IBNU ‘ARABI DAN PEMIKIRANNYA*
Oleh Machnun Husein
Oleh Machnun Husein
Riwayat Hidup Singkat
Ibnu ‘Arabi, yang nama lengkapnya adalah Abu Bakr ibnu ‘Ali Muhyiddin al-Hatimi at-Ta‘i al-Andalusi, diahirkan di Murcia, Sepanyol Tenggara, pada tanggal 17 Ramadan 560 H/28 Juli 1165 M. Di wilayah Islam bagian timur khususnya, dia dikenal dengan julukan Syaikhul-Akbar (Doktor Maximus), sedangkan di Sepanyol sendiri dikenal dengan nama Ibnu Suraqah.[1]
Pendidikan agamanya diawali di tempat kelahirannya sendiri dengan belajar kepada dua orang wanita kudus, seorang di antaranya adalah Fatimah dari Kordoba.[2] Pada tahun 568 H/1172-3 M, ketika berumur 8 tahun, dia merantau ke Lisabon untuk belajar membaca Al-Qur’an dan mempelajari Hukum Islam kepada Syaikh Abu Bakr ibn Khalaf. Sesudah itu dia pindah ke dan menetap di Sevilla selama lebih kurang 30 tahun untuk melanjutkan pelajarannya di bidang Hukum Islam, disamping mempelajari Hadis, Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf. Dia juga mengunjungi beberapa kota lainnya di Sepanyol, di antaranya Kordoba di mana dia berkenalan akrab dengan Ibnu Rusyd yang kemudian menjadi qadi di kota tersebut. Selain itu, dia juga mengunjungi Tunisia, Fez dan Maroko.[3]
Di Tunisia, pada tahun 590 H/1194 M, dia mempelajari Kitab Khal‘an-Na‘lain [Melepas Dua Sepatu] karangan Ibnu Qassi, sebuah kitab yang oleh Ibnu Khaldun 150 tahun kemudian, dinilai berisi gagasan-gagasan bid‘ah dan sepantasnya dibakar atau dicuci bersih.[4] Penulis kitab ini adalah pendiri kelompok mistiko-politik, Muridun, yang terlibat dalam pemberontakan melawan penguasa-penguasa Al-Murabitun di Algrave, Portugal selatan, pada sekitar tahun 526 H/1130 M, tetapi dia sendiri dibunuh pada tahun 546 H/1150 M.[5]
Selain itu, Ibnu ‘Arabi diduga mempelajari juga kitab-kitab karangan Ibnu Masarrah dari Kordoba yang, kira-kira pada tahun 296 H/900 M, membicarakan cahaya yang menyucikan dan digolongkan sebagai aliran filsafat mistik [aliran Isyraqiyyah, Illuminisme].[6] Menurut Affifi, tasawuf jenis ini, yang juga dianut oleh Ibnu ‘Arabi, kurang disenangi baik di wilayah Islam barat dan Sepanyol maupun di Afrika Utara sehingga, menurut pendapatnya, bila Ibnu ‘Arabi menetap di Sepanyol mungkin dia akan mengalami nasib yang sama sebagaimana Ibnu Qassi yang dibunuh atau Ibnu Barrajan dan Ibnu ‘Arif yang mati diracun oleh Gubernur Afrika Utara, ‘Ali ibnu Yusuf, setelah dipenjara selama bertahun-tahun.[7]
Pada tahun 597 H/1201 M Ibnu ‘Arabi mendapatkan ilham untuk pergi haji ke Mekah. Hal ini, menurut Affifi, dilakukan selain sebagai kebiasaan bagi kebanyakan laki-laki saleh di wilayah barat juga didorong oleh kondisi keamanan di Sepanyol dan wilayah barat pada umumnya yang merupakan pusat kekacauan politik. Karena itu seusai menunaikan ibadah haji itu dia tidak kembali ke Sepanyol, melainkan menetap di Mesir bersama murid dan pembantu setianya, ‘Abdullah al-Habbasyi, meskipun di negara ini pun dia tidak luput dari ancaman maut dari orang-orang yang tidak menyukai faham tasawufnya.[8]
Satu hal yang menarik selama dia menjalankan ibadah haji itu adalah bahwa dia bertemu dengan seorang perempuan Persia yang mengagumkannya karena sangat cantik dan sangat pandai. Akhirnya dia menyusun syair-syair yang indah berjudul Tarjumanul-Asywaq [Penerjemahan Kerinduan] untuk mengekspresikan rasa kagum dan rindunya kepada perempuan tersebut, yang kemudian ditafsirkannya sendiri dengan pengertian mistik.[9]
Dari Mesir dia melanjutkan pengembaraannya ke Jerussalem, Mekah dan Hijaz untuk kedua kalinya, kemudian ke Aleppo dan Asia Kecil. Dan akhirnya dia menetap di Damaskus, Syria, hingga saat meninggalnya pada tahun 638 H/1240 M.[10]
Mengenai jumlah buku yang ditulisnya ternyata banyak sekali dan tidak ada seorang pun mengetahui jumlahnya yang pasti. Harun Nasution menyatakan lebih dari 200 buah,[11] sementara Duncan B. Macdonald dan Brockelmann menyebut sekurang-kurangnya ada 150 buah.[12] Jami dalam bukunya, Nafahat, menyebut jumlah lebih dari 500 buah sedangkan Ibnu ‘Arabi sendiri, menurut Prof. Browne dalam bukunya, Literary History of Persia, diperkirakan pernah menyebut 289 tulisannya dalam sebuah catatan yang ditulisnya pada tahun 632 H/1234 M.[13] Yang jelas, di antara buku-buku tersebut ada dua judul yang sangat terkenal, yaitu Futuhatul-Makkiyyah dan Fusul-Hikam.
Buku Futuhat mulai dikerjakan pada tahun 598 H di Mekah dan selesai tahun 635 H, kira-kira 3 tahun sebelum meninggal, sedangkan buku Fusus diselesaikannya pada tahun 628 H, kira-kira 10 tahun sebelum meninggalnya.[14] Menurut pengakuan penulisnya sendiri, buku Futuhat didiktekan oleh Allah melalui malaikat pembawa wahyu, sedangkan buku Fusus, yang terdiri dari 29 bab mengenai kenabian, diilhami oleh Nabi sendiri.[15]
Komentar-komentar mengenai kedua buku tersebut telah banyak ditulis orang, baik yang bernada setuju maupun menentang. Salah satu komentar ilmiah mengenai pemikiran Ibnu ‘Arabi, yang sekaligus memperkenalkannya ke Eropa tetapi sedikit diketahui oleh para pengkaji Tasawuf, adalah yang ditulis oleh Hendrik Samuel Nyberg berjudul Kleinere Schriften des Ibn ‘Arabi (Leiden, 1919).[16] Yang jelas, kedua buku tersebut sangat berpengaruh terhadap para tokoh Sufi yang muncul di kemudian hari, terutama di Persia, India dan Turki.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, ada tiga kelompok yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi: (1) kelompok Sufi, (2) ‘ulama’ dan ahli ma‘rifah dalam Syi‘ah, Imamiyyah maupun Isma‘iliyyah, dan (3) para penafsir dan pengupas ajaran Ibnu ‘Arabi sendiri yang merupakan pewaris-pewaris langsung dan pelanjut-pelanjut ajarannya.[17] Di antara para Sufi yang terpengaruh oleh pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah Jalaluddin ar-Rumi yang mengenal Ibnu ‘Arabi dan pemikirannya melalui Sadruddin al-Qunyawi, murid Ibnu ‘Arabi, dan yang kemudian menjadi teman dan pembantu dekat Ar-Rumi. Selain itu ‘Aziz Nasafi, Sa‘duddin Hamuyah, ‘Alaud-Daulah Simnani, Hafiz, Sa‘di, Frakhruddin ‘Iraqi yang menulis buku Lama‘at, Mahmud Syabistari yang menulis buku Gulzhan-i-raz, Syah Ni‘matullah Wali, pendiri Tarikat Ni‘matullahi di Persia dengan cabang-cabangnya di Pakistan dan negara-negara Islam lainnya, dan guru Sufi ‘Abdurrahman Jami yang kemudian diikuti oleh Safa-yi Isfahani.[18] Para ‘ulama’ Syi‘ah yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi, di antaranya adalah Sayyid Haydar Amuli, Ibnu Turkah yang menulis pengantar Fususul-Hikam dalam bukunya Tamhidul-Qawa‘id, Ibnu Abi Jumhur yang menulis buku Kitabul-Mujli sebagai komentator atas buku Fusus, Sadruddin Syirazi atau Mulla Sadrah yang memasukan filsafat Peripatetik dan Isyraqiyyah (Illuminisme) dengan ajaran ma‘rifat Ibnu ‘Arabi dalam bukunya Asfar, dan juga murid-murid Mulla Sadrah seperti Mulla Na‘ima Taligani, Mulla ‘Ali Nuri, Hajji Mulla Hadi Sabziwari, Mulla ‘Ali Zunuzi dan Aqa Muhammad Rida Qumsya’illah.[19] Sedangkan para penafsir dan pengupas ajaran Ibnu ‘Arabi dapat disebutkan a.l. Sadruddin al-Qunyawi, murid dan anak angkat Ibnu ‘Arabi sendiri, yang juga menulis buku-buku Nusus, Fukuk dan Miftahul-Ghaib, Hamzah Fanari, ‘Abdur Razaq Kasyani, Dawud Qasyari, ‘Ali Hamadani, As-Simnani, Bali Affandi dan Nablusi.[20] Di antara kira-kira 150 buah komentar atas buku Fusus terdapat 120 yang ditulis oleh komentator-komentator Persia;[21] hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pemikiran Ibnu ‘Arabi di negara tersebut.
Pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi juga berpengaruh di Indonesia, terutama di Acehh, melalui Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan juga Nuruddin ar-Raniri,[22] dan juga di Jawa, yang tertuang dalam faham manunggaling kawula-gusti (kesatuan antara manusia dan Tuhan) dari Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar yang terkenal karena kata-katanya, “iya ingsun iki Allah, endi si malih, mapan orana malih, saking ingsun iki” (ya saya inilah Allah, siapa lagi, sebab tidak ada lagi yang lain di samping saya ini).[23]
Dapat ditambahkan bahwa disamping adanya orang-orang yang mendukung, terdapat juga orang-orang yang menentang pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi ini. Yang terkanal di antara mereka adalah Ibnu Taimiyyah (1263-1328), yang bahkan menulis karangan khusus berjudul Ar-Raddu ‘ala Ibni ‘Arabi was-Sufiyyah yang berisi sanggahan dan penolakan total terhadap pemikiran-pemikiran tokoh Sufi tersebut dan tokoh-tokoh Sufi lainnya.[24] Dan, sebagaimana diketahui, pemikiran Ibnu Tamiyyah inilah yang kemudian diikuti oleh kebanyakan pemikir Muslim moderen hingga sekarang.
Pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi mencakup hampir semua permasalahan yang dibahas dalam filsafat,[25] tetapi inti pemikirannya terletak pada konsep atau faham Wahdatul-Wujud, yaitu faham yang didasarkan atas keesaan wujud Allah dan alam.[26] Pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam makalah ini disederhanakan rinciannya menjadi tiga masalah pokok: ketuhanan, alam dan manusia.
Pemikiran tentang Ketuhanan
Sebagai pengantar perlu dikemukakan tentang pendapat Ibnu ‘Arabi mengenai wujud dan kaitannya dengan faham wahdatul-wujud-nya. Menurut Ibnu ‘Arabi, pada hakikatnya wujud itu hanyalah satu, yaitu wujud Allah yang mutlak (al-wujudul-mutlaq) atau wujud yang universal (al-wujudul-kulli), yang merupakan realitas puncak dari semua yang ada.[27]
Namun pengertian wujud dan kemutlakannya itu ternyata tidak definitif. Wujud bisa berarti dalam konsep (al-wujud bil-ma‘nal-masdari) atau sebagai sesuatu yang ada (eksis) atau yang hidup (subsis).[28] Sedangkan kemutlakan wujud itu sendiri bisa mencakup 4 macam pengertian:
(1) mutlak dalam arti bahwa wujud itu tidak terbatas pada bentuk khusus apapun, melainkan umum pada semua bentuk;
(2) mutlak dalam arti bukan wujud dalam semua bentuk, melainkan wujud yang mentransendensikan semua bentuk;
(3) mutlak dalam arti bukan sebagai penyebab (‘illat) dari segala sesuatu, dan ini disebutnya sebagai wujud yang menghidupkan diri sendiri dan mutlak bebas; dan
(4) mutlak dalam arti Realitas dari segala realitas (haqiqatul-haqa’iq).[29]
Selain itu Ibnu ‘Arabi sendiri sering menyebut Wujud Mutlak itu sebagai “kebutaan” (al-‘Ama), “Titik Diakritik” (an-Nuqtah), “Pusat Lingkaran” (Markazud-Da’irah), atau metafora-metafora lain yang sulit dipahami.[30] Karena itulah banyak orang tidak mengetahui secara pasti apa yang dimaksud dengan pernyataan Ibnu ‘Arabi bahwa semua wujud itu adalah satu dan merupakan kesatuan mutlak. Yang jelas, dalam bukunya Fususul-Hikam dia menyatakan:
Kalaulah itu bukan karena penetrasi Tuhan, dengan melalui bentuknya, di dalam semua eksistensi, maka dunia ini mungkin tidak ada, persis seperti kalaulah itu bukan karena realitas-realitas universal yang dapat dipahami (al-Haqa’iqul-Ma‘qulatul-Kulliyyah), maka tentu tidak akan ada prediksi-prediksi (ahkam) tentang objek-objek yang eksternal.[31]
Jadi menurut Ibnu ‘Arabi semua yang kita ketahui hanya mempunyai eksistensi terbatas dan ini tidak mungkin berasal dari dirinya sendiri. Karena itu mesti ada Eksistensi Absolut yang menjadi sumber dari semua eksistensi yang terbatas,[32] dan Eksistensi Absolut itu tidak lain adalah Tuhan (Allah).
Perlu ditambahkan bahwa menurut Ibnu ‘Arabi, wujud dan eksistensi itu mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Eksistensi adalah species dari wujud. Segala sesuatu yang mempunyai wujud bisa dikatakan mempunyai eksistensi bila ia dimanifestasikan dalam salah satu di antara 4 tahapan atau tingkatan (’awalim atau maratib) wujud, yaitu (i) wujud di dunia eksternal (wujudusy-syai’ fi ‘ainih), (ii) wujud berakal (wujudusy-syai’ fil-‘ilm), (iii) wujud sesuatu dalam ucapan (wujudusy-syai’ fil-alfaz), dan (iv) wujud sesuatu dalam tulisan (wujudusy-syai’ fir-rusum).[33]
Menurut Ibnu ‘Arabi segala sesuatu yang mempunyai wujud, baik yang sementara maupun yang abadi, harus ada di dalam salah satu di antara empat tahapan tersebut. Bila tidak, maka ia bukan wujud. Tetapi di sini Ibnu ‘Arabi memberikan definisi yang membingungkan. Menurut rumusannya, bukan-wujud adalah:
(1) Sesuatu yang tidak mempunyai eksistensi dalam salah satu tingkatan wujud, atau non-eksistensi murni (al-‘adamul-mahd); atau
(2) Sesuatu yang ada dalam satu tingkatan wujud tetapi tidak ada dalam tingkatan lainnya; dan ini bisa berupa: (a) sesuatu yang hanya ada dalam pikiran sebagai ide atau konsep dan tidak mungkin ada dalam dunia eksternal; dan (b) sesuatu yang mungkin ada atau bahkan merupakan eksistensi, tetapi sebenarnya tidak ada di dunia eksternal.[34]
Mengenai Tuhan atau Allah, Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa Dia bukanlah Allah dalam agama yang oleh orang-orang dibayangkan menurut keinginan-keinginan mereka dan dari segi pahala dan siksa di akhirat nanti. Allah berada di atas semua itu dan bagaimana Dia sebenarnya, menurut pendapatnya, hanya dapat diketahui oleh orang Sufi pada puncak pengalaman spiritualnya.[35] Akan tetapi Allah atau Wujud Mutlak itu ber-tajalli atau menampakkan diri dalam tiga martabat:
(1) Martabat Ahadiyyah (Zatiyyah). Pada tingkatan ini wujud Allah merupakan Zat Mutlak dan mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat; karena itu Dia tidak dapat dipahami atau dikhayalkan.
(2) Martabat Wahidiyyah, Tajalli Zat atau Faid Aqdas (limpahan yang terkudus) di mana Allah melimpah melalui sifat dan asma’-Nya. Zat tersebut disebut Allah, Pengumpul atau Pengikat Sifat-sifat dan Asma’ yang Sempurna (al-Asma’ul-Husna). Di sini Ibnu ‘Arabi, sebagaimana mazhab Mu‘tazilah, mengidentikkan sifat dan asma’ ini dengan zat Allah (‘ainuz-zat) tetapi, pada saat yang sama, berbeda dengan Mu‘tazilah, karena dia menyebut sifat dan asma’ ini sebagai hakikat alam empirik (a‘yanus-sabitah), yang juga disebutnya sebagai proses ta‘ayyunul-awwal (kenyataan pertama) yang berupa wujud potensial.
(3) Martabat Tajalli Syuhudi atau Faid Muqaddas (limpahan kudus), yang juga disebutnya sebagai ta‘ayyunus-sani (kenyataan kedua). Pada tingkatan ini Allah ber-tajalli melalui asma’ dan sifat-Nya dalam kenyataan empirik atau kenyataan aktual; dan ini terjadi melalui firman-Nya dalam QS. 36:82 yang berbunyi “Kun” (Jadilah!).[36]
Dari uraian tersebut dapat dibuat rangkuman mengenai tajalli Allah seperti denah berikut ini:
MARTABAT AHADIYYAH
(Allah tidak dapat dipahami atau dibayangkan)
↓
MARTABAT WAHIDIYYAH
(Wujud potensial dalam asma’ dan sifat zatiyyah)
↓
KUN → MARTABAT TAJALLI SYUHUDI
(Wujud aktual dalam berbagai wujud dan bentuk yang tiada akhir)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya semua wujud aktual atau kenyataan empirik ini merupakan manifestasi (mazhar) dari asma’ dan sifat-sifat Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi sendiri dalam bukunya Fususul-Hikam:
ﻥﺤﻧﻭ ، ﻩﺩﻭﺠﻭ ﺎﻧ ﺩﻮﺟﻭﻓ ﻒﺼﻭﻠﺍﻚﻟﺫ ﴾ﺖ ﺎﻗﻮﻟﺨﻣﻟﺍ﴿ ﻦﺤﻧ ﺎﻧﻜ ﻻﺇ ﻒﺻﻭﺒ ﺎﻧﻔﺻﻮ ﺎﻣﻓ
[37]ﻪﺴﻔﻧﻠ ﻩﺭﻭﻬﻅ ﺙﻴﺣ ﻥﻣﺎﻧﻴﻟﺇﺭﻘﺘﻔﻤﻭﻫﻭ ﺎﻧ ﺪﻭﺠﻭ ﺙﻴﺣ ﻥﻣ ﻪﻴﻟﺇ ﻥﻭﺭﻗﺗﻔﻣ
Dalam bukunya Futuhatul-Makkiyyah, Ibnu ‘Arabi juga menyatakan:
[38]ﺎﻬﻧﻴـﻋﻭﻫﻮﺀﺂﻴﺷﻷﺍ ﻖﻠﺧ ﻥﻣ ﻥﺎﺤﺒﺳ
Ini berarti bahwa Tuhan dan alam, walaupun alam merupakan ciptaan-Nya, merupakan dua sisi atau wajah dari hakikat yang sama: dari segi lahiriahnya disebut alam dan dari segi batiniah atau hakikatnya disebut Tuhan. Atau dengan perkataan lain bahwa hakikat alam semesta ini (al-haqiqatul-kulliyyah) mempunyai dua sisi sekaligus: (1) Al-Haqq (Tuhan), yang Esa, Qadim, Batin dan Awwal, dan (2) Al-khalq (Makhluk), yang banyak, baru, lahir dan akhir.
Pemikiran tentang Alam
Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa alam semesta, meskipun merupakan ciptaan Allah, adalah manifestasi (mazhar) dari asma’ dan sifat-sifat Allah yang ber-tajalli di dalamnya. Dan ini merupakan proses yang berjalan secara terus-menerus tanpa kesudahan melalui firman-Nya, “Kun” (Jadilah!).
Menurut Ibnu ‘Arabi, tujuan penciptaan alam atau tajalli Allah dalam alam ini adalah agar Allah dapat dikenali lewat asma’ dan sifat-sifat-Nya. Dan pendapatnya ini didasarkan atas sebuah hadis qudsi yang berbunyi:
[39]ﻲﻧﻮﻔﺭـﻋ ﻪﻴﻔ ﻕﻠﺨﻠﺍﺖﻘﻠﺨﻔ ﻒﺭـﻋﺃﻥ ﺃ ﺖﺒﺒﺣﺄﻔ ﺎﻴﻔﺧﻣ ﺍﺯﻧﻜ ﺖﻧﻛ
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa tanpa adanya alam ini asma’ dan ifat-sifat Allah akan kehilangan makna dan akan tetap merupakan citra akali (suwarun ‘aqliyyah) dalam zat yang, pada gilirannya, zat itu akan tetap dalam kemujarradannya dan tidak dapat dikenal oleh siapapun. Di sinilah, menurut Ahmad Daudy, terletak urgensinya wujud alam sebagai manifestasi kehendak Ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang mutlak terjelma dalam berbagai bentuk empirik yang terbatas (as-suwarul-hissiyatul-mahdudah).[40]
Sejalan dengan pendapat Ahmad Daudy ini, Annemarie Schimmel melukiskan hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya ini dengan menyatakan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam Kesendirian-Nya dan … [sesuai dengan hadis tersebut di atas] menghasilkan penciptaan sebagai pencerminan dari tajalliyat-Nya atau pengejawantahan-Nya.[41] Lebih lanjut dia menulis:
“Tuhan yang duka” menjadikan bereksitensinya segala sesuatu yang bernama demi kedukaan purba nama-nama ilahi. Kehausan yang tak terhingga dari Tuhan yang duka, dengan cara tertentu, terpantulkan pada kehausan yang tak terhingga dari ciptaan-ciptaan-Nya, yang rindu akan pulang ke tumah. … atau ciptaan yang mungkin dapat dibandingkan dengan artikulasi … – “nafas” dari Tuhan, yang dihembuskan kedalam tubuh Adam atau Maria untuk mencipta suatu makhluk baru” Hakikat Sejati [Allah] seolah-olah menahan “nafas” sampai tidak tertahankan lagi – dan dunia tampil sebagai nafas ar-rahman. Seperti dalam pernapasan, begitu pula alam semesta dicipta dan dihapuskan setiap saat; alam semesta dikembalikan ke asalnya yang transenden seperti nafas dikembalikan ke paru-paru.[42]
Mengenai alam ini, Ibnu ‘Arabi membedakannya dalam 4 macam, yaitu (1) alam jabarut, di mana ditempatkan sabda Ilahi dan daya rohani, (2) alam misal, tempat terjadinya eksistensialisme, sebagai lapisan yang diraih oleh himmah dan doa-doa para wali agar enerji rohani mereka bebas dan mengubah kemungkinan menjadi keberadaan yang aktual, (3) alam malakut, dunia malaikat, (4) nasut, atau alam manusia.[43] Namun, meskipun terdapat 4 macam alam tersebut, menurut Ibnu ‘Arabi, kesemuanya berasal dari apa yang disebutnya Haqiqah Muhammadiyyah, yaitu akal ilahi yang merupakan wadah ber-tajalli-nya Allah untuk pertama kalinya pada tingkat atau tahapan Ahadiyyah. Dan istilah ini sama dengan Akal Pertama menurut para filosuf, Pencipta Pertama (Al-Mubdi’ul-Awwal) menurut Syi‘ah Isma‘iliyyah, atau Akal Universal menurut Plotinus. Ibnu ‘Arabi mengambilalih istilah-istilah tersebut dan mengubahnya menjadi Ummul-Kitab, Al-Qalamul-A‘la, Nurul-Muhammadi dan Haqiqah Muhammadiyyah; dan semuanya itu disebutnya sebagai Ta‘ayyunul-Kulliyyah.[44] Di antara hadis-hadis yang dijadikan alasan untuk menguatkan pendapatnya ini adalah sebagai berikut:
ﺙﻌﺑﻟﺍ ﻰﻓ ﻢﻫﺭﺨﺁﻭ ﻕﻟﺨﻠﺍ ﻰﻓ ﺱﺎﻧﻠﺍ ﻝﻭﺃ ﺎﻧﺃ –
ﻯﺭﻭﻧ ﷲﺍ ﻖﻟﺧ ﺎﻣ ﻞﻭﺃ –
[45]ﻥﻴﻃﻠﺍﻭ ﺀﺂﻣﻟﺍ ﻥﻳﺒ ﻢﺪﺁﻭ ﺎﻳﺒﻧﺖﻧﻛ –
Namun hadis-hadis tersebut selain ada yang tidak sahih, juga tidak menunjukkan pengertian Nur Muhammad atau Haqiqah Muhammadiyyah seperti tersebut di atas, melainkan sekedar mengacu pribadi Nabi Muhammad saw. Sebenarnya pengertian ini pun dibenarkan juga oleh Ibnu ‘Arabi dalam bukunya Fususul-Hikam ketika membicarakan keutamaan pribadi Nabi Muhammad saw., di mana dia mengatakan:
[46]ﺎﻴﺒﻧ ﻥﺎﮑﻔ ﻡﺘﺧﻮﺮﻣﻷﺍ ﻪﺒ ﻯﺪﺒﺍﺫﻬﻠﻮ ٠٠٠
Akan tetapi dalam hal ini rupanya Ibnu ‘Arabi mengikuti kedua pendapat dan pengertian tersebut sama seperti Al-Hallaj, pendahulunya, yang juga berpendapat bahwa Haqiqah Muhammadiyyah itu ada dua macam: (1) nur yang pertama, yang telah ada sebelum adanya alam, dan (2) Nabi Muhammad saw. sendiri. Pendapat kembar seperti ini juga dikenal di kalangan Syi‘ah, baik Imamiyyah maupun Isma‘iliyyah. Pendapat ini juga ada kemiripannya dengan pendapat kalangan Neoplatonis serta para filosuf Yahudi dan Kristen. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim Hilal, dalam hal ini Ibnu ‘Arabi mengambil dua sumber sekaligus: kalangan Sufi dan filosuf Muslim dan kalangan filosuf bukan-Muslim.[47] Mengenai hal ini akan disinggung lagi dalam pembicaraan tentang pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang manusia.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam ini didorong oleh kehendak Ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak melalui berbagai bentuk empirik yang terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam kesendirian-Nya, meminjam kata-kata Annemarie Schimmel. Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, maka tajalli asma’ dan sifat-sifat Allah itu tidak dapat tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy, alam ini ibarat cermin yang belum diasah dan merupakan badan tanpa roh, sehingga Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan menyeluruh. Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung citra Allah itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia; sebab manusialah yang dapat menampung sifat-sifat jamal dan jalal-Nya.[48]
Pemikiran tentang Manusia
Mengenai manusia, Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi tempat tajalli Allah bukanlah sembarang manusia melainkan Manusia Sempurna (Insan Kamil), yaitu manusia yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurut Ibnu ‘Arabi, Nur atau Ruh Muhammad merupakan tajalli Ilahi yang paling sempurna dan ia dicipta sebelum alam ini. Ia mempunyai dua jalur hubungan atau fungsi: (1) dengan alam sebagai asas penciptaan alam atau logos dan (2) dengan manusia sebagai hakikat manusia, yaitu manusia sempurna (Insan Kamil).[49] Dengan demikian Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad itu[50] merupakan cikal bakal dan yang sekaligus menjelma dalam alam semesta, disamping memanifestasikan dirinya dalam manusia. Atau dengan perkataan lain, bahwa alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos sama-sama berasal dari Haqiqah Muhammadiyyah atau logos tersebut.
Dalan kaitan ini Seyyed Hossein Nasr menyatakan:
Since the universe is the “body” of the logos, and since the Logos also manifests itself microcosmically in man, the gnostic gains greater intimacy with the universe, the more he becomes integrated into the luminous source of his own being. In principle, the body of man is microcosm contains in miniature the universe, viewed as the macrocosm. Moreover, the Principle which lies at the center of man’s being is that same Intellect [Logos] “out of which all things are made.” That is why the gnostics believe that the best way to know Nature in its essence, rather in the details, in the purification of one’s self until one’s being becomes illuminated by the Intellect. Having thus reached the center, the gnostic has, in principle, the knowledge of all things.[51]
Dari kutipan tersebut terlihat jelas bahwa manusia dan alam semesta berasal dari Haqiqah Muhammadiyyah atau Logos yang sama, dan bahkan manusia merupakan miniatur dari alam semesta itu, sehingga cara yang terbaik untuk mengetahui alam semesta adalah menyucikan jiwa sehingga wujudnya dipersatukan oleh Logos tersebut. Dari kutipan tersebut juga dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Haqiqah Muhammadiyyah tidak identik dengan pribadi Nabi Muhammad saw., walaupun diakuinya bahwa beliau, dilihat dari sisi hakikatnya, adalah juga Logos itu. Selain itu, beliau juga diakui sebagai Manusia Sempurna (Insan Kamil) yang par excellence, sebagai khatamun-nabiyyin, dan karena itu menyatu dalam dirinya semua aspek kenabian.[52] Dengan perkataan lain, selain diakui sebagai Logos yang menjadi asas penciptaan alam dan manusia, Nabi Muhammad saw, juga diakui sebagai Insan Kamil yang maha sempurna.
Mengenai nabi-nabi selain Muhammad saw., oleh Ibnu ‘Arabi melalui konsep Haqiqah Muhammadiyyah yang kemudian diikuti oleh al-Jilli, juga dikatakan sebagai aspek-aspek dari logos universal yang sama, yaitu Haqiqah Muhammadiyyah itu. Bahkan lebih dari itu, setiap pendiri agama dan kemajemukan agama-agama itu sendiri juga diakui sebagai hasil langsung dari kekayaan Wujud Allah yang tidak terhingga.[53] Itulah yang dikenal dengan ajaran tentang keuniversalan wahyu atau Transcendent Unity of Religions [Wahdatul-Adyan].
Dalam Futuhatul-Makkiyyah Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Ketahuilah bahwa ketika Tuhan Yang Maha Mulia mencipta makhluk-makhluk Dia mencipta mereka bermacam jenis dan pada setiap jenis makhluk Dia letakkan yang paling baik dan paling terpilih di antara yang terbaik. Inilah orang-orang mu’min. Dan Dia memilih di antara sekalian orang mu’min itu orang-orang terpilih, yaitu wali-wali, dan dari yang terpilih ini Dia pilih yang inti-inti. Inilah Nabi-nabi (anbiya’). Dan dari inti-inti ini Dia pilih bagian yang paling baik dan merekalah nabi-nabi yang membawa Hukum Ilahi. …[54]
Ketahuilah bahwa ketika Tuhan Yang Maha Mulia mencipta makhluk-makhluk Dia mencipta mereka bermacam jenis dan pada setiap jenis makhluk Dia letakkan yang paling baik dan paling terpilih di antara yang terbaik. Inilah orang-orang mu’min. Dan Dia memilih di antara sekalian orang mu’min itu orang-orang terpilih, yaitu wali-wali, dan dari yang terpilih ini Dia pilih yang inti-inti. Inilah Nabi-nabi (anbiya’). Dan dari inti-inti ini Dia pilih bagian yang paling baik dan merekalah nabi-nabi yang membawa Hukum Ilahi. …[54]
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa menurut Ibnu ‘Arabi, para wali berada dalam kedudukan yang setingkat dengan para nabi dan, tentunya, termasuk dengan Nabi Muhammad saw. sendiri. Karena itu cukup mengherankan bila, seperti sudah dikemukakan sebeluimnya, tiba-tiba Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. juga merupakan Logos atau Haqiqah Muihammadiyyah yang merupakan asas penciptaan dan karena itu lebih tinggi daripada para wali. Barangkali di sini terselip kekhawatiran atau bahkan ketidakberanian Ibnu ‘Arabi untuk menghadapi tantangan atau serangan umat Muslim, bila Nabi Muhammad saw. hanya ditempatkan sejajar dengan atau bahkan termasuk di antara para wali.
Dalam buku yang sama, Ibnu ‘Arabi juga menyebut adanya tingkatan-tingkatan wali yang secara berurutan dari atas ke bawah sebagai berikut: qutb, ghaus atau imam dalam tradisi Syi‘ah, nuqaba’, autad, abrar, abdal dan akhyar. Bahkan dia mengatakan bahwa ada tujuh orang abdal yang masing-masing akan muncul setiap tujuh musim.[55]
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa, meskipun siklus kenabian yang membawa Hukum Ilahi telah berakhir dengan lahirnya Nabi Muhammad saw., nabi-nabi lain dan wali-wali dengan berbagai tingkatannya, menurut Ibnu ‘Arabi, masih akan tetap ada.
Satu hal yang menarik untuk diungkapkan dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang manusia adalah penilaiannya tentang perempuan. Dia tidak hanya menyatakan bahwa cinta perempuan merupakan milik kesempurnaan ma‘rifat, karena merupakan warisan dari Nabi Muhammad saw. dan bersifat ilahi, tetapi juga menganggap perempuan sebagai pengungkapan rahasia Allah yang Maha Penyayang dan sekaligus, dengannya, dia memberi corak feminin kepada Allah. Dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Jalaluddin ar-Rumi dalam Masnawi-nya, Ibnu ‘Arabi menyatakan:
Allah tidak bisa dilihat terlepas dari benda. Ia kelihatan lebih nyata pada benda manusia daripada benda-benda lain, dan kelihatan lebih sempurna lagi pada wanita daripada pada pria. … Tuhan yang terwujud dalam bentuk wanita adalah penyebab dengan kekuasaan untuk melaksanakan pengaruh sepenuhnya atas jiwa manusia dan menyebabkan manusia sepenuhnya menurut dan menghamba Diri-Nya sendiri, dan Ia pun sebagai penerima akibat karena sejauh Ia tampil dalam bentuk wanita Ia pun berada dalam penguasaan manusia dan harus menurut perintahnya. Jadi, melihat Tuhan dalam arti wanita berarti melihat-Nya dalam kedua segi ini, dan pandangan semacam itu lebih sempurna dibandingkan dengan melihat-Nya dalam segala bentuk lain yang merupakan perwujudan-Nya.[56]
Karena itu Ibnu ‘Arabi tanpa ragu-ragu mengakui bahwa ada kemungkinan perempuan terdapat di antara para abdal yang berjumlah empat puluh atau tujuh dalam peringkat para wali itu.[57] Barangkali pendapatnya ini ada benarnya juga sebab, seperti dikatakan oleh Margaret Smith dalam bukunya, Rabi‘a the Mystic and her Fellow-Saints in Islam (1928), wali pertama dalam Islam adalah seorang perempuan, yaitu Rabi‘ah al-Adawiyyah.[58]
Penutup
Secara singkat dan sederhana telah ditampilkan sosok Ibnu ‘Arabi beserta pemikiran-pemikiran pokoknya dalam makalah ini. Berbagai keterbatasan pada penyaji makalah, menyebabkan belum sempurnanya makalah ini. Karenanya dengan ucapan terima kasih, penyaji makalah mengharapkan kritik dan masukan dari para peserta diskusi ini.***
BAHAN BACAAN
Affifi, A. E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, cet. I, 1989.
Ahmad Daudy, Dr. M. A. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Jakarta: CV Rajawali Pers, cet. I. 1983.
Drewes, G. W. J. An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff, 1978.
Gazur i-llahi, Syaik Ibrahim. Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj: “Ana’l-Haqq”, terj. Hr. Bandaharo dan Joebaar Ajoeb. Jakarta: CV Rajawali Pers, cet. I, 1986.
Harun Nasution, Prof. Dr. Falsafat & Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, cet. VI, 1989.
Hilal, Ibrahim, Dr. At-Tasawwuful-Islami bainad-Din wal-Falsafah. Qahirah: Darun-Nahdatil-‘Arabiyyah, 1979.
Hitti, Philip K. Islam, A Way of Life. Chicago: Henry Regnery Company, 1970.
Khan, Khan Sahib Khaja Khan, B. A. Cakrawala Tasawuf, terj. Achmad Nashir Budiman. Jakarta: CV Rajawali Pers, cet. I, 1987.
Macdonald, Duncan B., M. A., B. D. Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory. New York: Charles Scribner’s Sons, 1903.
Majid Fakhry. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, second edition, 1983.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. New York, Toronto, London: New American Library, 1970.
––––– Islamic Life and Thought. Albany: State University of New York Press, 1981.
––––– Islam dan Nestapa Manusia Moderen, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, cet. I, 1983.
––––– Tasauf, Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. I. 1985.
Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. London & Boston: Routledge and Kegan Paul, 1963.
Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet. I, 1989.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et. el. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. I, 1986.
Simuh, Dr. “Kehidupan Tasawwuf dalam Masyarakat Indonesia.” Makalah pada Kajian ke-4, Pusat Pengkajian Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (PPI UMS), 4 Juni 1988.
Smith, Wilfred Cantwell. Modern Islam in India. New Delhi: Usha Publications, 1946; reprint edition, 1979.
Turabian, Kate L. A Manual for Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations. Chicago & London: University of Chicago Press, 4th edition, 1973.
Voll, John Obert. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Boulder, Colo.: Westview Press, Inc., 1982.
CATATAN:
*Makalah disampaikan dalam Diskusi “Kajian Tokoh-tokoh Pemikir Muslim dan Pemikirannya”, Lembaga Studi Ilmu Sosial dan Keagamaan (LESISKA), Yogyakarta, 9 Desember 1989.
[1]A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. Ke-1, 1989), hlm. 1; H. A. R. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1974), hlm. 146.
[2]Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et. el. (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-1, 1986), hlm. 272,
[3]Affifi, ibid.; Gibb dan Kramers, ibid.
[4]Schimmel, ibid.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Schimmel, ibid., Affifi, ibid., hlm. 2. dan Ibrahim Hilal, At-Tasawwuful-Islami bainad-Din wal-Falsafah (Qahirah: Darun-Nahdatil-‘Arabiyyah, 1979), hlm. 123 dan 130.
[8]Affifi, ibid.
[9]Schimmel, ibid.
[10]Affifi, ibid.
[11]Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-6, 1989), hlm. 92.
[12]Affifi, ibid., hlm. 3, dan Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), hlm. 261.
[13]Affifi, ibid.
[14]Ibid., hlm. 4.
[15]Schimmel, ibid., hlm. 273.
[16]Ibid., catatan kaki 11.
[17]Sayyid Husein Nasr, Tasauf: Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi W.M. (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-1, 1985), hlm. 112-7.
[18]Ibid., hlm. 112-4.
[19]Ibid., hlm. 114-6.
[20]Ibid., hlm. 116-7.
[21]Ibid., hlm. 116 n.
[22]Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Jakarta: CV Rajawali, cet. I, 1983), hlm. 74.
[23]G. W. J. Drewes, An Early Javanese Code of Muslim Ethics (The Hague: Martinus Nijhoff, 1978), hlm. 46-7; dan Simuh, “KehidupanTasawuf dalam Masyarakat Indonesia,” makalah pada Kajian ke-4, Pusat Pengkajian Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (PPI UMS), tgl. 4 Juni 1988, hlm. 12.
[24]Schimmel, ibid., hlm. 281 n.
[25]Disertasi A. E. Affifi yang sudah diacu sebelumnya barangkali merupakan salah satu acuan yang paling lengkap mengenai pemikiran-pemikiran tokoh Sufi ini.
[26]Ahmad Daudy, ibid.
[27]Ibid.; dan Affifi, ibid., hlm. 13.
[28]Affifi, ibid.
[29]Ibid., hlm. 14.
[30]Ibid., hlm. 14-5.
[31]Ibid., hlm. 15.
[32]Ibid., hlm. 14-5.
[33]Ibid., hlm. 20
[34]Ibid., hlm. 20 dan 23.
[35]C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Ed. I, 1988), hlm. 109.
[36]Ahmad Daudy, ibid., hlm. 74-5.
[37]Ibid., hlm. 76.
[38]Ibid.
[39]Ibid., hlm. 78.
[40]Ibid.
[41]Schimmel, ibid., hlm. 277.
[42]Ibid.
[43]Ibid., hlm. 278.
[44]Ibrahim Hilal, ibid., hlm. 214.
[45]Ibid., hlm. 215.
[46]Ibid., hlm. 216.
[47]Ibid., hlm. 216-7.
[48]Ahmad Daudy, ibid., hlm. 78-9.
[49]Ibid., hlm. 186.
[50]Ibnu ‘Arabi mempergunakan tidak kurang dari 22 macam istilah untuk menggambarkan Haqiqah Muhammadiyyah ini, 18 macam di antaranya disebutkan oleh Affifi dalam diserasinya. Lihat Affifi, ibid., hlm. 99-100 n.
[51]S. H. Nasr, Science an Civilization in Islam (New Yorkm Toronto, & London: New American Library, 1st printing, 1970), hlm. 339.
[52]Ibid., hlm. 340.
[53]Nasr, Tasauf …, ibid., hlm. 176-7.
[54]Ibid., hlm. 176.
[55]Schimmel, ibid., hlm. 204.
[56]Ibid., hlm. 448-9.
[57]Ibid., hlm. 449.
[58]Ibid., hlm. 442.
*Makalah disampaikan dalam Diskusi “Kajian Tokoh-tokoh Pemikir Muslim dan Pemikirannya”, Lembaga Studi Ilmu Sosial dan Keagamaan (LESISKA), Yogyakarta, 9 Desember 1989.
[1]A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. Ke-1, 1989), hlm. 1; H. A. R. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1974), hlm. 146.
[2]Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et. el. (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-1, 1986), hlm. 272,
[3]Affifi, ibid.; Gibb dan Kramers, ibid.
[4]Schimmel, ibid.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Schimmel, ibid., Affifi, ibid., hlm. 2. dan Ibrahim Hilal, At-Tasawwuful-Islami bainad-Din wal-Falsafah (Qahirah: Darun-Nahdatil-‘Arabiyyah, 1979), hlm. 123 dan 130.
[8]Affifi, ibid.
[9]Schimmel, ibid.
[10]Affifi, ibid.
[11]Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-6, 1989), hlm. 92.
[12]Affifi, ibid., hlm. 3, dan Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), hlm. 261.
[13]Affifi, ibid.
[14]Ibid., hlm. 4.
[15]Schimmel, ibid., hlm. 273.
[16]Ibid., catatan kaki 11.
[17]Sayyid Husein Nasr, Tasauf: Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi W.M. (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. Ke-1, 1985), hlm. 112-7.
[18]Ibid., hlm. 112-4.
[19]Ibid., hlm. 114-6.
[20]Ibid., hlm. 116-7.
[21]Ibid., hlm. 116 n.
[22]Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry (Jakarta: CV Rajawali, cet. I, 1983), hlm. 74.
[23]G. W. J. Drewes, An Early Javanese Code of Muslim Ethics (The Hague: Martinus Nijhoff, 1978), hlm. 46-7; dan Simuh, “KehidupanTasawuf dalam Masyarakat Indonesia,” makalah pada Kajian ke-4, Pusat Pengkajian Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (PPI UMS), tgl. 4 Juni 1988, hlm. 12.
[24]Schimmel, ibid., hlm. 281 n.
[25]Disertasi A. E. Affifi yang sudah diacu sebelumnya barangkali merupakan salah satu acuan yang paling lengkap mengenai pemikiran-pemikiran tokoh Sufi ini.
[26]Ahmad Daudy, ibid.
[27]Ibid.; dan Affifi, ibid., hlm. 13.
[28]Affifi, ibid.
[29]Ibid., hlm. 14.
[30]Ibid., hlm. 14-5.
[31]Ibid., hlm. 15.
[32]Ibid., hlm. 14-5.
[33]Ibid., hlm. 20
[34]Ibid., hlm. 20 dan 23.
[35]C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Ed. I, 1988), hlm. 109.
[36]Ahmad Daudy, ibid., hlm. 74-5.
[37]Ibid., hlm. 76.
[38]Ibid.
[39]Ibid., hlm. 78.
[40]Ibid.
[41]Schimmel, ibid., hlm. 277.
[42]Ibid.
[43]Ibid., hlm. 278.
[44]Ibrahim Hilal, ibid., hlm. 214.
[45]Ibid., hlm. 215.
[46]Ibid., hlm. 216.
[47]Ibid., hlm. 216-7.
[48]Ahmad Daudy, ibid., hlm. 78-9.
[49]Ibid., hlm. 186.
[50]Ibnu ‘Arabi mempergunakan tidak kurang dari 22 macam istilah untuk menggambarkan Haqiqah Muhammadiyyah ini, 18 macam di antaranya disebutkan oleh Affifi dalam diserasinya. Lihat Affifi, ibid., hlm. 99-100 n.
[51]S. H. Nasr, Science an Civilization in Islam (New Yorkm Toronto, & London: New American Library, 1st printing, 1970), hlm. 339.
[52]Ibid., hlm. 340.
[53]Nasr, Tasauf …, ibid., hlm. 176-7.
[54]Ibid., hlm. 176.
[55]Schimmel, ibid., hlm. 204.
[56]Ibid., hlm. 448-9.
[57]Ibid., hlm. 449.
[58]Ibid., hlm. 442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar