Selasa, November 17, 2009

Kelompok Ahmadiyah Qadiani dan Umat Muslim Ortodoks

KELOMPOK AHMADIYYAH QADIĀNĪ DAN UMAT MUSLIM ORTODOKS

Sir Muhammad Iqbāl

Isu yang timbul karena kontroversi antara kelompok Ahmadiyyah Qadiānī dan umat Muslim Ortodoks benar-benar penting. Baru-baru ini saja umat Muslim India menyadari arti pentingnya. Saya berniat mengirimkan sebuah surat terbuka kepada [Pemerintah] Inggris untuk menjelaskan berbagai implikasi sosial dan politik dari isu tersebut. Tetapi sayang sekali kondisi kesehatan saya menghalangi terlaksananya niat tersebut. Namun saya merasa bergembira untuk menyampaikan beberapa keterangan sekarang mengenai masalah tersebut yang, menurut pendapat saya, mempengaruhi seluruh kehidupan kolektif umat Muslim India. Akan tetapi saya kira harus dikemukakan terlebih dahulu bahwa saya tidak bermaksud memasuki masalah perdebatan teologis apa pun. Selain itu, saya juga tidak bermaksud mengemukakan analisis psikologis terhadap kondisi kejiwaan pendiri gerakan Ahmadiyyah Qadiānī itu; sebab yang disebut pertama tidak akan menarik perhatian orang-orang yang dituju oleh keterangan saya ini, sedangkan yang kedua belum saatnya untuk disampaikan kepada masyarakat di India. Sudut pandang saya adalah sudut pandang pengkaji sejarah umum dan perbandingan agama.

India adalah wilayah yang dihuni oleh banyak kelompok keagamaan, dan Islam adalah salah satu masyarakat agama dalam pengertian yang mendalam dibandingkan dengan kelompok-kelompok keagamaan lain yang strukturnya ditentukan sebagian oleh gagasan keagamaan dan sebagian lagi oleh gagasan ras. Islam menghapuskan sama sekali gagasan ras itu dan melandasinya dengan gagasan keagamaan semata-mata. Karena Islam melandasi dirinya sendiri semata-mata dengan gagasan keagamaan, suatu landasan yang sepenuhnya bersifat spiritual dan sebagai konsekuensinya ia jauh lebih abadi daripada landasan pertalian darah, maka masyarakat Muslim pada dasarnya jauh lebih sensitif terhadap kekuatan-kekuatan yang dinilai merusak integritasnya. Setiap kelompok masyarakat keagamaan yang secara historis timbul dari Islam, yang mengakui kenabian baru sebagai landasannya dan menyatakan semua umat Muslim yang tidak mengakui kebenaran wahyunya itu sebagai orang-orang kāfir, sudah semestinya dianggap oleh setiap Muslim sebagai bahaya besar terhadap solidaritas Islam. Hal itu memang sudah semestinya, karena integritas umat Muslim dijamin oleh gagasan Kenabian Terakhir [Khatamun-Nabiyyīn] itu sendiri.

Gagasan tentang Kenabian Terakhir ini boleh jadi merupakan gagasan yang paling orisinal dalam sejarah kebudayaan umat manusia. Arti pentingnya yang sebenarnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang dengan tekun mengkaji sejarah kebudayaan Magian [Majusi] pra-Islam di Asia Barat dan Tengah. Konsep budaya Magian itu, menurut hasil penelitian moderen, mencakup berbagai budaya yang terkait dengan agama-agama Zoroaster, Yahudi, Kristen, Kaldea, dan Sabean. Menurut masyarakat-masyarakat agama ini gagasan tentang kesinambungan kenabian merupakan gagasan esensial, dan sebagai konsekuensinya mereka hidup dalam kondisi selalu berharap. Sangat boleh jadi pendukung budaya Magianlah yang secara psikologis menikmati kondisi berharap ini. Orang-orang moderen secara kejiwaan jauh lebih bebas daripada orang-orang Magian itu. Akibat dari sikap orang Magian itu adalah disintegrasi masyarakat-masyarakat lama dan pembentukan masyarakat-masyarakat baru secara terus-menerus dengan berbagai macam pengalaman keagamaan masing-masing. Di dunia Islam moderen, Mullahisme yang ambisius dan picik, dengan memanfaatkan pers moderen tanpa malu-malu berusaha menampilkan pendangan Magian pra-Islam yang kuno itu menjelang datangnya abad ke-20. Jelaslah bahwa Islam yang mengaku sebagai pemersatu semua jenis masyarakat di dunia kedalam satu kesatuan tidak dapat berdamai dengan gerakan yang mengancam solidaritasnya sekarang dan yang akan memecah-belah kembali umat manusia itu.

Di antara dua bentuk yang ditampilkan oleh gerakan kebangkitan kembali Magianisme pra-Islam di zaman moderen sekarang, menurut pendapat saya, Bahā’iyyah (Bahaisme) tampak lebih jujur daripada gerakan Ahmadiyyah Qadiānī, sebab yang disebut pertama secara terbuka menyatakan keluar dari Islam, sedangkan yang disebut belakangan jelas masih mempertahankan beberapa penampilan Islamnya yang lebih penting dengan ciri batin yang sama sekali merusak semangat dan aspirasi-aspirasi Islam. Gagasan tentang Tuhan yang cemburu dengan mendatangkan gempa dan bencana tanpa kesudahan kepada musuh-musuhnya, konsepsinya tentang nabi sebagai tukang ramal, gagasannya tentang kesinambungan ruh Al-Masīh [Messiah], secara begitu sempurna diambilalih dari gagasan Yahudi sehingga untuk mudahnya gerakan tersebut dapat dianggap sebagai gerakan kembali ke agama Yahudi kuno. Gagasan tentang kesinambungan ruh Al-Masīh lebih tepat dikatakan sebagai gagasan Mistisisme Yahudi daripada sebagai gagasan Yahudi positif. Profesor Buber yang sudah membahas gerakan yang ditokohi oleh Mesiah Baalshem dari Polandia memberitahukan kepada kita bahwa “diduga bahwa semangat Mesiah yang diturunkan ke bumi itu adalah melalui nabi-nabi dan bahkan melalui sederetan orang suci yang terus-menerus hingga sekarang – kelompok Zaddik (Sadiq). Gerakan-gerakan sesat di Iran yang Islam karena dorongan gagasan-gagasan Magian pra-Islam melahirkan kata-kata atau istilah-istilah burūz, hulūl, dan zill yang mencakup makna gagasan reinkarnasi abadi ini. Ketika itu dirasa perlu untuk dikemukakan pernyataan-pernyataan baru sebagai pengganti gagasan Magian itu agar tidak begitu mengejutkan kesadaran umat Muslim. Bahkan frasa “Mesiah yang Dijanjikan’ [Al-Masīh al-Mau‘ūd] pun bukan produk kesadaran keagamaan umat Muslim. Ia merupakan pernyataan tidak asli dan bersumber dari pandangan Magian pra-Islam itu.

Kami tidak menemukannya dalam buku-buku lama mengenai agama dan sejarah Islam. Kenyataan yang patut dicatat ini diungkapkan oleh Profesor Wensinck dalam bukunya, Concordance of the Traditions of the Holy Prophet, yang meliput tidak kurang dari 11 buku koleksi hadis dan tiga di antaranya dokumen-dokumen sejarah Islam yang paling kuno. Orang dapat memahami dengan baik sekali mengapa umat Muslim di masa-masa pertama tidak pernah menggunakan pernyataan ini. Pernyataan tersebut tidak menarik perhatian mereka karena sangat boleh jadi mereka berpendapat bahwa ia dapat mengakibatkan timbulnya konsepsi keliru tentang proses sejarah. Alam pikiran Magian beranggapan bahwa waktu merupakan gerakan sirkular [seperti putaran roda]; kejayaan yang nyata, hakikat proses sejarah yang sebenarnya sebagai gerakan yang senantiasa kreatif dijelaskan kemudian oleh pakar dan sejarawan Muslim kenamaan, Ibnu Khaldūn.

Intensitas perasaan yang dimanifestasikan oleh umat Muslim India dalam setiap perlawanannya terhadap gerakan Ahmadiyyah Qadiānī, dengan demikian, secara sempurna dapat dipahami oleh pengkaji sosiologi moderen. Orang Muslim kebanyakan (awam) yang di saat lain dilukiskan sebagai orang “yang tertindas mullah” oleh seorang penulis dalam bukunya, The Civil and Military Gazette, dalam perlawanannya terhadap gerakan tersebut lebih banyak diilhami oleh nalurinya untuk membela diri daripada oleh pemahamannya yang lebih sempurna terhadap makna gagasan rasul terakhir dalam Islam. Dan proses Westernisasi (Pembaratan) yang perlahan-lahan tetapi tidak dapat dipahaminya lebih jauh telah melepaskannya bahkan dari nalurinya untuk membela diri tersebut. Beberapa di antara umat Muslim yang disebut-sebut telah mendapatkan cahaya terang ini, sampai batas tertentu, telah mengajarkan “toleransi” kepada saudara-saudara mereka seagama. Memang bisa saja saya memaafkan Sir Herbert Emerson yang mengajarkan toleransi kepada umat Muslim, sebab orang Eropa moderen yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan budaya yang sama sekali berbeda tidak dan, barangkali, tidak dapat mengembangkan pandangan yang memungkinkan orang memahami persoalan tertentu yang penting bagi struktur masyarakat tertentu dengan pandangan budaya yang sama sekali berbeda.

Di India, suasananya jauh lebih bersifat khas. Negara yang dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat (umat) agama ini, di mana masa depan setiap kelompok tersebut tergantung sepenuhnya pada solidaritasnya, diperintah oleh bangsa Eropa [Inggris] yang tidak dapat berbuat lain kecuali memperlakukan kebijakan “tidak mencampuri masalah agama.” Kebijakan yang liberal dan sangat penting di negara seperti India ini ternyata menimbulkan akibat-akibat yang paling merugikan. Sejauh berkaitan dengan Islam, tidak berlebih-lebihan bila dikatakan bahwa solidaritas umat Muslim India di bawah kekuasaan Inggris jauh lebih tidak terjamin dibandingkan dengan solidaritas umat Yahudi di zaman Jesus di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Setiap petualang agama di India dapat menuntut pengakuan dan tuntutan apa saja serta membentuk kelompok masyarakat baru untuk diperasnya. Negeri kami yang liberal ini sama sekali tidak memperdulikan integritas masyarakat asli, asalkan si petualang itu dapat menunjukkan kesetiaannya dan para pengikutnya secara teratur tetap membayar pajak kepada negara. Makna kebijakan ini bagi Islam secara tepat sekali diungkapkan oleh penyair besar kita, Akbar, yang dalam sajaknya yang amat sangat lucu mengatakan:

Wahai kawan! Berdoalah demi kejayaan nama Briton.

Katakanlah: “Saya Tuhan tanpa rantai, tanpa salib, tanpa malu.”

Saya sepenuhnya menghargai tuntutan umat Hindu ortodoks untuk meminta perlindungan dalam perlawanannya terhadap para pembaharu agama dalam Konstitusi yang baru. Sebenarnya tuntutan tersebut seharusnya diajukan terlebih dahulu oleh umat Muslim yang, sebagaimana umat Hindu, sama sekali menghapuskan gagasan ras dalam struktur masyarakat mereka. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan secara serius situasi yang ada sekarang dan mencoba, bila mungkin, memahami mentalitas umat Muslim awam mengenai masalah ini yang dianggapnya sangat vital bagi integritas masyarakanya. Lebih dari itu, bila integritas suatu masyarakat terancam, satu-satunya jalan yang terbuka bagi kelompok masyarakat tersebut adalah membela diri terhadap kekuatan-kekuatan yang akan memecah-belahnya. Dan apakah cara-cara untuk membela diri itu? Ada beberapa tulisan kontroversial dan bantahan terhadap orang yang oleh masyarakat asli dianggap sebagai petualang agama. Dengan demikian apakah bisa dianggap baik mengajarkan toleransi kepada masyarakat asli yang integritasnya justeru terancam dan mengijinkan kelompok-kelompok pemberontak untuk melancarkan propagandanya tanpa mendapatkan hukuman, walaupun ternyata propagandanya itu sangat merisaukan.

Bila suatu kelompok yang dianggap memberontak dilihat dari sudut pandang masyarakat asli ternyata memberikan pelayanan istimewa kepada Pemerintah, maka Pemerintah itu bebas memberikan penghargaan sebaik-baiknya atas pelayanan mereka. Kelompok-kelompok masyarakat lainnya diharapkan tidak akan mengajukan keberatan terhadap hal itu. Namun terlalu sulit untuk berharap bahwa suatu masyarakat harus secara tenang mengabaikan kekuatan-kekuatan yang secara serius cenderung mempengaruhi kehidupan kolektifnya. Kehidupan kolektif dan kehidupan individual sama-sama sensitif terhadap bahaya yang akan memporak-porandakannya. Hampir tidak perlu ditambahkan dalam kaitan ini bahwa perdebatan-perdebatan di antara beberapa mażhab dalam Islam mengenai masalah-masalah teologis tidak mempengaruhi ajaran-ajaran pokok yang oleh semua mażhab disepakati dengan segala perbedaannya meskipun mereka saling menuduh sesat.

Ada satu hal lagi yang perlu dimintakan pertimbangan khusus dari Pemerintah. Himbauan para petualang agama di India, meskipun berdasarkan semboyan liberalisme moderen, ternyata cenderung mendorong rakyat semakin lama semakin acuh tak acuh terhadap agama dan pada akhirnya akan melenyapkan sama sekali faktor agama yang penting itu dari kehidupan mayarakat India. Alam pikiran India boleh jadi sudah tidak ada lagi dan bahkan lebih rendah daripada semacam bentuk materialisme ateistik sebagaimana yang ada di Rusia.

Namun masalah agama bukanlah satu-satunya masalah yang sekarang sedang menggerakkan alam pikiran umat Muslim di Punjab. Ada beberapa perdebatan lain bercorak politik yang, sepanjang pembacaan saya, disinggung oleh Sir Herbert Emerson dalam pidatonya pada ulang tahun Anjuman. Ini semua jelas bercorak politik murni, tetapi persoalan-persoalan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kesatuan umat Muslim di Punjab sebagaimana persoalan agama. Sembari mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah atas kekhawatirannya terhadap umat Muslim Punjab yang bersatu, saya ingin sedikit mengemukakan penilaian pribadi terhadap Pemerintah itu sendiri. Saya bertanya siapakah yang bertanggungjawab atas pembedaan antara umat Muslim pedesaan dan umat Muslim perkotaan – suatu pembedaan yang telah membelah umat Muslim menjadi dua kelompok – dan kelompok Muslim pedesaan menjadi beberapa kelompok kecil lagi yang satu sama lain saling berperang?

Sir Herbert Emerson menyesalkan tidak adanya kepemimpinan yang baik di kalangan umat Muslim Punjab. Tetapi saya berharap Sir Herbert Emerson menyadari bahwa pembedaan pedesaan-perkotaan yang dicipta oleh Pemerintah dan dikukuhkannya melalui petualangan politik yang ambisius itu, dan dengan pandangan yang terpusatkan pada kepentingan-kepentingan pribadi mereka sendiri tanpa melihat kesatuan umat Muslim di wilayah Punjab itu, telah melahirkan masyarakat yang tidak mampu mencetak pemimpin yang sebenarnya. Jika Sir Herbert Emerson menyesalkan tidak adanya kepemimpinan di kalangan umat Muslim, maka saya justeru menyesalkan Pemerintah yang melestarikan sistem yang melenyapkan semua harapan akan lahirnya pemimpin yang sebenarnya di propinsi tersebut.

Catatan Tambahan: Saya tahu bahwa pernyataan ini telah menimbulkan kesalahpahaman di beberapa wilayah. Orang mengira bahwa saya telah mengajukan himbauan secara halus agar Pemerintah menindas gerakan Ahmadiyyah Qadiānī itu dengan kekerasan. Padahal sama sekali bukan itu maksud saya. Saya menjelaskan bahwa kebijakan tidak mencampuri urusan agama merupakan satu-satunya kebijakan yang diterapkan oleh para penguasa di India. Tidak ada kebijakan lain mana pun yang mungkin dilaksanakan. Tetapi saya mengakui bahwa, menurut pendapat saya, kebijakan ini merusak kepentingan-kepentingan berbagai kelompok (umat) beragama. Memang tidak ada jalan keluar untuk menghindarinya dan mereka yang menderita kerugian lantaran kebijakan itu harus mengamankan kepentingan-kepentingan mereka dengan cara-cara mereka sendiri yang sesuai. Jalan yang terbaik untuk ditempuh oleh para penguasa di India, menurut pendapat saya, adalah menyatakan kelompok Ahmadiyyah Qadiānī sebagai kelompok sempalan. Hal ini sepenuhnya konsisten dengan kebijakan kelompok Qadiānī sendiri, dan setiap Muslim India akan bersikap toleran terhadap mereka sebagaimana mereka bersikap toleran terhadap agama-agama lain.

Dikutip dan diterjemahkan oleh Machnun Husein dari buku Sir Muhammad Iqbal, Islam and Ahmadism (1934)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar