereka di diserobot begitu saja lantaran adanya kepentingan lain yang dianggap (sekali lagi dianggap) lebih bermanfaat.

Kalau sekarang masih tedapat banyak orang fakir dan miskin, ini berarti suatu indikasi bahwa pembagian zakat selama ini masih belum beres. Itulah sebabnya penelitian dan “kontrol” terhadap pelaksanaan pengumpulan dan pembagian zakat perlu dilakukan. Termasuk juga penelitian terhadap persoalan apakah masih ada di antara kita yang belum mau mengeluarkan zakatnya. (Ingat pada masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dahulu orang-orang Islam yang enggan mengeluarkan zakatnya justeru diperangi).

V

Saya sangat menghargai amal-usaha Muhammadiyah selama ini yang sangat menaruh perhatian terhadap pelaksanaan tuntunan Islam mengenai zakat dan infak ini. Penyelenggaraan yang bertentangan dengan tuntunan yang sebenarnya dibetulkan oleh persyarikatan ini. Di antaranya, yang paling terkenal ialah pelaksanaan zakat fitrah. Zakat fitrah yang selama berpuluh-puluh tahun disalahalamatkan telah dibetulkan sehingga benar-benar diberikan kepada fakir-miskin sesuai dengan tuntutan Islam yang sebenarnya.

Dalam hal zakat-zakat lainnya pun Muhammadiyah sangat berhati-hati, karenanya ketika pada tahun 1968 yl. Presiden Suharto berprakarsa untuk bertindak sebagai pengumpul zakat dari umat Islam, Muhammadiyah tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Selama tiga hari PP Muhammadiyah (4-6 Januari 1969) mengadakan Musyawarah Zakat di Yogyakarta sebelum mengeluarkan tanggapannya. Berikut ini saya kutip tanggapan Muhammadiyah tersebut (lihat juga Suara Muhammadiyah No. 1-2 Th. ke-49, Januari 1969, hlm. 4):

“Penyelenggaraan zakat yang dilakukan oleh Pemerintah seperti sekarang dapat menimbulkan banyak persoalan, a.l. perasaan bahwa kesempatan untuk menunaikan kewajiban agama dan memuaskan rasa keagamaan mereka seolah-olah menjadi terganggu, hingga menimbulkan perselisihan dan pertentangan faham di kalangan umat Islam sendiri tentang harta-harta yang dipungut maupun mustahiqnya dan cara pembagiannya yang akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, kesulitan-kesulitan dalam bidang pelaksanaan dan administrasi yang diragukan keefisienannya.

Muhammadiyah belum sepenuhnya dapat menyetujui gagasan dan langkah-langkah Pemerintah untuk menyelenggarakan zakat. Tapi Muhammadiyah bersedia bekerjasama dalam Panitia Zakat Nasional untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam dan sempurna mengenai soal-soal yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat. Dan sambil menunggu hasilnya, Muhammadiyah berpendapat agar penyelenggaraan zakat dilakukan oleh perorangan atau organisasi-organisasi Islam sendiri-sendiri.”

Beberapa tahun yang silam Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan istruksi kepada para anggotanya untuk melakukan penghitungan zakat sendiri dan memberikannya kepada yang berhak menerimanya. Namun sejauh mana pelaksanaan instruksi tersebut, termasuk juga tindak lanjut dari sikap Muhammadiyah tersebut di atas, hingga kini tampaknya belum pernah diteliti. Padahal menurut hemat kita penelitian dan juga kontrol terhadap pelaksanaan instruksi apapun mutlak perlu. Sebab baaimana pun juga posisi Muhammadiyah dalam hal ini tidak semata-mata sebagai penganjur melainkan juga sebagai penyelenggaranya (Baca kembali kutipan tanggapan Muhammadiyah pada alinea kedua di atas). Penelitian dan kontrol adalah alat yang vital untuk mengevaluasi keberhasilan suatu proyek. Evaluasi itulah yang seharusnya menjadi titik tolak bagi perencanaan proyek berikutnya.

VI

Dari uraian di atas semakin jelas bahwa realisasi kegiatan pembentukan jama‘ah tidak dapat dipisahkan dengan realisasi ajaran Islam tentang zakat dan infak itu. Artinya jama‘ah itu sendiri tidak mungkin berfungsi secara sempurna tanpa adanya pembenahan dalam bidang penyelenggaraan zakat dan infak itu. Atau dengan perkataan lain, penyelenggaraan zakat dan infak selain berperan sebagai faktor pendukung bagi realisasi gagasan pembentukan jama‘ah juga sekaligus dapat merupakan faktor penghambatnya.

Hal lain yang perlu dipermasalahkan dalam hubungan ini ialah keanekaragaman keadaan Ranting dan Cabang Muhammadiyah kita yang merupakan ajang dari jama‘ah yang hendak dibentuk itu. Keanekaragaman bukan saja dalam hal ketertiban organisasinya tetapi juga dalam taraf hidup para anggotanya. Itulah sebabnya semakin terasa lagi urgensinya akan penelitian-penelitian sosiologis itu.

Gagasan pembentukan jama‘ah dengan segala aktivitasnya memang merupakan usaha yang sangat simpatik dan mulia, yang karenanya perlu didukung. Namun karena ternyata banyak hal yang problematik di dalamnya maka pendekatan yang mengarah kepada pemecahan masalah benar-benar diperlukan. Keberhasilan usaha ini, cepat atau lambat, akan memberikan citra yang lain kepada Muhammadiyah.***

Sumber: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, No. 16 Th. ke-62, 1402 H/1982 M, hlm. 14-16.

3 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, salam kenal....Subhanallah, tulisan yang selain memberikan pencerahan ide baru juga sangat inspiratif kawan, nice blog, keep on blogging!!! :-) artikel-artikel untuk menjadi muslim kaya juga bisa aku temukan di sini : http://muslim-kaya.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum, salam kenal....Subhanallah, tulisan yang selain memberikan pencerahan ide baru juga sangat inspiratif kawan, nice blog, keep on blogging!!! :-) artikel-artikel untuk menjadi muslim kaya juga bisa aku temukan di sini : http://muslim-kaya.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum, salam kenal....Subhanallah, tulisan yang selain memberikan pencerahan ide baru juga sangat inspiratif kawan, nice blog, keep on blogging!!! :-) artikel-artikel untuk menjadi muslim kaya juga bisa aku temukan di sini : http://muslim-kaya.blogspot.com/

    BalasHapus