POLIGAMI
Oleh Begum Aisha Bawany
Poligami [beristeri lebih dari seorang ] adalah pokok bahasan yang tanpa henti-hentinya dibicarakan oleh para orientalis. Mereka membahasnya dengan cara yang penuh prasangka dan cemoohan terhadap Islam dan kebencian mereka yang sangat mengakar terhadap lembaga [poligami] yang sebenarnya paling cerah dan menguntungkan ini dan yang dengannya Islam telah berhasil menyelamatkan masyarakat. Tidak perlu sama sekali berapologi untuk mengangkat ancangan paling berimbang terhadap hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan ini. Melalui lembaga ini Petunjuk Allah telah memberikan jalan tengah antara dua kutub saling berlawanan yang sama sekali tidak mengenal rasionalitas, kesopanan dan keadilan. Kutub pertama memanifestasikan dirinya dalam kehidupan tanpa menikah [celibacy atau tabattul] dan asketisisme seumur hidup dan bahkan pengingkaran sama sekali terhadap tuntutan-tuntutan sah dari nafsu jasmani. Dan kutub lainnya menampilkan dirinya dalam kehausan dan nafsu seksual yang tidak terkendali, sehingga menurunkan martabat manusia sampai ke tingkat binatang dan yang menyebabkan lenyapnya fitrah manusia sehingga sama sekali mengabaikan pertimbangan-pertimbangan tentang benar dan salah dan yang mengakibatkan timbulnya anarki seksual dan perubahan pemikiran dan nilai-nilai sama sekali.
Ancangan Islam terhadap hal ini paling seimbang dan rasional, dan hal itu didasarkan atas tuntutan-tuntutan moral, fisiologik maupun psikologik laki-laki dan perempuan.
Pertama, perlu dipahami bahwa mengambil isteri lebih dari seorang perempuan hanya diperbolehkan bukan diwajibkan. Dan kemudian izin ini diberikan kepada orang [laki-laki] yang yang dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya yang maksimal berjumlah empat orang itu.
Al-Qur’an menyatakan:
Nikahlah dengan perempuan-perempuan yang kamu pilih, dua, tiga atau empat orang; tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil [terhadap mereka], maka nikahlah dengan seorang perempuan saja. (QS. IV:3).
Marilah sekarang kita lihat bagaimana pendapat sebagian pemikir Barat mengenai lembaga [poligami] ini. Dr. Ny. Annie Besant, tokoh Gerakan Teosofi terkenal di Inggris, mengatakan:
Di Barat ada monogami pura-pura, tetapi [di sana juga] ada poligami yang sebenarnya tanpa tanggungjawab; “sang isteri” terusir keluar rumah bila orang laki-laki [suaminya] sudah bosan dengannya, dan secara berangsur-angsur dia tenggelam menjadi “perempuan jalanan” karena orang yang pertama kali mencintainya [suaminya] sama sekali tidak memiliki tanggungjawab bagi masa depannya dan dia seratus kali lebih jelek [nasibnya] dibandingkan dengan isteri dan ibu yang terlindung dalam rumah tangga poligami. Bila kita melihat ribuan perempuan malang yang di malam hari memenuhi jalan-jalan di kota-kota di Barat, kita harus menyadari bahwa hal itu tidak membohongi ucapan Barat untuk mencaci Islam karena poligami. Para perempuan lebih baik, lebih berbahagia dan lebih terhormat hidup dalam poligami, terikat dalam pernikahan hanya dengan seorang suami, dengan anak sah yang dilahirkannya dan digauli secara terhormat, daripada membiarkan diri dirayu oleh setiap laki-laki, berkeliaran di jalan-jalan barangkali dengan anak tidak sah yang lahir di luar hukum perkawinan – tidak terlindungi dan tidak terurus untuk dimangsa setiap orang lewat malam demi malam, menyebabkan dia tidak mampu menjalankan peran keibuannya, dan direndahkan oleh semua orang.”
Cermin bagi Barat
“Kamu dapat menemukan orang-orang lain,” kata Annie Besant dalam bukunya, The Life and Teachings of Muhammad, “yang menyatakan bahwa agama [Islam] itu jahat karena ia mengajarkan poligami terbatas. Tetapi kamu tidak mendengar kritik yang saya katakan di suatu hari di Balai Kota London di mana saya tahu bahwa yang hadir ketika itu sama sekali tidak memahami. Saya menegaskan kepada mereka bahwa monogami yang dicampur dengan pelacuran adalah kemunafikan dan lebih tercela dibandingkan dengan poligami terbatas. Lazimnya pernyataan seperti itu berarti serangan, tetapi hal itu terpaksa dikemukakan karena harus diingat bahwa hukum Islam yang terkait dengan masalah perempuan hingga sekarang, ketika beberapa di antaranya ditiru di Inggris, merupakan hukum yang paling adil, sejauh berkaitan dengan masalah perempuan, yang ada di dunia. Dalam hal harta, hak waris dan sebagainya, serta dalam hal perceraian, ia jauh melampaui hukum di Barat, sejauh mengenai hak-hak perempuan. Hal-hal itu dilupakan sementara orang-orang terpukau oleh kata-kata monogami dan poligami dan tidak melihat apa yang ada di balik itu di Barat – degradasi sangat mengerikan pada perempuan yang terbuang di jalan-jalan ketika para pelindung pertama [suami-suami] mereka, karena bosan dengan mereka, tidak lagi memberikan bantuan kepada mereka.
Dr. Annie Besant lebih lanjut mengatakan:
Saya sering berpikir bahwa perempuan lebih bebas dalam Islam daripada dalam Kristen. Perempuan lebih terlindungi oleh Islam daripada oleh agama yang mengajar monogami itu. Baru selama dua puluh terakhir ini saja Inggris yang Kristen mengakui hak perempuan untuk memiliki harta sendiri, sedangkan Islam sudah memberikan hak itu sepanjang sejarahnya ... [Karena itu] merupakan fitnah besar bila dikatakan bahwa Islam mengajarkan bahwa perempuan tidak memiliki jiwa.
Pemecahan Praktis
J. S. Clear McFarlane menulis dalam bukunya, The Case for Polygamy:
Apakah masalah [poligami] tersebut dilihat dari sisi sosial, etik maupun keagamaan, yang jelas dapat dikemukakan bahwa poligami tidak bertentangan dengan pembakuan-pembakuan peradaban yang paling tinggi sekalipun. ... Saran [untuk melaksanakan poligami] itu merupakan pemecahan praktis bagi persoalan perempuan yang malang dan diterlantarkan; yang pada gilirannya menimbulkan semakin merajalela dan meningkatnya pelacuran, pergundikan dan perawan tua yang senantiasa menjadi pergunjingan orang.
Masih banyak lagi pembahasan tidak terkendali dan kritik yang tidak bertanggungjawab terhadap lembaga poligami dalam Islam itu. Para pengeritik itu menganggap poligami sebagai kejahatan dan perbuatan terkutuk. Mereka mengatakan bahwa praktek yang “tidak bermoral” dan “menjijikkan” ini menyebabkan banyak ketidaktenteraman dalam kehidupan rumah tangga. Juga dikatakan bahwa poligami didorong oleh jiwa rendah orang laki-laki; ia dilakukan oleh orang laki-laki yang sama sekali tidak memiliki rasa sopan santun dan yang tidak memperdulikan tuntutan-tuntutan keadilan yang paling dasar sekalipun. Begitulah cara mereka mencari jalan untuk menyerang Islam dan Nabinya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pendapat-pendapat ini didasarkan atas gagasan-gagasan yang dangkal dan tidak sepenuhnya beralasan. Agama Kristen, dengan banyak alasan, bersifat dogmatik dalam penilaian jeleknya terhadap poligami. Lazimnya, sikap ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan Barat. Apakah sikap Barat ini berdasarkan nalar atau hanya berdasarkan prasangka semuanya akan jelas bila kita mengkaji masalah itu tanpa memihak dan secara objektif.
Marilah kita jelaskan lebih dahulu dari awal. Islam tidak menyuruh atau mewajibkan setiap laki-laki Muslim untuk beristeri lebih dari seorang. Islam hanya membolehkan poligami ini. Karena Al-Qur’an merupakan firman Allah yang terakhir sebagai petunjuk bagi ummat manusia sepanjang zaman, maka ia tidak dapat bersikap acuh tak acuh dan mengabaikan segala macam situasi dan kebutuhan manusia. Sebagaimana terlihat dari kajian kami, poligami memainkan peran sosial tersendiri pada saat situasi memerlukannya dan hal ini didukung oleh berbagai kondisi yang timbul pada masa kita sekarang dan bahkan terbukti dalam sejarah kita sekarang.
Sebenarnya Islam hanya mengakui ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai bentuk perkawinan yang ideal. Namun, dalam berbagai situasi tertentu Islam membolehkan orang laki-laki Muslim untuk menikah dengan lebih dari seorang isteri sampai sebanyak-banyaknya empat orang.
Karena lembaga [poligami] ini dimaksudkan untuk memenuhi tujuan sosial yang besar dalam masyarakat, ayat Al-Qur’an berikut ini dinilai sangat tegas maknanya. Ayat ini, bila kita baca dalam kaitannya dengan sejarah diturunkannya, menunjukkan fungsi sosial yang sangat penting dari poligami itu. Ayat tersebut menyatakan sebagai berikut:
Dan bila kamu khawatir bahwa kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahlah dengan perempuan-perempuan yang kamu nilai baik, dua, tiga, dan empat orang, tetapi bila tidak bisa berbuat adil terhadap mereka, maka nikahlah dengan seorang perempuan saja. (QS. VI:3)
Pernyataan dalam ayat ini diwahyukan pertama kali setelah Perang Uhud. Dalam pertempuran tersebut tujuh puluh di antara tujuh ratus laki-laki Muslim terbunuh. Karena itu persoalan sosial yang besar muncul yakni mengenai perlindungan terhadap para janda dan anak-anak yatim. Poligami pada saat itu merupakan lembaga yang sudah mapan di kalangan masyarakat dan sangat digemari masyarakat di negeri Arab. Sebagaimana diketahui, ayat ini tidak memperkenalkan konsep poligami untuk pertama kalinya, tetapi menunjukkan suatu pemecahan yang dinilai tepat terhadap persoalan tersebut – jadi poligami sudah ada sebagai suatu kebiasaan. Islam hanya memperbaharui dan mengatur lembaga itu, serta mengarahkan fungsi sosial dan kultural poligami itu dan menyuruh ummat Muslim untuk mengambil alternatif itu dalam rangka memecahkan masalah mereka. Selain itu Islam memberikan batas maksimal empat orang isteri dan menyuruh mereka untuk berbuat adil terhadap semua isteri itu. “Keadilan” adalah kondisi preseden, atau aturan yang tidak dapat dilanggar, yang dapat dipaksakan berlakunya sebagai kewajiban moral, dan dalam hal terjadi pelanggaran terhadapnya, bisa diajukan penyelesaiannya ke pengadilan.
Konteks ayat tersebut dan makna yang dikandungnya juga dengan sangat jelas menunjukkan manfaat sosial poligami itu, dan peranan besarnya dalam memecahkan berbagai penyakit masyarakat yang mungkin melandanya, sebagaimana diderita oleh masyarakat Barat yang Kristen (dan juga di dunia Komunis). Bukankah merupakan suatu fakta bahwa dunia sekarang tengah menghadapi masalah kelebihan perempuan. Di beberapa negara tertentu jumlah mereka sudah tidak proporsional lagi. Gagasan mengenai besarnya masalah ini dapat dilihat dari apa yang ditulis oleh Dr. Westermarck dalam bukunya, Future of Marriage in Western Civilization:
Bila kita memperhitungkan umur perkawinan antara dua puluh dan dua puluh lima tahun, proporsi yang tidak seimbang antara jumlah laki-laki dan perempuan setidak-tidaknya, dalam keadaan normal, menempatkan tiga atau empat persen jumlah perempuan pada kehidupan tanpa suami sebagai konsekuensi dari kewajiban bermonogami yang kita terapkan.
Pandangan ini dikuatkan oleh suatu hasil kajian tentang distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin di beberapa negara Barat. Namun situasi tersebut semakin membengkak pada masa pasca perang. Data statistik berikut ini, yang dikutip dari pers Inggris, menunjukkan:
“Lebih dari tiga juta perempuan di Inggris hidup sendiri dan tidak ada harapan untuk bisa mendapatkan suami, anak atau rumah tangga yang mapan. Kelebihan jumlah perempuan secara berangsur-angsur meningkat pada abad yang lalu. Pada bulan September 1939, ada kelebihan 2.818.343 orang perempuan di atas jumlah laki-lakinya di Inggris. Sekarang dengan berakhirnya perang yang menelan korban sekitar 3.000.000 orang laki-laki dan ribuan lainnya yang cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin bisa meningalkan tempat tidur mereka. Bagaimanakah masa depan ribuan perempuan dan gadis yang telah kehilangan suami dan tunangan mereka, merupakan salah satu persoalan pasca-perang bagi Inggris,” demikian laporan seorang wartawan perempuan Sunday Chronicle.
“Seandainya setiap laki-laki memutuskan untuk memperisteri seorang perempuan, diperkirakan masih ada sekitar 4 juta orang perempuan yang tidak mendapatkan suami.”
Berkurangnya jumlah laki-laki ternyata tidak hanya terdapat di Inggris. Amerika memiliki 12 juta perempuan lajang berbanding dengan 9 juta laki-laki yang belum beristeri. Di banyak negara di Eropa laki-laki hampir punah.
Dengan alasan inilah Dr. MacFarlane dalam mengawali bukunya, The Case for Polygamy, menyatakan:
Apakah masalah [poligami] tersebut dilihat dari sisi sosial, etik maupun keagamaan, yang jelas dapat dikemukakan bahwa poligami tidak bertentangan dengan pembakuan-pembakuan peradaban yang paling tinggi sekalipun. ... Saran [untuk melaksanakan poligami] itu merupakan pemecahan praktis bagi persoalan perempuan yang malang dan diterlantarkan; yang pada gilirannya menimbulkan semakin merajalela dan meningkatnya pelacuran, pergundikan dan perawan tua yang senantiasa menjadi pergunjingan orang.
Dr. MacFarlane juga mengemukakan:
Kenyataan bahwa poligami itu sendiri sudah dipraktekkan sejak dahulu kala merupakan bukti bahwa jumlah laki-laki dan perempuan tidak dalam proporsi yang sama; dan saya hingga sekarang belum mengetahui bahwa semakin berkurangnya jumlah perempuan pernah terjadi di masa lampau sebagai akibat dari praktek semacam itu. Bahkan seandainya terdapat jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan di dunia ini, pemaksaan perkawinan monogami akan melibatkan, sebagai konsekuensinya, pemaksaan terhadap setiap orang untuk menikah. Dari sisi ini saja, tanpa bantuan argumen lain, monogami, sebagai sistem yang bersifat universal, tetap tercela.
Fakta-fakta yang ada dan argumen-argumen yang meyakinkan itu menyebabkan banyak pemikir moderen menyadari akan manfaat dan jasa poligami dalam masyarakat. Sir George Scott menyatakan:
Pada masa kita sekarang sudah ada sedikit orang yang, setelah memperhatikan besarnya jumlah perempuan, menyarankan untuk menikahkan beberapa orang perempuan dengan seorang laki-laki.
Kadang-kadang poligami tidak dapat dihindarkan sebagai satu-satunya pemecahan untuk mempertahankan dan menyelamatkan kehidupan rumah tangga. Ada beberapa peristiwa ketika isteri kedua diperlukan untuk mengatasi beberapa situasi menyedihkan dalam keluarga, misalnya, mengawini janda keluarga untuk membantu kehidupannya dan anak-anaknya. Kemandulan dan penurunan nafsu birahi isteri, atau beberapa penyakit menular yang dideritanya mengharuskan orang [suami] melakukan poligami. Kebutuhan seksual yang sah setiap orang laki-laki bisa mendorongnya untuk melakukan poligami. Bila masyarakat ingin diselamatkan dari bencana yang ditimbulkan oleh perzinaan, pergundikan, pelacuran dan berbagai perbuatan tidak moral, hukum dan adat negara yang bersangkutan seharusnya memperhatikan secara seksama sifat laki-laki dan kebutuhan-kebutuhannya. Karena itulah Dr. Rom Landau mengatakan:
Di dunia yang tidak sempurna, seperti dunia yang kita diami ini, poligami seharusnya dianggap lazim dan sah. Untuk menghapuskan poligami sama sekali pertama-tama kita harus mengubah corak peradaban kita secara menyeluruh, kemudian mengubah sifat laki-laki dan, terakhir, mengubah alam itu sendiri.
Setelah memberikan penjelasan tentang alasan-alasan yang melandasi keyakinannya ini, dia mengatakan:
Dalam pengalaman saya sendiri saya mendapatkan banyak kesempatan untuk mengkaji beberapa penyebab paling tepat dari poligami di kalangan para anggota masyarakat moderen. Dalam sebagian besar kasus tersebut saya menemukan bahwa perilaku atau kerinduan untuk berpoligami berjalan bergandengan tangan dengan si fat esensial untuk bermonogami.
Dia berkesimpulan, “Semua bukti yang ditunjukkan oleh sejarah dan sains menimbulkan keharusan bahwa poligami selayaknya diakui secara lebih jujur.”
George Ryley Scott, ahli terkenal di bidang seks, ketika membahas sifat laki-laki, mengatakan: “Pada dasarnya laki-laki cenderung berpoligami dan perkembangan peradaban mengembangkan poligami pembawaan sejak lahir ini.” Lord Mordey juga menyatakan bahwa “laki-laki secara naluriah cenderung berpoligami.” Havelock Ellis, ketika mengomentari pernyataan ini, mengatakan:
Bila kita menafsirkannya dengan pengertian bahwa laki-laki adalah makhluk yang secara naluriah cenderung bermonogami tetapi memiliki keinginan variasi seksual, maka cukup bukti untuk mengakui kebenaran pernyataan itu.
Prof. C. Von Ehremfels dari Praha lebih jauh berpendapat bahwa poligami sebagai tatanan umum jauh lebih luhur daripada monogami. Berdasarkan alasan-alasan ilmiah dia menyatakan bahwa “perkawinan menurut tatanan poligami sudah dianggap perlu, dan ia akan menggantikan kedudukan monogami karena secara moral ia lebih tinggi.
Ahli seks dari Perancis, Dr. Le Bon, meramalkan bahwa hukum Eropa pada masa mendatang akan membenarkan adanya poligami. Dia berpendapat:
Suatu upaya untuk kembali kepada poligami, atau hubungan alami di antara dua jenis kelamin, akan mengobati banyak penyakit sosial: pelacuran, penyakit kotor, aborsi, kesengsaraan anak-anak yang tidak sah, jutaan perempuan lajang yang bernasib malang, perzinaan dan bahkan kecemburuan.
Keberatan lain yang dikemukakan oleh para kritikus di Barat menyatakan bahwa poligami adalah “biadab” dan tidak sesuai dengan zaman moderen, padahal sejarah menunjukkan bahwa dalam semua kurun waktu peradaban manusia, di semua saat dan suasana, poligami tetap ada, dan bahkan pada saat sekarang ini, sebagai lembaga sosial yang bernilai penting. Encyclopaedia Brittanica mengemukakan bukti berupa fakta bahwa “sebagai lembaga poligami ada di semua benua.”
M. Letourneau dalam bukunya yang terkenal, Evolution of Marriage, mengatakan:
Bangsa-bangsa yang paling beradab seharusnya sudah memulai dengan poligami, dan dalam kenyataannya, ia sudah ada dan selalu ada di mana-mana. Hanya hukumlah yang membuat beberapa perkecualian.
Prof. N. W. Ingells, dalam eseinya tentang Biologi Sex, menulis:
Apakah laki-laki secara esensial cenderung bermonogami ataukah dia berubah dari suatu kondisi yang sering disebut serba boleh (promiscuous)? Bukti yang diperoleh menunjukkan kebenaran keterangan yang disebut belakangan. Sebagai makhluk, dalam perubahan seksualnya, dan dalam awal kejadiannya sejauh kita dapat merekonstruksikannya, dia memiliki kecenderungan ke apa saja kecuali kecenderungan bermonogami; dan kita akan menghadapi kesulitan besar untuk menerangkan secara biologik perubahan jiwa yang terjadi begitu tiba-tiba itu, yakni peralihan kepada seorang isteri.
Dr. Westermarck, berdasarkan bukti yang tidak dapat dibantah, memberitahukan kepada kita bahwa pada setiap masyarakat beradab poligami sudah ada. Bahkan pada masa dahulu bangsa Yunani pun mengenal lembaga ini dan menghormatinya. Prof. H. Licht dalam karya monumentalnya, Sexual Life of Ancient Greece, menulis: “Bangsa Athena mengakui kecenderungan laki-laki untuk berpoligami dan bertindak sesuai dengan kecenderungan itu.”
Poligami di Barat
Bahkan Barat moderen yang kebenciannya terhadap poligami begitu nyaring disuarakan, menunjukkan bukti bahwa Barat sendiri cenderung kepada poligami. Dr. Rom Landau menyatakan:
Meskipun di Barat hukum melarang poligami, “di tempat itu” Barat mendapatkan dirinya dipaksa untuk menerapkannya “pada saat yang tepat,” yakni, dengan mengesahkan perceraian. Seorang laki-laki tidak dibolehkan memiliki dua orang isteri secara bersama-sama dalam satu ikatan perkawinan, tetapi tidak ada seorang pun bisa mencegahnya untuk memiliki sepuluh orang isteri dalam jangka waktu beberapa tahun saja.
Namun terlalu sering dikatakan bahwa poligami dilarang “di tempat itu”. Ia memiliki beberapa saluran dan bentuk baru. M. Letourneau mengatakan:
Kita memahami bahwa, pada saat sekarang ini, di negara-negara yang dikenal sebagai negara-negara paling beradab, dan bahkan di beberapa kelompok masyarakat yang dikenal paling terhormat, sebagian besar anggota masyarakatnya memiliki naluri-naluri atau kecenderungan-kecenderungan kepada poligami yang sulit mereka atasi.
Max Nordan menulis:
Laki-laki yang hidup dalam status poligami di negara-negara beradab, meskipun sudah ada monogami yang dipaksakan dengan hukum; di antara seratus ribu orang laki-laki hanya ada seorang saja yang benar-benar dapat bersumpah bahwa sampai datangnya kematian dia tidak akan mengenali perempuan lain selain isterinya satu-satunya selama hidupnya.
Dengan demikian diketahui bahwa bukan hanya kelebihan jumlah perempuan dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang mengharuskan poligami, tetapi pada saat yang sama juga ada beberapa kondisi lain tertentu yang menuntut agar poligami disahkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan moral tetapi juga kesejahteraan fisik masyarakat. Pelacuran, yang berkembang terus sejalan dengan perkembangan peradaban dan yang menggerogotinya seperti penyakit kanker, berbarengan dengan semakin meningkatnya jumlah anak tidak sah, praktis tidak dikenal di negara-negara di mana poligami diperbolehkan dalam bentuknya yang secara hukum sah.
Kadang-kadang ada tuduhan bahwa lembaga poligami secara merata telah disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin mencari kenikmatan seksual semata-mata. Terhadap tuduhan ini bisa dikemukakan bahwa ada orang di setiap masyarakat yang akan menyalahgunakan lembaga apa pun meskipun sangat penting bagi perkembangan masyarakat sendiri. Di negara-negara di mana poligami tidak diperbolehkan, nafsu seksual laki-laki telah menemukan seratus cara lain untuk menyalurkannya, dan ini semua merupakan hal-hal yang lebih terkutuk bagi masyarakat daripada penyalahgunaan poligami. Sebenarnya penyalahgunaan itu bisa dengan mudah diatasi dengan pendidikan yang baik kepada masyarakat, pengembangan tradisi-tradisi sosial yang sehat dan penataan mekanisme hukum yang efisien untuk melindungi hak-hak kaum perempuan dan anak-anak kapan saja dan di mana saja mereka diperlakukan tidak wajar. Penyakit-penyakit sosial dapat dilenyapkan tidak dengan menggunakan kekerasan atau dengan menghapuskan lembaga-lembaga historik tetapi melalui proses sosial yang dapat memurnikan masyarakat itu. Dan itulah yang ingin dilakukan oleh Islam.
Masalah Perceraian
Masalah perceraian juga diatasi oleh Islam dengan cara yang terbaik. Tidak perlu dikemukakan mengenai hal itu di sini sebab pada saat sekarang perceraian sudah diakui sebagai keharusan pada setiap bangsa. Perkawinan dianggap oleh Islam sebagai kontrak sosial, dan kontrak itu dapat dibatalkan bila terbukti menyakitkan atau tidak cocok bagi isteri maupun bagi suami. Dan secara jujur, isteri sudah diberi hak yang sama untuk menuntut perceraian sebagaimana hak yang diberikan kepada suami. Tetapi Islam tidak mengakui teori perceraian [yang diterapkan] di Rusia dan, pada saat yang sama, Islam tidak mau menerima sudut pandang Gereja vis-a-vis perceraian. Dalam Islam perceraian dimungkinkan tetapi tidak mudah, karena berbagai pembatasan yang diterapkan dan berbagai syarat yang ditentukan oleh Islam merupakan hal-hal yang harus diperhitungkan secara sungguh-sungguh. Sebenarnya tidak benar bila dikatakan bahwa hukum Islam tentang perceraian merupakan aturan yang tidak tegas, karena seorang Muslim harus ingat dengan sabda Nabi Muhammad saw. yang dituturkan oleh Abu Dawud: “Di antara semua hal yang dihalalkan, perceraian adalah yang paling dibenci oleh Allah.”
Mengenai perkembangan lembaga perceraian itu, M. Letourneau menyatakan dalam bukunya, Evolution of Marriage sebagai berikut:
Beberapa catatan kita mengenai pokok bahasan tentang perceraian mendorong kita untuk mengambil beberapa kesimpulan yang hampir seragam. Catatan-catatan itu menunjukkan kepada kita bahwa, meskipun ketidaksamaan bisa saja terjadi di berbagai negara atau pada berbagai kurun waktu, namun ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bermula dengan perkecualian-perkecualian yang jarang terdapat, melalui perbudakan secara sempurna terhadap pihak perempuan. Kemudian sejalan dengan perkembangan zaman kita melihat beberapa masyarakat yang sampai beberapa tingkat menjadi beradab, dan sejalan dengan perkembangan ini kondisi kaum perempuan pun mengalami peningkatan. Pada mulanya orang laki-laki bisa membunuhnya bila dia tidak menyenangkannya: kemudian, di luar kasus perzinaan, dia berpendapat lebih baik menerlantarkannya begitu saja, dan bahkan beberapa jenis hak diberikan kepada perempuan yang diterlantarkan itu. Lama kelamaan haknya untuk menuntut perceraian pun diakui.
Dan hak isteri untuk menuntut perceraian ini diakui untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia oleh Islam.
Kutipan dari: Begum Aisha Bawany, Mengenal Islam Selayang Pandang, terj. Machnun Husein (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 112-126. Judul Asli: Islam: an Introduction (Karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, 1982)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar