Rabu, September 02, 2009

Puasa Ramadan sebagai Pelatihan Tahunan

PUASA RAMADAN SEBAGAI PELATIHAN TAHUNAN
Oleh Machnun Husein


Bagi ummat Muslim, bulan Ramadhan boleh dikatakan sebagai bulan pelatihan tahunan yang bersifat rutin, karena pada bulan itu setiap Muslim berusaha meningkatkan kualitas keislamannya melalui puasa dan berbagai ibadah lainnya. Dengan puasa selama bulan Ramadan setiap Muslim diharapkan bisa meningkat menjadi orang yang bertaqwa. Demikian menurut firman Allah dalam surat 2 (Al-Baqarah):183.

Berbeda dengan pelatihan-pelatihan lain yang didisain oleh manusia, pelatihan keagamaan melalui puasa di bulan Ramadan ini relatif ringan. Sebab orang yang sakit atau yang sedang bepergian boleh tidak berpuasa asal menggantinya pada hari lain di luar bulan Ramadan; tentu saja setelah dia sehat kembali dan tidak bepergian lagi. Bahkan orang yang sudah tidak mampu berpuasa karena usia lanjut atau ibu-ibu yang hamil dan atau menyusui pun yang kahawatir akan kandungan atau bayinya boleh meninggalkan puasa. Baginya cukup dengan membayar fidyah berupa makanan kepada orang miskin {lihat surat 2 (Al-Baqarah): 184}.

Jumlah hari berpuasa pun dibatasi sedemikian rupa sehingga hanya berkisar antara 29 atau 30 hari saja, tidak pernah lebih. Itupun hanya dalam bulan Ramadan. Jadi dalam Islam tidak ada puasa 40 hari, misalnya, seperti sering dilakukan orang untuk keperluan-keperluan tertentu yang bersifat duniawi, misalnya untuk mempengaruhi pikiran seseorang gadis atau jejaka yang sedang ditaksirnya. Satu-satunya puasa selama lebih dari 30 hari, hanyalah puasa kaffarah selama 60 hari berturut-turut; yaitu puasa sebagai hukuman atas tindak pidana keagamaan tertentu.

Pendek kata puasa dalam Islam itu ringan. Keringanan itu juga terlihat pada tidak adanya larangan terhadap makanan atau minuman tertentu, selama keduanya dinyatakan halal oleh agama dan atau tidak dianjurkan oleh dokter untuk dipantang karena secara medis berbahaya bagi kesehatannya. Semua makanan dan minuman yang halal di luar bulan Ramadan juga halal di dalam bulan Ramadan. Tidak ada ketentuan dalam Islam bahwa makanan atau minuman tertentu harus dipantang demi “kesempurnaan” berpuasa. Islam tidak mengenal, misalnya, puasa pati gĂȘni, dengan memantang makanan yang dimasak di atas api, puasa mutih, dengan memakan yang serba putih seperti nasi putih, dengan lauk garam yang putih dan minum air putih; dan puasa-puasa lain semacamnya.

Pendek kata puasa dalam Islam, sebagaimana ibadah-ibadah mahdah yang lain, sudah diatur secara tuntas sedemikian rupa oleh Islam sehingga tidak perlu ditambah-tambah, dikurangi atau diubah-ubah. Puasa dalam Islam tidak dimaksudkan untuk mempersulit manusia. Karena itu kita tidak usah mempersulit diri. Kerjakanlah puasa itu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Islam agar, setidak-tidaknya, secara formal, puasa kita bisa dikatakan sah.

Namun perlu diingat bahwa keabsahan puasa secara formal itu tidak menjamin bahwa puasanya berhasil. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan bahwa banyak orang berpuasa tetapi hasilnya cuma lapar dan dahaga saja. Ini berarti puasa tidak hanya bersifat fisik material, atau sekedar mencegah makan dan minum dan keinginan fisik material lainnya pada saat antara terbit fajar hingga matahari terbenam. Ada hal lain yang perlu dicegah dan dikekang pada saat berpuasa itu. Orang berpuasa harus mengekang diri untuk tidak berbuat maksiyat. Tidak boleh berbohong, menipu, mencuri, mengunjingkan aib orang, melihat atau mendengarkan hal-hal yang tidak senonoh, dan sebagainya. Bahkan bila ada orang mengajak bertengkar, menurut Nabi, orang yang berpuasa seharusnya mengatakan, “Maaf, saya sedang berpuasa.”

Semua hal buruk yang non-fisik dan immaterial yang harus dicegah oleh orang berpuasa itulah yang diistilahkan sebagai hawa nafsu. Memang mengekang hawa nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan jauh lebih berat daripada berperang secara fisik. Tetapi justeru itulah yang harus dilakukan bila orang ingin sah puasanya secara fisik material maupun secara immaterial. Pendek kata, meminjam kata-kata alm. Prof. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, orang berpuasa adalah seperti malaikat dalam ujud manusia. Dia tidak hanya diwajibkan mengekang dari segala hal yang bersifat fisik material agar puasanya tidak batal, tetapi dia harus “mematikan sama sekali” semua nafsu buruknya yang menjurus kepada kemaksiyatan.

Bila hal-hal yang bersifat fisik material dan immaterial atau hawa nafsu itu benar-benar dijaga oleh orang yang sedang berpuasa, maka insyaallah puasanya akan benar-benar dikabulkan oleh Allah swt. Dengan perkataan lain, dia telah lulus dalam pelatihan tahunan itu. Dan sesuai dengan janji Allah, dia akan Dia ampuni segala dosa-dosanya. Dan lebih dari itu, sesuai dengan janji Allah pula, doa orang yang berpuasa juga akan selalu dikabulkan oleh Allah swt. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar