Selasa, November 17, 2009

Islam dan Ahmadiyah

ISLAM DAN AHMADIYAH
(Jawaban terhadap Pertanyaan-pertanyaan Pandit Jawahar Lal Nehru)

Sir Muhammad Iqbāl


I

Ketika tiga artikel Pandit Jawahar Lal Nehru dimuat pada surat kabar Calcutta, The Modern Review, saya menerima sejumlah surat dari umat Muslim yang mewakili berbagai pendapat keagamaan maupun politik. Beberapa orang di antara para penulis surat-surat ini ingin agar saya menjelaskan lebih jauh dan menilai sikap umat Muslim India terhadap para pengikut Ahmadiyyah. Para penulis surat-surat lainnya bertanya kepada saya tentang apakah isu yang pasti terlibat dalam faham Ahmadiyyah itu.

Dalam pernyataan ini, pertama-tama, saya ingin memenuhi tuntutan-tuntutan yang saya anggap sangat sah ini, dan kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pandit; dan untuk menghemat waktu beliau, saya menyarankan agar bagian-bagian tersebut pertama beliau lewatkan saja.

Hampir tidak perlu saya katakan bahwa saya menyambut baik minat Pandit terhadap apa yang saya anggap sebagai salah satu persoalan terbesar di Timur dan bahkan mungkin di seluruh dunia. Saya yakin, beliau adalah pemimpin nasionalis India pertama yang telah menyatakan keinginan besarnya untuk memahami keresahan spiritual di dunia Islam sekarang. Dalam mengamati banyak aspek dan reaksi yang mungkin timbul terhadap keresahan ini para pemimpin politik India yang cerdas sangat diharapkan kesediaannya untuk membuka pemikirannya terhadap makna yang benar dari apa yang sekarang tengah menggoncngkan jantung Islam itu.

Tetapi saya tidak bermaksud mengungkapkan fakta dari Pandit maupun dari orang lain yang membaca pernyataan ini bahwa artikel-artikel Pandit tersebut pada saat sekarang telah menimbulkan berbagai benturan perasaan yang agak menyakitkan. Karena saya mengetahui bahwa beliau adalah tokoh yang memiliki simpati kultural yang luas, maka pikiran saya tidak dapat cenderung selain kepada anggapan bahwa keinginan kuat beliau untuk memahami masalah-masalah yang dikemukakannya benar-benar murni; walaupun cara yang digunakannya untuk menampilkan dirinya sendiri menimbulkan beban psikologis yang sulit saya kenakan terhadap dirinya.

Saya cenderung berpendapat bahwa pernyataan saya mengenai Ahmadiyyah Qadiānī ini – yang tidak lebih daripada sekedar penampilan ajaran agama menurut pandangan-pandangan moderen – menimbulkan perasaan tidak senang bagi Pandit maupun para pengikut Ahmadiyyah Qadiānī, karena mungkin dalam batinnya terjadi keresahan, dengan berbagai alasan, terhadap prospek-prospek solidaritas umat Muslim dalam bidang-bidang keagamaan maupun politik, khususnya di India. Jelas bahwa tokoh nasionalis India yang idealisme politiknya secara prakis telah mematikan kesadarannya terhadap fakta akan bersikap tidak toleran terhadap lahirnya keinginan kuat untuk menentukan nasib sendiri di jantung Islam India Barat-Laut. Dia berpendapat, yang menurut pendapat saya keliru, bahwa satu-satunya jalan bagi nasionalisme India terletak pada penyerahan diri secara tuntas berbagai bentuk kultural negara melalui antaraksi yang, dengannya sajalah, India dapat mengembangkan budaya yang kaya dan penuh toleransi. Nasionalisme yang dicapai dengan cara-cara semacam itu tidak berarti apa-apa kecuali menimbulkan kepahitan bersama dan bahkan penindasan.

Jelas pula kiranya bahwa para pengikut Ahmadiyyah Qadiānī merasa cemas dengan kebangkitan politik umat Muslim, karena mereka merasa bahwa kebangkitan prestise politik umat Muslim India pasti melenyapkan rencana-rencana mereka untuk melepaskan sama sekali ikatan ummat nabi berkebangsaan Arab [Muhammad sw.] menjadi ummat baru yang terikat dengan nabi berkebangsaan India [Mirzā Ghulām Ahmad]. Sama sekali bukan kejutan kecil bagi saya bahwa upaya saya untuk menekankan umat Muslim India akan sangat perlunya persatuan internal pada saat kritis dalam sejarah mereka di India, dan peringatan saya kepada mereka akan adanya beberapa kekuatan pemecah-belah, yang berdalih sebagai gerakan-gerakan reformis, sudah nsemesyinya memberi kesempatan kepada Pandit untuk bersikap simpati terhadap kekuatan-kekuatan semacam itu.

Namun saya tidak ingin berpayah-payah menganalisis motif-motif Pandit tersebut. Untuk membantu orang-orang yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh mengenai sikap umum umat Muslim terhadap para pengikut Ahmadiyyah Qadiānī ini, saya akan mengutip satu alinea ndari buku Durant, Story of Philosophy [New York: Washington Square Press, 1926; reprint, New York: Pocket Books, 28th printing, 1976.], yang saya harap akan dapat memberikan gagasan lebih jelas kepada para pembaca mengenai isu yang terlibat dalam faham Ahmadiyyah Qadiānī tersebut. Durant dengan menggunakan beberapa kalimat menggambarkan sudut pandang umat Yahudi mengenai ekskomunikasi filosuf besar Spinoza.

Dengan mengutip alinea ini hendaknya para pembaca tidak berpendapat bahwa saya bermaksud mengemukakan sejenis perbandingan antara Spinoza dan pendiri faham Ahmadiyyah itu. Perbedaan di antara keduanya, baik dalam bobot intelektual maupun perilakunya, jelas sangat besar. Spinoza yang “kerancuan-Tuhan” itu tidak pernah menyatakan diri bahwa dia adalah pusat suatu organisasi baru dan bahwa semua orang Yahudi yang tidak mempercayainya berada di luar lingkungan agama Yahudi. Karena itu bagian tulisan Durant itu jauh lebih besar kekuatannya bila diterapkan kepada sikap umat Muslim terhadap faham Ahmadiyyah daripada kepada sikap umat Yahudi terhadap ekskomunikasi Spinoza itu. Alinea tersebut adalah sebagai berikut:

Lebih dari itu, kesamaan dalam agama tampaknya bagi para tokoh agama merupakan satu-satunya alat untuk mempertahankan kelompok kecil Yahudi di Amsterdam dari perpecahan, dan hampir merupakan alat terakhir untuk mempertahankan persatuan dan, karena itu, menjamin kelangsungan hidup umat Yahudi yang bertebaran di seluruh dunia. Seandainya mereka memiliki negara sendiri, hukum sipil sendiri, lembaga-lembaga kekuatan dan kekuasaan duniawi sendiri, untuk menumbuhkan persatuan internal dan sikap hormat pihak luar, mungkin mereka akan bersikap lebih toleran. Tetapi bagi mereka, agama merupakan patriotisme dan keyakinan mereka. Sinagog merupakan pusat kehidupan sosial dan politik serta peribadatan mereka. Dan Bibel, yang kebenarannya telah diragukan oleh Spinoza, merupakan ‘Tanah air yang dapat dibawa ke mana-mana’ oleh para pendukungnya. Dalam kondisi semacam itu mereka menganggap kemunafikan sebagai ketidaksetiaan, dan toleransi sebagai bunuh diri [Durant, ibid., hlm. 154.]

Meskipun situasi umat Yahudi seperti itu – sebagai masyarakat minoritas di Amsterdam – mereka sepenuhnya dibenarkan dalam sikapnya yang menganggap Spinoza sebagai faktor pemecah-belah yang mengancam keterasingan masyarakat mereka. Demikian pula halnya, umat Muslim India dibenarkan karena anggapannya terhadap gerakan Ahmadiyyah Qadiānī, yang menyatakan seluruh dunia Islam adalah kafir dan memboikot mereka dalam bidang sosial, jelas jauh lebih berbahaya bagi kehidupan kolektif Islam di India daripada metafisika Spinoza terhadap kehidupan kolektif umat Yahudi.

Saya takin, umat Muslim India secara naluriah menyadari sifat khusus lingkungan mereka di India itu dan secara alami jauh lebih sensitif terhadap berbagai kekuatan pemecah-belah daripada umat Muslim di negara lain mana pun juga. Persepsi naluriah rata-rata setiap Muslim ini, menurut pendapat saya, secara mutlak benar dan saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa mereka memiliki dasar kesadaran Islam India yang jauh lebih dalam. Orang-orang yang berbicara tentang toleransi dalam hal semacam ini sebenarnya terlalu gegabah dalam menggunakan kata “toleransi” itu, dan yang saya khawatirkan bahwa mereka sama sekali tidak memahaminya.

Semangat toleransi dapat timbul dari berbagai macam sikap batin manusia. Seperti dikatakan oleh Gibbon: “Ada toleransi filosuf yang menurut pendapatnya semua agama benar, toleransi sejarawan yang menurut pendapatnya semuanya tidak benar, dan toleransi politisi yang menurut pendapatnya semuanya berguna.” Ada toleransi manusia yang toleran terhadap cara-cara berpikir dan bertingkah-laku lainnya karena dia sendiri mengembangkan sikap acuh tak acuh secara mutlak terhadap semua cara berpikir dan bertingkah-laku. Ada toleransi orang lemah yang, karena kelemahannya, harus mengantongi segala macam ucapan atau perbuatan menyakitkan terhadap benda-benda atau orang-orang yang dihormatinya.

Tipe-tipe toleransi ini jelas tidak memiliki nilai etis sama sekali. Di pihak lain, tipe-tipe toleransi itu jelas menunjukkan kemiskinan spiritual orang yang melakukannya. Toleransi yang benar timbul karma keluasan intelektual dan pengembangan spiritual. nItulah toleransi orang kuat secara spiritual yang, sembari menjaga batas-batas keyakinannya sendiri, dapat menerima dan bahkan memahamisegala bentuk keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya sendiri. Orang Muslim sejati sajalah yang mampu memiliki toleransi tipe ini. Keyakinannya sendiri bersifat sintetik dan, karena itu, dengan mudah dia dapat menemukan alasan-alasan untuk bersimpati dan menghargai keyakinan-keyakinan lain.

Penyair besar kita dari India, Amir Khusrau, dengan indah sekali mengemukakan esensi tipe toleransi ini dalam cerita tentang seorang penyembah berhala. Setelah memberikan pernyataan tentang keterikatannya yang mendalam dengan berhala-berhalanya, penyair itu berkata kepada para pembaca Muslimnya sebagai berikut:

ﺍﮮ ﻜﻪ ﺯﺒﺖ ﻄﻌﻨﻪ ﺒﻪ ﻫﻨﺪ ﻮﺒﺮﻯ ﻫﻢ ﺰﻮﮮ ﺁﻤﻮﺰ ﭙﺮﺴﺘﺶ ﻜﺮﻯ

“Hanya orang yang benar-benar cinta kepada Tuhanlah yang dapat memahami nilai ibadat walaupun ia ditujukan kepada dewa-dewa yang dia sendiri tidak mempercayainya.”

Kelucuan para penganjur toleransi di kalangan kita terdapat dalam penggambaran sikap manusia yang menjaga batas-batas keyakinannya sendiri sebagai sikap tidak toleran. Mereka secara keliru menganggap sikap ini sebagai tanda kerendahan moral. Mereka tidak memahami bahwa nilai sikap ini secara esensial bersifat biologis. Di mana saja para anggota suatu kelompok merasa, baik secara naluriah maupun berdasarkan alasan rasional, bahwa kehidupan bersama dalam organisasi sosial di mana mereka berada sedang dalam ancaman bahaya. Sikap defensif mereka harus dihormati terutama dengan memakai ukuran biologis. Setiap pemikiran atau tindakan dalam kaitan ini harus dinilai dengan nilai kehidupan yang mungkin dimilikinya. Pertanyaannya dalam hal ini bukan apakah sikap seseorang atau masyarakat terhadap orang yang dinyatakan munafik itu secara moral baik atau buruk, tetapi apakah ia memberikan sumbangan kehidupan ataukah menghancurkan kehidupan.

Pandit Jawahar Lal Nehru tampaknya berpendapat bahwa masyarakat yang dilandasi oleh prinsip-prinsip agama memerlukan lembaga inkuisisi [penjatuhan hukuman karena perbedaan keyakinan]. Hal ini memang terjadi dalam sejarah agama Kristen, tetapi sejarah agama Islam, berbeda dengan logika Pandit, menunjukkan bahwa selama tiga belas abad terakhir kehidupan Islam, lembaga inkuisisi itu sudah tidak dikenal lagi di negara-negara Islam. Al-Qur’an dengan tegas melarang lembaga semacam itu: “Jangan mencari-cari kekurangan-kekurangan orang lain dan jangan menyampaikan ucapan-ucapan yang menyakitkan saudara-saudaramu.”

Sebenarnya Pandit akan menemukan dalam sejarah Islam bahwa umat-umat Yahudi dan Kristen, yang lari menyelamatkan diri dari penyiksaan keagamaan di negara-negara mereka sendiri, selalu mendapatkan perlindungan di negara-negara Islam. Dua pernyataan [syahadat] yang melandasi bangunan konseptual Islam begitu sederhananya sehingga kemunafikan, dalam pengertian berubah sikap menjadi munafik, hamper tidak memungkinkan seseorang Muslim dikeluarkan dari kalangan Islam. Sebenarnya bila seseorang yang dinyatakan berpegang kepada ajaran-ajaran yang sesat akan mengancam tatanan sosial yang ada, dan negara Islam yang merdeka pasti akan mengambil tindakan. Tetapi dalam hal semacam itu tindakan negara akan lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan politik daripada pertimbangan-pertimbangan keagamaan secara murni.

Saya benar-benar dapat memahami bahwa orang seperti Pandit, yang lahir dan dibesarkan dalam masyarakat yang tidak memiliki batas-batas yang terumuskan secara baik dan karenanya tidak memiliki persatuan internal, akan sulit memahami bahwa suatu masyarakat (umat) beragama dapat hidup dan makmur tanpa komisi-komisi yang diangkat oleh negara untuk meneliti keyakinan-keyakinan rakyatnya. Hal ini sangat jelas dari bagian tulisannya yang dikutipnya dari Kardinal Newman dan dari pertanyaannya tentang sejauh manakah saya akan menerima penerapan keputusan kardinal itu terhadap Islam. Ijinkanlah saya memberitahu bahwa ada perbedaam tajam antara struktur batin agama Islam dan agama Katholik yang dengan berbagai kerumitan, ciri ultra-rasional dan jumlah dogma-dogmanya, selalu memberi kemungkinan-kemungkinan bagi penafsiran-penafsiran baru yang menyimpang.

Agama sederhana yang dibawa oleh Nabi Muhammad didasarkan atas dua pernyataan [syahadat] – bahwa Allah adalah Maha Esa dan bahwa Muhammad adalah yang terakhir dalam deretan orang-orang suci [nabi-nabi dan rasul-rasul Allah] yang senantiasa muncul dari masa ke masa di semua negara dan di segala zaman untuk membimbing manusia ke jalan-jalan hidup yang benar. Bila, seperti pendapat beberapa orang penulis Kristen, dogma harus didefinisikan sebagai pernyataan ultra-rasional yang, demi menjaga solidarits keagamaan, harus diterima tanpa harus memahami makna metafisiknya, maka kedua pernyataan [syahadat] Islam itu sama sekali tidak dapat dianggap sebagai dogma, karena kedua-duanya didukung oleh pengalaman manusia dan jelas dapat dilacak kebenarannya dengan argumen rasional.

Masalah penyimpangan [bid‘ah] yang memerlukan keputusan penguasa atau hakim, apakah seseorang masih berada di dalam atau sudah di luar kalangan agama [Islam] dapat timbul dalam hal umat beragama yang didasarkan atas pernyataan-pernyataan sederhana semacam itu bila orang yang bersangkutan menolak salah satu atau kedua pernyataan tersebut. Penyimpangan semacam itu saya kira, dan sebenarnya jarang sekali, terjadi dalam sejarah Islam karena, meskipun berusaha menjaga batas-batasnya, ia memberikan kebebasan untuk menafsirkan selama masih dalam batas-batas ini. Dan karena penyimpangan yang melanggar batas-batas Islam itu jarang sekali terjadi dalam sejarah Islam, maka perasaan rata-rata setiap Muslim pada dasarnya sangat mudah tersentuh bila pemberontakan semacam ini timbul. Itulah sebabnya perasaan umat Muslim Persia begitu tersentuh menentang para pengikut faham Bahā’iyyah. Dan itu pulalah sebabnya perasaan umat Muslim India begitu tersentuh untuk menentang para pengikut faham Ahmadiyyah Qadiānī.

Memang saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan (bid‘ah) karena perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal-hal keil [furu‘] dalam bidang Hukum [Fiqih] dan Teologi [‘Aqīdah] di kalangan beberapa mażhab dalam Islam aak umum terjadi. Dalam penggunaan kata kufr [kekafiran] secara sembrono di sini, baik untuk perbedaan-perbedaan kecil dalam bidang teologi maupun untuk kasus-asus penyimpangan berat yang melibatkan dilakukannya ekskomunikasi terhadap orang yang bersangkutan, sejumlah orang Muslim terpelajar pada saat sekarang, yang praktis sama sekali tidak mengetahui sejarah timbulnya perbedaan mażhab dalam Teologi Islam [Ilmu Kalam], melihat tanda perpecahan umat Muslim di bidang sosial dan politik. Akan tetapi ini merupakan pandangan yang sama sekali tidak benar. Sejarah Teologi Islam menunjukkan bahwa saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan mengenai perbedaan pendapat dalam hal-hal kecil, yang sama sekali tidak merupakan dorongan perpecahan, sebenarnya telah memberikan semangat untuk tampilnya pemikiran sintetik dalam bidang teologi itu. “Bila kita memperhatikan sejarah perkembangan Hukum [Fiqh] Islam,” kata Prof. Hurgronje, “kita akan menemukan bahwa, di satu pihak, para fuqahā’ [ahli-ahli Hukum ([Fiqh) Islam] pada setiap zaman, dengan tekanan yang paling ringan, saling mengutuk satu sama lain mengenai saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan; dan dipihak lain, para ahli serupa yang memiliki semangat persatuan yang lebih besar berusaha mendamaikan perbedaan-perbedaan pendapat di antara para pendahulunya.”

Setiap pengkaji Islam mengetahui bahwa di antara para ahli Hukum Islam jenis penyimpangan ini secara teknis dikenal sebagai “bid‘ah di bawah bid‘ah,” yakni sejenis bid‘ah atau penyimpangan yang tidak mengharuskan dilakukannya tindakan ekskomunikasi (pengucilan) orang yang melakukannya. Tetapi barangkali dapat diakui bahwa di tangan para mullah, yang kelancungan intelektualnya menganggap mutlak semua perlawanan dalam pemikiran keagamaan itu dan karenanya mereka menutup mata terhadap adanya keseragaman dan keanekaragaman itu, penyimpangan sekecil ini dapat disembuhkan hanya dengan memberikan kepada para pengkaji mażhab-mażhab teologi Islam kita suatu pandangan yang lebih jelas mengenai adanya semangat sintetik dalam Islam, dan dengan mulai memasukkannya kembali kedalam fungsi perbedaan logika sebagai suatu prinsip gerak dalam dialektika teologik.

Pertanyaan tentang apa yang dapat disebut penyimpangan atau bid‘ah besar hanya tibul bila ajaran seseorang pemikir atau pembaharu melanggar batas-batas keimanan Islam itu. Sayang sekali, pertanyaan ini justeru timbul dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran Ahmadiyyah Qadiānī itu. Perlu dikemukakan di sini bahwa gerakan Ahmadiyyah itu terbagi menjadi dua kelompok yang dikenal sebagai kelompok Qadiānī dan kelompok Lahoris. Kelompok pertama secara terbuka menyatakan bahwa pendiri gerakan itu adalah nabi yang sempurna; sedangkan kelompok yang disebut belakangan, entah sebagai keyakinan atau sekedar taktik, ternyata mengemukakan ajaran yang lebih lunak daripada kelompok Qadiānī. Tetapi pertanyaan tentang apakah pendiri gerakan itu benar-benar nabi, sehingga pengingkaran terhadap misi kenabiannya manimbulkan apa yang saya sebut “penyimpangan atau bid‘ah besar,” ternyata merupakan masalah yang masih diperdebatkan oleh kedua kelompok tersebut. Barangkali tidak perlu bagi saya untuk menilai fakta-fakta akual dalam perbedaan pendapat di kalangan kelompok-kelompok Ahmadiyyah itu. Namun saya yakin, dengan alasan-alasan yang segera akan saya jelaskan, bahwa gagasan tentang nabi yang sempurna, yang dapat mengakibatkan dilakukannya tindakan ekskomunikasi terhadap orang yang mengingkarinya dari dalam kalangan Islam, merupakan sesuatu yang esensial dalam Ahmadiyyah; dan bahwa pemimpin kelompok Qadiānī sekarang [Mirzā Basyīruddīn Mahmūd Ahmad, putera Mirzā Ghulām Ahmad], jauh lebih konsisten dengan semangat pergerakan daripada Imām dari kelompok Lahoris.

Nilai kultural dari gagasan tentang Penutup [Nabi-nabi atau Khatamul-Anbiyā’] dalam Islam sudah saya jelaskan secara panjang lebar di tempat lain. Maknanya sederhana saja: Tidak ada penyerahan diri secara spiritual kepada siapa pun setelah Muhammad yang membebaskan para pengikutnya dengan memberikan kepada mereka aturan hukum yang praktis karena timbul dari dalam hati nurani manusia. Secara teologik, ajaran itu adalah bahwa organisasi sosio-politik yang disebut “Islam” itu sempurna dan abadi. Tidak ada wahyu apa pun yang pengingkaran terhadapnya mengakibatkan penyimpangan atau bid‘ah sesudah Muhammad. Orang yang mengaku mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiānī mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyyah sebagai penerima wayu semacam itu, berari mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir. Argumen dari pendiri gerakan itu sendiri, yang mirip sekali dengan argumen ahli Ilmu Kalam Abad Pertengahan, adalah bahwa spiritualitas Nabi Besar Islam itu dianggap tidak sempurna bila ia tidak disempurnakan oleh nabi lain. Dia menyatakan kenabiannya sendiri sebagai bukti atas kekuatan spiritualitas Nabi Besar Islam itu untuk mengangkat nabi [lain].

Tetapi bila anda bertanya lebih jauh kepadanya apakah spiritualitas Muhammad mampu mengangkat lebih dari seorang nabi, jawabannya adalah “Tidak.” Ini jelas sama dengan ucapan: “Muhammad bukan nabi terakhir, tetapi sayalah yang terakhir.” Karena kurang sekali memahami nilai cultural gagasan Islam tentang penutup nabi-nabi dalam sejarah umat manusia pada umumnya dan umat manusia di Asia pada khususnya, maka dia menganggap penutup nabi-nabi dalam pengertian bahwa tidak ada seorang pengikut Muhammad dapat mencapai kedudukan nabi merupakan tanda keidaksempurnaan dalam kenabian Muhammad itu. Setelah saya memahami inti pemikirannya, dia sendiri, demi kepentingan tuntutanya sendiri untuk menjadi nabi, memanfaatkan apa yang dilukiskannya sebagai spiritualitas kreatif Nabi Besar Islam itu dan, pada saat yang sama, melepaskan Nabi Besar Islam itu dari status “kepenutupannya” dengan membatasi kemampuan spiritualitas kreatifnya hanya untuk mengangkat seorang nabi, yaitu pendiri gerakan Ahmadiyyah itu. Dengan cara inilah nabi baru itu dengan tenang mencuri status “kepenutupan” itu dari orang yang diakuinya sebagai pemberi warisan spiritualnya.

Dia menyataan diri sebagai burūz Nabi Besar Islam dengan mengemukakan secara tidak langsung bahwa, karena merpakan burūz-nya, berarti “kepenutupannya” jelas merupakan “kepenutupan” Muhammad; dan karena itu pandangannya tentang hal ini [dianggapnya] tiak melanggar “kepenutupan” Nabi Besar itu. Dalam negidentfikasikan kedua kepenutupan itu, yaitu kepenutupannya sendiri dan kepenutupan Nabi Besar itu, secara sadar dia mengabaikan makna duniawi dari gagasan kepenutupan itu. Namun yang jelas, bahwa kata burūz itu, walaupun dalam pengertian kemiripan yang sempurna, tidak dapat mendukungnya sama sekali; karena burūz pasti selalu berdampingan dengan aslinya. Hanya dalam pengertian reinkarnasi (penitisan) sajalah burūz jadi identik dengan yang asli. Jadi bila kita menganggap kata burūz berarti “mirip dalam sifat-sifat spiritual,” maka argumen itu tetap tidak efektif. Bila, di pihak lain, kita menganggapnya berari reinkarnasi dari yang asli sebagaimana dalam bangsa Arya di zaman dubulu, maka argumen itu baru dapat dikatakan masuk akal; tetapi orang yang mengaku dirinya sebagai burūz itu tidak lain hanyalah seorang Magi yang terselubung.

Status kepenutupan itu lebih jauh dinyatakannya berdasarkan otoritas wali besar Muslim, Muhyiddīn ibnu ‘Arabī dari Spanyol, bahwa setiap wali Muslim dapat memperoleh, dalam perkembangan spiritualnya, sejenis pengalaman yang khas seperti kesadaran para nabi. Secara pribadi saya tidak percaya bahwa pendapat Syaikh Muhyiddīn ibnu ‘Arabī itu benar secara psikologis; tetapi seandainya benar pun argumen kelompok Qadiānī itu pasti sama sekali didasarkan atas kesalahpahaman terhadap pendapatnya. Syaikh itu menganggapnya sebagai keberhasilan atau pencapaian perorangan murni yang tidak, dan dalam hakikatnya tidak dapat, memberi hak kepada wali yang bersangkutan untuk menyatakan bahwa semua orang yang tidak mempercayainya dianggap telah keluar dari kalangan Islam. Memang, dilihat dari sudut pandang Syaikh tersebut, ada kemungkinan lebih dari seorang wali yang hidup sejaman atau di negara yang sama, dapat mencapai tingkat kesadaran nabi. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, meskipun secara psikologis mungkin bagi seorang wali untuk mencapai pengalaman kenabian, namun pengalamannya itu sama sekali tidak memiliki arti sosio-politik yang menempatkannya sebagai inti suatu organisasi yang baru dan memberikan hak kepadanya untuk menyatakan organisasi ini sebagai ukuran keimanan atau kekufuran para pengikut Muhammad.

Dengan mengesampingkan psikologi sufistiknya, dari kajian yang cermat terhadap beberapa bagian relevan dari bukunya, Futūhāt [al-Makkiyyah], saya yakin bahwa tokoh besar Sufi dari Sepanyol itu adalah orang yang benar-benar percaya terhadap Muhammad sebagai penutup para nabi, sama sebagaimana kepercayaan umat Muslim ortodoks lainnya. Dan seandainya dia benar-benar telah melihat dalam penglihatan sufistiknya bahwa pada suatu hari di Timur ada beberapa orang tokoh Sufi gadungan akan menghancurkan kepenutupan Nabi Besar [Muhammad] dengan memakai kedok psikologi sufistiknya itu, dia pasti akan mengantisipasi para ‘ulama’ India untuk mengingatkan dunia Islam agar menentang orang-orang yang patuh kepada Islam seperti mereka itu.

II

Sekarang kita sampai kepada esensi faham Ahmadiyyah. Pembahasan tentang sumbser-sumber dan cara berfungsinya gagasan-gagasan Majusi pra-Islam melalui saluran-saluran Tasawuf yang telah mempengaruhi pemikiran pendiri faham [Ahmadiyyah] tersebut sangat menarik bila dilihat dari sudut [Ilmu] Perbandingan Agama. Namun tidak mungkin bagi saya untuk membahasnya di sini. Barangkali cukup bila dikatakan bahwa sifat hakiki dari faham Ahmadiyyah terletak di balik Tasawuf dan Ilmu Kalama bad pertengahan itu. Oleh karena itu organisasi Indian Ulama menganggapnya sebagai gerakan teologis murni dan tampil dengan mempergunakan senjata-senjata teologis untuk menghadapinya. Tetapi saya yakin bahwa ini bukan metode yang tepat untuk menghadapi gerakan tersebut; dan karena itu keberhasilan Ulama hanya bersifat parsial.

Analisis yang cermat dari sisi psiklogis terhadap wahyu-wahyu yang diterima oleh pendiri faham tersebut barangkali merupakan suatu cara yang efektif untuk menyingkap kehidupan batin pribadinya. Dalam hubungan ini saya dapat menyebutkan kumpulan wahyu pendiri faham tersebut yang disusun oleh Maulvī Manzūr Elāhī, yang berisi banyak bahan dan yang beraneka-ragam untuk penelitian psikologis itu. Menurut pendapat saya, buku [Kumpulan] Wahyu itu merupakan kunci untuk memahami sifat dan kepribadian pendiri faham tersebut. Dan saya juga berharap bahwa pada suatu saat sejumlah pengkaji psikologi moderen akan melakukan kajian secara cermat terhadapnya. Bila dia menggunakan Al-Qur’an sebagai ukuran karena memang, dengan berbagai alasan yang tidak dapat dijelaskan di sini, dia harus mempergunakannya; dan mengembangkan kajiannya sampai kepada penelaahan secara komparatif terhadap pengalaman-pengalaman pendiri gerakan Ahmadiyyah itu dengan pengalamanppengalaman tokoh mistik kontemporer yang bukan-Muslim, seperti Rama Krishna dari Benggali, dia pasti akan menemukan lebih dari satu hal yang mengejutkan mengenai sifat pengalaman yang menjadi alasan kenabian sebagaimana diakui oleh pendiri faham Ahmadiyyah itu.

Metode lain yang juga efektif dan lebih bermanfaat, dari sudut pandang orang yang berhati lurus, adalah memahami kandungan yang sebenarnya dari faham Ahmadiyyah dari sudut pandang sejarah pemikiran teologi Islam di India, setidak-tidaknya, sejak tahun 1799. Tahun 1799 ini bernar-benar sangat penting dalam sejarah Dunia Islam. Pada tahun ini Sultan Tippu jatuh dan kejatuhannya berarti padamnya harapan-harapan umat Muslim untuk mendapatkan prestise politik di India. Pada tahun yang sama terjadi pertempuran di Navarneo yang menyaksikan kehancuran pasukan Turki. Nubuwwah, atau kata-kata yang ditemukan oleh para pengunjung Serangapatam terpahat di diding makam Tippu: “Telah lenyap kejayaan Indus dan juga keyaan Roum.” Jadi pada tahun 1799 itulah kehancuran poliik Islam di Asia mencapai puncaknya. Tetapi, sebagaimana munculnya bangsa Jerman moderen setelah kehancuran Jerman di Jena, secara tepat dapat dikatakan bahwa setelah hancurnya Islam di tahun 1799 itu muncul Islam moderen berikut persoalan-persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan saya jelaskan kemudian. Untuk sekarang saya ingin meminta perhatian para pembaca mengenai beberapa masalah yang telah timbul di India Islam sejak jatuhnya Tippu dan perkembangan imperialisme Eropa di Asia.

Apakah gagasan Khilāfah dalam Islam merupakan lembaga keagamaan? Bagaimana umat Muslim India dan, demikian juga, bagaimana semua umat Muslim di luar Turki harus dikaitkan dengan Khilāfah Turki ‘Usmani? Apakah India itu Dārul-Harb ataukah Dārul-Islām? Apakah makna yang sebenarnya dari doktrin Jihād dalam Islam? Apakah makna “dari antara kamu” dalam ayat Al-Qur’an: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan para penguasa di antara kamu? [QS. 4 (An-Nisā’):59]. Bagaimanakah kedudukan hadis yang meramalkan akan datangnya Imām Mahdī? Masalah-masalah ini dan beberapa masalah lain yang timbul sesudahnya, dengan berbagai alasan yang ada, merupakan masalah-masalah bagi umat Muslim India saja. Tetapi imperialisme Eropa, yang pada saat itu dengan cepat menyusup ke dunia Islam, juga menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah tersebut.

Berbagai kontroversi yang timbul dari masalah-masalah ini merupakan salah satu bab terpenting dalam sejarah Islam di India. Ceritanya panjang dan masih menunggu pena yang tajam untuk menuliskannya. Para politisi Muslim yang perhatiannya tertuju, terutama, kepada realitas-realitas dalam situasi itu berhasil mempengaruhi sebagian anggota Indian Ulama untuk menerima suatu garis argumen teologis yang mereka anggap cocok untuk memahami situasi tersebut. Tetapi dengan logika saja tidak mudah untuk mematahkan kepercayaan-kepercayaan yang selama berabad-abad telah menguasai pemikiran umat Muslim di India itu. Dalam situasi semacam ini logika hanya dapat bekerja berdasarkan kelayakan politik atau sejalan dengan orientasi baru terhaap naskah-naskah ajaran dan tradisi-tradisi yang ada. Namun dalam hal mana pun di antara keduanya, argumen itu tidak akan berhasil menjangkau umat Muslim.

Bagi sebagian besar umat Muslim yang memiliki kesadaran keagamaan mendalam hanya ada satu hal yang menjangkau mereka secara final, dan hal itu adalah otoritas Allah. Untuk membantah berbagai kepercayaan ortodoks secara efektif perlu dicari landasan wahyu yang mendukung orientasi politik yang tepat terhadap ajaran-ajaran teologis yang terkait dengan persoalan-persoalan tersebut di atas. Landasan wahyu inilah yang dengan baik sekali ditampilkan oleh Ahmadiyyah. Dan para anggota kelompok Ahmadiyyah sendiri menganggap landasan ini sebagai pengabdian paling besar yang mereka berikan kepada imperialisme Inggris. Pengakuan [Mirzā Ghulām Ahmad] sebagai nabi yang menerima wahyu sebagai landasan bagi pandangan-pandangan teologis tentang arti pentingnya politik itu meningkat sampai dengan pernyataan bahwa orang-orang yang tidak mau menerima pandangan-pandangan orang yang menerima wahyu itu adalah orang-orang kafir secara mutlak dan akan dilemparkan kedalam api Neraka.

Arti penting gerakan itu, sebagaimana saya pahami, adalah bahwa keyakinan kelompok Ahmadiyyah terhadap Jesu Kristus [Nabi ‘Īsā a.s.] yang mengalami kematian biasa dan kedatangannya yang kedua hanya berarti kedatangan seseorang yang secara spiritual “seperti dia,” memberikan kepada gerakan itu semacam penampilan rasional, tetapi sebenarnya keyakinan-keyakinan itu tidak esensial bagi gerakan itu. Menurut pendapat saya, keyakinan-keyakinan itu hanya sekedar langkah-langkah awal menuju kepada gagasan kenabian yang sempurna yang dengan itu sajalah tujuan-tujuan gerakan yang akhirnya diujudkan oleh kekuatan-kekuatan politik baru dapat terlaksana.

Di negara-negara yang masih belum maju, sebenarnya bukan logika, melainkan otoritas, yang dapat menghimbau rakyatnya. Karena sangat bodoh, sikap terlalu cepat percaya yang cukup aneh kadang-kadang muncul bersama-sama dengan kecerdasan yang baik. Dan orang yang cukup berani menyatakan dirinya sebagai penerima wahyu juga akan menyatakan bahwa penolakan terhadapnya akan mengakiatkan kutukan [Tuhan] utuk selama-lamanya. Di dalam negara Islam mudah ditemukan sutu teologi politik dan juga mudah untuk membentuk masyarakat yang ajarannya adalah sikap dan perilaku politik. Bahkan di Punjab, pernyataan-pernyataan teologis yang tidak jelas pun dengan mudah dapat digunakan untuk menangkap petani tidak bersalah yang selama berabad-abad mengalami berbagai macam penindasan.

Pandit Jawahar Lal Nehru menasihati kelompok ortodoks semua agama untuk bersatu sehingga dengan itu kedatangan apa yang dipahaminya sebagai Nasionalisme India akan tertangguhkan. Nasihat yang ironis ini berisi dugaan bahwa Ahmadiyyah adalah gerakan pembaharuan. Dia tidak mengetahui bahwa sejauh terlibat dengan masalah Islam di India, Ahmadiyyah mencakup masalah-masalah paling penting, baik dalam bidang keagamaan maupun politik.

Seperti sudah saya jelaskan di atas, fungsi Ahmadiyyah dalam sejarah pemikiran keagamaan Islam adalah memberi landasan wahyu bagi penundukan India sekarang secara politik. Dengan mengesampingkan masalah-masalah yang murni bersifat keagamaan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik saja, ia tidak akan membuka mulut orang seperti Pandit Jawahar Lal Nehru untuk menuduh umat Muslim India sebagai konservatisme reaksioner. Saya tidak meragukan bahwa bila dia sudah menangkap sifat hakiki Ahmadiyyah, dia pasti sangat memahami sikap umat Muslim India terhadap gerakan keagamaan yang mengaku memiliki otoritas Ilahi itu untuk mengatasi penderitaan India.

Jadi para pembaca akan mengetahui bahwa kecemasan Ahmadiyyah yang kita temukan pada wajah Islam India sekarang bukanlah gejala yang tiba-tiba muncul dalam sejarah pemikiran keagamaan Islam di India itu. Gagasan-gagasan yang akhirnya menjelma dalam bentuk gerakan [Ahmadiyyah] ini sudah sejak dulu dikenal dalam pembahasan-pembahasan teologis [Ilmu Kalām] jauh sebelum pendiri Ahmadiyyah itu lahir. Namun saya tidak bermaksud menyatakan secara tidak langsung bahwa pendiri Ahmadiyyah dan teman-temannya dengan sengaja merencanakan program mereka. Saya berani mengatakan bahwa pendiri gerakan Ahmadiyyah itu benar-benar mendengar suara, tetapi apakah suara itu datang dari Allah yang Maha Hidup dan Maha Kuasa ataukah muncul dari kemiskinan spiritual rakyat, tentunya tergantung pada sifat gerakan yang ditimbulkannya dan jenis pemikiran serta emosi yang diberikannya kepada orang-orang yang mendengarkannya.

Para pembaca hendaknya jangan beranggapan bahwa saya menggunakan bahasa metaforis. Sejarah kehidupan bangsa-bangsa menunjukkan bahwa apabila arus kehidupan dalam suatu bangsa mulai bergerak mundur, kemunduran itu sendiri menjadi salah satu sumber inspirasi yang mengilhami para penyair, filosuf, wali, dan negarawannya; dan juga mengubah mereka menjadi kelompok “rasul” yang tugas satu-satunya adalah memuji-muji dengan kekuatan seni dan logika yang merangsang, semua hal yang tidak terpuji dan jelek dalam kehidupan rakyat mereka. Para “rasul” ini secara idak sadar menutup-nutupi kecemasan mereka dengan baju-baju gemerlapan yang penuh dengan harapan-harapan, meremehkan nilai-nilai tingkah-laku tradisional dan dengannya sekaligus menghancurkan kekuatan spiritual orang-orang yang akan menjadi korban mereka.

Orang hanya dapat membayangkan kondisi kehendak rakyat yang telah mengalami kemunduran itu, yang berdasarkan otoritas ketuhanan, disuruh menerima lingkungan politik mereka sebagai sesuatu yang final. Jadi semua perilaku yang ikut ambil bagian dalam drama Ahmadiyyah itu, saya kira, hanyalah orang-orang tidak bersalah yang terbelenggu oleh kebodohannya. Drama serupa pernah terjadi di Persia, tetapi ia tidak dan, bahkan, tidak dapat memunculkan isu-isu keagamaan dan politik sebagaimana dimunculkan oleh Ahmadiyyah terhadap Islam di India. Rusia menunjukkan sikap tolerannya kepada faham Bābiyyah [yang muncul di Persia tersebut] dan mengijinkan para pengikutnya untuk mendirikan pusat kegiatan da‘wahnya di Isyqabad. Inggris juga menunjukkan sikap toleran yang sama kepada Ahmadiyyah dengan mengijinkan para pengikutnya untuk membuka pusat kegiatan da‘wahnya di Woking (Inggris). Apakah sikap toleran Rusia dan Inggris ini didasarkan atas kepentingan penjajahan atau atas pandangan luasnya yang murni, sulit kita katakan secara pasti. Yang jelas, toleransi ini telah menimbulkan berbagai persoalan rumit bagi Islam di Asia. Dengan memperhatikan struktur ajaran Islam, seperti yang saya pahami, saya sama sekali tidak ragu-ragu mengatakan bahwa Islam akan muncul secara lebih murni [setelah terhindar] dari berbagai kesulitan tersebut. Waktu berjalan terus. Berbagai hal di India sudah berbalik arah. Semangat baru dalam demokrasi yang masuk ke India benar-benar mengikis keyakinan kelompok Ahmadiyyah yang keliru itu dan meyakinkan mereka akan kegagalan total penemuan-penemuan teologis mereka.

Islam tidak akan bersikap toleran lagi terhadap kebangkitan kembali Tasawuf Abad Pertengahan yang telah merampas naluri-naluri sehat para pengikutnya dan hanya memberikan pemikiran yang tidak jelas sebagai imbalannya. Dalam beberapa abad yang lalu ia telah menjerumuskan para pemikir Muslim terbaik, sembari mengabaikan masalah-masalah kenegaraan, dan menjadikan mereka sekedar pemikir-pemikir yang tidak cakap. Islam moderen tidak dapat memberi peluang untuk terulangnya pengalaman tersebut. Dan ia juga tidak dapat bersikap toleran terhadap terulangnya pengalaman di Punjab di mana umat Muslim terkurung selama setengah abad dalam persoalan-persoalan teologis yang sama sekali tidak berguna bagi kehidupan. Islam sudah memasuki masa cerah dalam pemikiran dan pengalamannya, dan tidak ada seorang wali atau nabi pun dapat membawanya kembali kedalam kabut Tasawuf Abad Pertengahan.

III

Marilah sekarang kita beralih ke pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pandit Jawahar Lal Nehru. Saya menduga bahwa artikel-artikel Pandit secara praktis menunjukkan penulisnya sama sekali tidak mengenal Islam atau sejarah keagamaannya selama kurun waktu abad ke-19. Dan tampaknya dia juga tidak pernah membaca tulisan-tulisan saya mengenai persoalan-persoalan yang diajukannya. Tentunya tidak mungkin bagi saya untuk mengungkapkan kembali di sini semua yang sudah pernah saya tulis sebelumnya. Juga tidak mungkin bagi saya untuk menulis di sini tentang sejarah keagamaan Islam pada abad ke-19. Yang jelas tanpa memahami sejarah keagamaan Islam pada kurun waktu itu tidak mungkin dapat dipahami secara menyeluruh situasi dunia Islam sekarang.

Ratusan buku dan artikel sudah ditulis orang tentang Turki dan Islam moderen. Saya sudah membaca sebagian besar di antara bahan-bahan bacaan tersebut dan sangat boleh jadi Pandit pun sudah membacanya. Namun saya perlu meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun di antara penulis-penulis tersebut memahami hakikat dari akibat atau hakikat dari penyebab timbulnya akibat tersebut dengan menunjukkan secara singkat berbagai arus utama dalam pemikiran umat Muslim di Asia selama kurun waktu abad ke-19 itu.

Di atas sudah saya katakana bahwa pada tahun 1799 kemunduran Islam dalam bidang politik mencapai puncaknya. Namun tidak mungkin ada saksi yang lebih besar mengenai vitalitas batin Islam selain daripada kenyataan bahwa praktis dalam waktu sangat singkat ia berhasil menempati posisi [yang baik] di dunia. Pada kurun waktu abad ke-19 itu lahir Sir Sayyid Ahmad Khān di India, Sayyid Jamāluddin al-Afghānī di Afghanistan dan Mufti ‘Allam Jān di Rusia. Tokoh-tokoh ini sangat boleh jadi terpengaruh oleh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhāb yang lahir di Najd (Arab Saudi) pada tahun 1700, pendiri apa yang dikenal sebagai gerakan Wahhabi, dan yang boleh jadi secara tepat dapat dilukiskan sebagai denyutan kehidupan pertama dalam Islam moderen.

Pengaruh Sir Sayyid Ahmad Khān secara garis besar dapat dikatakan masih terbatas di India. Namun boleh jadi dialah orang Muslim moderen pertama yang menangkap lintasan ciri positif dari kurun waktu yang akan datang. Obat mujarab yang diberikannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita Islam, sebagaimana diberikan oleh Mufti ‘Allam Jan di Rusia, adalah pendidikan moderen. Tetapi kebesaran yang sebenarnya dari tokoh ini terletak pada kenyataan bahwa dia adalah orang Muslim pertaa di India yang merasakan perlunya orientasi baru terhadap Islam dan berjuang untuk menegakkannya. Mungkin kita berbeda pendapat dengannya mengenai masalah-masalah keagamaan, tetapi tidak ada alasan sama sekali untuk mengingkari kenyataan bahwa jiwa sensitifnya merupakan yang pertama ditunjukkannya untuk menanggapi abad moderen.

Konservatisme berlebih-lebihan dari kalangan Muslim India yang telah terlepas dari realitas kehidupan yang pahit menyebabkan mereka tidak mampu melihat makna sikap keagamaan Sayyid Ahmad Khān yang sebenarnya. Di wilayah India Barat Laut, suatu wilayah yang lebih primitif dan lebih ketat didominasi oleh para wali dibandingkan dengan wilayah-wilayah India lainnya, gerakan yang dilancarkan oleh Sayyid Ahmad Khān tersebut segera diikuti dengan reaksai yang dilancarkan oleh Ahmadiyyah – suatu perpaduan yang sulit dipahami antara Tasawuf bangsa-bangsa Semit dan Arya yang menyatakan bahwa kebangkitan kembali ruhani (spiritual) tidak terletak pada penyucian kehidupan batin seseorang sesuai dengan prinsip-prinsip Tasawuf Islam yang lama, melainkan pada pemenuhan sikap berharap dari masyarakat terhadap akan munculnya seorang Al-Masīh “yang Dijanjikan” [Al-Masīh al-Mau‘ūd]. Tugas Al-Masīh “yang Dijanjikan” ini bukanlah membebaskan orang dari masa kini yang menyesatkan, melainkan memaksa egonya untuk mematuhi ajaran-ajarannya. Reaksi ini menimbulkan kontradiksi yang sangat halus dalam diri orang yang bersangkutan. Ia tetap mempertahankan disiplin Islam, tetapi pada saat yang sama menghancurkan kehendak yang seharusnya dibentengi oleh disiplin tersebut.

Maulana Sayyid Jamāluddīn al-Afghānī adalah tokoh yang sama sekali lain dari yang lain. Dia adalah makhluk Allah yang aneh! Dia termasuk salah seorang Muslim kelahiran Afghanistan yang paling maju di masa kita sekarang, baik dalam pemikiran keagamaannya maupun dalam tindakannya. Salah seorang yang secara sempurna menguasai hamper semua bahasa umat Muslim di dunia dan memiliki kefasihan berbicara yang paling berpengaruh. Jiwanya yang tidak pernah diam mendorongnya untuk berhijrah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya sembari menanamkan pengaruh kepada sejumlah orang yang paling terhormat di Persia, Mesir dan Turki. Beberapa orang ahli Ilmu Kalam di masa kita sekarang, seperti Mufti Muhammad ‘Abduh dan sejumlah orang dari kalangan generasi muda yang di kemudian hari akan menjadi tokoh-tokoh politik, seperti Zaghlul Pasha dari Mesir, adalah murid-murid setianya. Dia tidak banyak menulis tetapi banyak berbicara dan dengan cara demikianlah semua orang yang pernah bergaul dengannya menjadi miniatur Jamaluddin. Dia tidak pernah menyebut dirinya nabi atau pembaharu (mujaddid). Namun demikian tidak ada seorang pun di masa kita sekarang berhasil menggerakkan jiwa Islam secara lebih mendalam dibandingkan dengannya. Sekarang semangatnya masih berfungsi di dunia Islam dan tidak seorang pun mengetahui di mana ia akan berakhir.

Namun demikian barangkali dapat dipertanyakan tentang tujuan apakah yang sebenarnya ingin dicapai oleh tokoh-tokoh besar Muslim ini. Jawabannya adalah bahwa mereka mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk melakukan perlawanan terhadap ketiga kekuatan ini, yakni:

(1) Mullahisme. Para ‘ulama’ semenjak dahulu senantiasa merupakan sumber kekuatan yang besar bagi Islam. Tetapi selama berabad-abad, terutama semenjak keruntuhan Baghdad, mereka berubah menjadi sangat konsevatif dan tidak mau memberikan kebebasan untuk ber-ijtihād, yakni hak untuk memberikan penilaian secara bebas dalam masalah-masalah Hukum [Syarī‘ah]. Gerakan Wahhabi yang merupakan sumber inspirasi bagi para pembaharu Muslim abad ke-19 itu adalah orientasi baru yang segar terhadap agama dan kebebasan untuk menafsirkan kembali hukum [Islam] sesuai dengan pandangan yang maju.

(2) Tasawuf (Mistisisme). Sebagian besar umat Muslim terbuai oleh sejenis Tasawuf yang menafikan kenyataan-kenyataan yang ada, meninabobokkan umat dan membiarkan mereka terjerumus kedalam berbagai macam takhayul dan khurafat. Dari kedudukannya yang tinggi sebagai salah satu kekuatan pendorong dalam pendidikan spiritual, Tasawuf telah jatuh menjadi sekedar alat untuk mengeksploitasi kebodohan dan kepercayaan umat. Secara beangsur-angsur dan secara tidak kentara ia memperlemah semangat itu sekedar untuk melepaskan diri dari disiplin hukum Islam yang ketat itu. Para pembaharu Muslim abad ke-19 bangkit untuk menentang Tasawuf ini dan mengajak umat Muslim ke masa cerah dunia moderen. Mereka sama sekali bukan orang-orang penganut materialisme. Misi mereka adalah membuka mata umat Muslim untuk melihat semangat Islam yang dimaksudkan agar mereka menguasai materi dan bukan lari menghindarinya.

(3) Raja-raja Muslim yang perhatiannya ditujukan kepada kepentingan-kepentingan dinasti mereka yang, demi terlindunginya kepentingan-kepentingan ini, tanpa ragu-ragu mau menjual negara mereka kepada orang yang mau membayar paling mahal.

Untuk menyiapkan umat Muslim melakukan perlawanan terhadap kondisi seperti ini di dunia Islam adalah misi utama Sayyid Jamāluddīn al-Afghānī.

Tentu saja di sini tidak mungkin diberikan uraian rinci mengenai transformasi yang dilakukan oleh pembaharu Muslim tersebut dalam bidang pemikiran dan kesadaran umat Muslim itu. Namun yang jelas ada satu hal yang perlu dikemukakan. Sampai batas tertentu mereka mempersiapkan landasan berpijak bagi orang-orang lain di kemudian hari, yaitu Zaghlul Pasha, Mustafā Kamāl [Attaturk] dan Raza Shah. Para pembaharu itu mengemukakan penafsiran, bantahan dan penjelasan. Sedangkan orang-orang yang muncul sesudahnya, walaupun lebih rendah tingkatan kemampuan akademiknya, adalah orang-orang yang, karena percaya kepada naluri mereka yang sehat, memiliki keberanian untuk mengarungi panas-teriknya matahari sekalipun dan melakukan, bahkan dengan kekuatan, sesuatu yang dituntut oleh berbagai kondisi kehidupan yang baru.

Orang-orang seperti mereka memang dapat saja terjerumus kedalam tindakan-tindakan keliru. Tetapi sejarah berbagai bangsa menunjukkan bahwa kekeliruan-kekeliruan mereka kadang-kadang justeru menghasilkan sesuatu yang baik. Bagi mereka bukan logika melainkan kehidupan yang menghatuskan berjuang tanpa mengenal lelah untuk memecahkan persoalan-persoalannya sendiri. Di sini dapat dikemukakan bahwa Sayid Ahmad Khān, Sayyid Jamāluddīn al-Afghānī dan ratusan murid al-Afghānī di beberapa negara Islam bukanlah orang-orang Muslim yang sudah kebarat-baratan. Mereka adalah orang-orang yang dulu tunduk kepada para mullah yang menganut mażhab lama dan menghayati kehidupan intelektual dan spiritual [yang sudah mereka tegakkan] dan yang di kemudian hari ingin mereka susun kembali.

Tekanan dari gagasan-gagasan moderen memang diakui adanya. Tetapi sejarah yang secara singkat dikemukakan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa perubahan besar dan tiba-tiba yang terjadi di Turki dan yang, cepat atau lambat, mungkin sekali terjadi di negara-negara Islam lainnya, hamper seluruhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam sendiri. Hanya orang-orang yang mengamati dunia moderen secara dangkal sajalah yang berpendapat bahwa krisis yang terjadi di dunia Islam sekarang sepenuhnya disebabkan oleh kekuatan-kekuatan asing dari luar.

Lantas, apakah dengan demikian dunia Islam di luar India atau, terutama, di Turki sudah meninggalkan Islam? Pandit Jawahar Lal Nehru berpendpat bahwa Turki sudah bukan negara Islam lagi. Tampaknya dia idak menyadari bahwa masalah apakah seseorang atau suatu masyarakat sudah bukan anggota keluarga Islam, dari sudut pandang orang Muslim sendiri, merupakan masalah hukum semata-mata dan harus ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri. Selama orang masih taat kepada dua ajaran pokok Islam yaitu [pengakuan terhadap] kemahaesaan Allah dan Rasul terakhir [Muhammad saw.], dia tidak dapat dinyatakan oleh Mullah yang paling kaku sekalipun telah keluar dari Islam, meskipn penafsiran-penafsirannya terhadap hukum [Islam] atau ayat Al-Qur’an dianggap tidak benar. Namun boleh jadi Pandit Jawahar Lal Nehru terperdaya oleh berbagai bid‘ah yang diduga atau benar-benar telah dilakukan oleh Attaturk itu. Marilah kita coba mengulas hal-hal ini sebentar.

Apakah berkembangnya pandangan materialistis yang bersifat umum di Turki itu dianggap merusak Islam? Islam sudah terlalu sering dianggap tidak berlaku lagi; sekaranglah saatnya bagi umat Muslim untuk melihat berbagai realitas yang ada. Materialisme memang merupakan senjata yang jahat sekali untuk menentang agama. Tetapi ia juga merupakan senjata efektif untuk menentang kelompok-kelompok Mullah dan Sufi yang senantiasa meninabobokkan umat dengan mengeksploitasi kebodohan dan kesetiaan mereka. Semangat Islam tidak perlu dikhawatirkan bila ia berkaitan langsung dengan materi. Al-Qur’an menyatakan: “Jangan kamu lupakan hak atau bagianmu atas dunia.” [QS. 28 (Al-Qasas):77.] Sulit bagi orang bukan-Muslim untuk memahami bahwa, dengan memperhatikan sejarah dunia Islam selama beberpa abad yang lalu, perkembangan materialis itu hanya merupakan salah satu bentuk kesadaran akan kediriannya.

Kemudian, apakah larangan memakai pakaian lama atau dipergunakannya huruf Latin [dianggap merusak Islam]? Islam sebagai agama tidak memiliki negara sama sekali; sebagai kelompok masyarakat tidak memiliki bahasa tertentu apa pun, dan juga tidak memiliki pakaian khusus apa pun. Bahkan pembacaan Al-Qur’an dalam bahasa Turki pun bukan tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah umat Muslim. Secara pribadi saya menganggap masalah yang dipertanyakan itu sebagai penilaian yang sama sekali keliru, karena setiap pengkaji bahsa dan sastra Arab dari kalangan orang-orang moderen mengetahui betul bahwa satu-satunya bahasa bukan-Eropa yang memiliki masa depan adalah Bahasa Arab. Tetapi berita-berita yang tersiar menyatakan bahwa bangsa Turki telah meninggalkan bacaan Al-Qur’an yang asli [dalam bahasa Arab] itu.

Selanjutnya, apakah penghapusan poligami atau hak ‘ulama’ [untuk mengijinkan poligami itu] dianggap merusak Islam? Menurut hukum Islam, Kepala Negara Islam memiliki kekuasaan untuk tidak memberikan “kebolehan-kebolehan” hukum bila dia tidak yakin bahwa pemberian kebolehn-kebolehan itu cenderung menimbulkan kehancuran masyarakat. Sedangkan ‘ulama yang berhak [memberikan atau tidak memberikan ijin] dalam hal poligami itu, dengan tegas saya akan melaksanakannya di kalangan umat Muslim India seandainya saya mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.

Tentang berbagai bid‘ah yang ditimbulkan oleh para mullah atas dasar kepercayaan mitos itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya disebabkan oleh kebodohan umat Mslim sendiri. Dalam rangka menginkirkan mereka dari kehidupan keagamaan, Attaturk telah melakukan sesuatu yang jelas menyenangkan hati orang seperti Ibnu Taimiyyah atau Syah Waliyyullāh. Ada sebuah hadis yang disebut dalam Kitab Misykāt [al-Masābīh], yang menyatakan bahwa hanya Kepala Negara Islam dan orang atau orang-orang yang ditunjuknya berhak mengajarkan Islam kepada umat. Saya tidak tahu apakah Attaturk pernah mengetahui hadis ini. Namun demikian, menarik sekali bahwa kesadaran Islamnya yang begitu kecil ternyata telah memberi petunjuk bagi kegiatannya dalam persoalan penting ini.

Diperlakukannya hukum Swiss [yang kemudian dikodifikasikan dalam Al-Mejelle] lengkap dengan hukum warisnya sudah barang tentu merupakan kesalahan besar sekali yang timbul dari semangat muda untuk melakukan reformasi yang dapat diterima di kalangan bangsa yang ingin maju. Terlepasnya belenggu yang dikenakan oleh kelompok ‘ulama’ dalam jangka waktu lama kadang-kadang mendorong suatu masyarakat atau bangsa untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali. Tetapi Turki, sebagaimana wilayah-wilayah dunia Islam lainnya,sama sekali belum menyadari aspek-aspek ekonomik dalam hukum Islam ang hingga sekarang belum terungkapkan, yang oleh Von Kraemer justeru dilukiskan sebagai “cabang Hukum Islam ang paling orisinal.”

Lebih lanjut, apakah penghapusan khilafah atau pemisahan antara Agama dan Negara [merupakan hal-hal yang dianggap merusak Islam]? Pada dasarnya Islam bukan imperialisme. Dalam kasus penghapusan khilāfah yang, semenjak masa Banī Umayyah secara praktis sudah berubah menjadi semacam Kerajaan, hanya semangat Islamlah yang telah memberikan jalan keluar kepada Attaturk. Untuk memahami ijtihād Turki dalam masalah khilāfah tersebut kita tidak dapat menemukan petunjuk kecuali dari Ibnu Khaldun, pakar besar dalam Filsafat Sejarah Islam dan bapak sejarah moderen. Di sini ada baiknya saya kutipkan sebagian uraian dalam buku saya, The Recostruction [of Religious Thought in Islam], pada halaman 157-8, sebagai berikut:

Ibnu Khaldun dalam bukunya yang terkenal, Muqaddimah, menyebutkan tiga pendapat yang berbeda satu sama lain mengenai gagasan Khilāfah Universal dalam Islam: (1) Imāmah Universal merupakan lembaga ketuhanan dan sebagai konsekuensinya ia dinilai mutlak perlu; (2) bahwa ia merupakan masalah cocok tidaknya dengan tujuan yang ingin dicapai; dan (3) bahwa sama sekali tidak diperlukan adanya lembaga seperti itu. Pendapat yang disebut terakhir ini diikuti oleh kelompok Khawārij [kelompok Republikan pada masa-masa pertama Islam, sic.]. Turki Moderen tampaknya telah bergeser dari pendapat pertama ke pendapat kedua, yaitu pendapat kelompok Mu‘tazilah yang menganggap Imamah Universal hanya sekedar masalah cocok tidaknya dengan tujuan yang hendak dicapai. Bangsa Turki berpendapat bahwa dalam pemikiran politik, kita harus mencari petunjuk dari pengalaman politik kita di masa lampau yang secara tepat menunjukkan fakta bahwa gagasan Imāmah Universal itu gagal dilaksanakan dalam praktek. Ia merupakan gagasan yang hanya dapat difungsikan bila Kerajaan Islam itu utuh atau bersatu. Semenjak pecahnya Kerajaan [Islam] ini muncullah beberapa kesatuan [wilayah] politik yang menyatakan diri merdeka. Dengan demikian gagasan tersebut tidak operasional lagi dan tidak dapat berfungsi sebagai faktor penegak dalam pengorganisasian Islam moderen.

Gagasan tentang pemisahan antara agama dan negara pun tidak asing lagi bagi Islam. Gagasan tentang menghilangnya Imām [Syī‘ah] hingga saat datangnya Hari Kiamat [Ghaib Kubrā] dalam satu hal mengesahkan adanya pemisahan ini di Persia [Iran sekarang] yang Syi‘ah pada masa lampau. Gagasan Islam tentang pemisahan antara fungsi-fungsi negara dalam bidang keagamaan dan dlam bidang politik hendaknya jangan disamakan dengan gagasan Eropa tentang pemisahan antara gereja dan negara. Yang disebut pertama hanya merupakan pemisahan fungsi semata-mata sebagaimana jelas terlihat dari pembentukan [jabatan-jabatan] Syaikhul-Islām dan Wazir-wazir [menteri-menteri] dalam negara Islam. Sedangkan yang disebut belakangan didasarkan atas dualisme pemikiran metafisik mengenai roh dan materi. Agama Kristen mengawali keberadaannya sebagai ordo para rahib yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan masalah-masalah duniawi. Sedangkan Islam sejak masa-masa pertamanya merupakan kelompok masyarakat sipil dengan aturan-aturan hukum yang bersifat sipil pula, walaupun diyakini bersumber pada wahyu Allah.

Dualisme pemikiran metafisik yang melandasi gagasan Eropa tersebut justeru menimbulkan pengalaman pahit di kalangan bangsa-bangsa Barat. Beberapa tahun yang lalu sebuah buu ditulis di Amerika dengan judul If Christ Came to Chicago [Seandainya Kristus Datang ke Chicago]. Dalam resensinya terhadap buku tersebut seorang penulis dari Amerika menyatakan sebagai berikut:

Pelajaran yang didapat dari buku karangan Stead ini adalah bahwa dosa-dosa besar yang ditanggung oleh umat manusia sekarang hanya dapat diatasi dengan sentiment-sentimen kegamaan. Bahwa upaya-upaya untuk mengatasi dosa-dosa besar tersebut sebagian besar diserahkan kepada negara. Bahwa negara itu sendiri telah berubah menjadi mesin-mesin politik yang korup. Bahwa mesin-mesin semacam itu bukan hanya tidak berniat tetapi juga tidak mampu mengatasi dosa-dosa tersebut. Dan bahwa tidak ada sesuatu pun kecuali kebangkitan agama para warganegara untuk menyadari kewajiban-kewajiban mereka terhadap negara sajalah yang dapat menyelamatkan jutaan manusia dari benca dan negara itu sendiri dari kehancuran.

Dalam sejarah pengalaman politik umat Muslim pemisahan [antara agama dan negara] itu hanya dimaksudkan sebagai pemisahan fungsi, bukan pemisahan gagasan. Tidak dapat dikatakan bahwa pemisahan antara agama dan negara di negara-negara Islam itu sebagai ketidakterikatan kegiatan legislatif umat Muslim dengan kesadaran umat yang selama berabad-abad telah ditanamkan dan dikembangkan oleh spiritualitas Islam. Pengalaman itu sendiri menunjukkan bagaimana gagasan tersebut berfungsi di Turki moderen. Kita hanya dapat berharap bahwa ia tidak akan menimbulkan dosa-dosa atau malapetaka sebagaimana terjadi di Eropa dan Amerika.

Secara singkat saya sudah membahas pembaharuan-pembaharuan tersebut di atas untuk kepentingan pembaca Muslim lebih daripada sekedar untuk kepentingan Pandit Jawahar Lal Nehru. Pembaharuan yang secara khusus disebut Pandit adalah pengambilalihan cita-cita rasial dan nasionalis oleh bangsa-bangsa Turki dan Persia. Pengkaji sejarah pasti mengetahui betul bahwa Islam dilahirkan pada saat prinsip-prinsip unifikasi manusia yang lama, seperti prinsip-prinsip kesamaan hubungan darah dan budaya penguasa gagal berfungsi. Karena itu ia mencari prinsip unifikasi manusia itu tidak dalam kesamaan keturunan melainkan dalam batin atau pemikiran manusia sendiri.

Sesungguhnya pesan sosial yang dibawanya untuk manusia adalah: “Lenyapkanlah pemikiran rasialis dari dalam dirimu atau punahlah kamu dalam peran di antara sesamamu.” Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Islam kurang setuju dengan rencana-rencana pembangunan dunia yang bersifat rasial dan, dengan lembaga-lembaga khusus yang dimilikinya, dan mencipta pandanan baru untuk mengimbangi kekuatan-kekuatan pembangun dunia yang bersifat rasial itu. Dalam pengarahannya terhadap kehidupan manusia, Islam dalam jangka waktu 1.000 tahun, melaksanakan suatu karya yang jauh lebih penting dibandingkan dengan yang pernah dilaksanakan agama-agama Kristen dan Buddha selama 2.000 tahun atau lebih.

Sama sekali bukan tidak lebih kecil daripada suatu keajaiban bila orang Muslim dari India merasa seperti di negeri sendiri ketika berada di Maroko, walaupun terdapat perbedaan ras maupun bahasanya. Namun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Islam sama sekali menentang ras. Sejarah Islam menunjukkan ahwa dalam pembaharuan sosial ia mempercayakan, terutama, polanya untuk melakukan derasialisasi secara berangsur-angsur dan berjalan sesuai dengan garis-garis kebijakan ang paling sedikit mengundang perlawanan. “Kami mencipta kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulai di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa,” [QS. 33 (Al-Ahzāb):13.] demikian firman Allah swt.

Dengan mempertimbangkan besarnya masalah ras dan banyaknya waktu yang diperlukan untuk melaksanakan derasialisasi manusia itu, sikap Islam terhadap masalah tersebut adalah menjadikannya tidak dominant tanpa menjadikan dirinya sebagai faktor pembentuk ras. Ada sebuah uraian menarik sekali dalam buku kecil karya Sir Arthur Keith, The Problem of Race [Masalah Ras], yang perlu dikutip di sini:

Sekarang manusia tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa tujuan utama Dunia – pembangunan ras – tidak dapat disejajarkan dengan berbagai kebutuhan dunia ekonomi moderen dan dia bertanya kepada dirinya sendiri: “Apa yang harus saya lakukan?”Akhirilah pembangunan ras yang hingga kini dilaksanakan dunia itu dan ciptalah perdamaian abadi! Atau biarkanlah dunia meraih tujuan lamanya dan lakukanlah, sebagai konsekuensinya, perang! Manusia harus memilih salah satu di antara tujuan-tujuan tersebut atau memilih yang lain. [Dan] sama sekali tidak mungkin memilih tujuan antara.

Oleh karena itu jelas bahwa seandainya Attaturk diilhami oleh Pan-Turanianisme [Faham Persatuan seluruh bangsa Turki] dia tidak begitu bertentangan dengan semangat Islam dibandingkan dengan semangat kemajuan zaman. Dan seandainya dia percaya kepada kemutlakan ras-ras tersebut, dia pasti yakin akan tergusur oleh semangat zaman moderen yang sepenuhnya sejalan dengan semangat Islam. Namun secara pribadi saya berpendapat bahwa Attaturk tidak diilhami oleh Pan-Turianisme, karena saya yakin bahwa Turianisme yang dianutnya nhanya merupakan jawaban politik terakhir terhadap panggilan Pan-Slavonisme, Pan-Germanisme atau Pan-Anglo-Saxonisme.

Bila makna uraian dalam alinea tersebut di atas dipahami secara tepat, tidak sulit untuk mengetahui sikap Islam terhadap cita-cita nasionalis itu. Nasionalisme dalam pengertian cinta seseorang kepada negaranya dan bahkan kerelaannya untuk mati demi menjaga kehormatannya merupakan sebagian ajaran Islam. Dikatakan bertentangan dengan Islam bila ia mulai memainkan peranan konsep politik dan menyatakan diri sebagai prinsip solidaritas manusia yang menuntut agar Islam menyingkir ke belakang sekedar sebagai pendapat pribadi semata dan tidak berfungsi sebagai faktor penegak kehidupan berbangsa lagi.

Di Turki, Persia, Mesir dan beberapa negara Islam lain hal ini tidak pernah dipermasalahkan. Di negara-negara ini umat Muslim merupakan mayoritas yang berpengaruh sangat besar dan kelompok-kelompok minoritas di negara-negara tersebut, yaitu umat-umat Yahudi, Kristen dan Zoroaster [Majusi], menurut hukum Islam adalah “Ahli Kitab” atau “mirip seperti Ahli Kitab” yang dengan merka hukum Islam membolehkan dilakukannya hubungan-hubungan social secara bebas, termasuk hubungan perkawinan. Yang menjadi masalah bagi umat Muslim hanyalah bila umat Muslim di negara-negara tersebut termasuk kelompok minoritas dan nasionalisme menuntut mereka agar lenyap sama sekali. Di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, Islam mendukung nasionalisme, karena di situ Islam dan nasionalisme praktis identik. Sedangkan di negara-negara yang umat Muslimnya minoritas mereka dibenarkan untuk menentukan nasib sendiri sebagai kesatuan cultural. Dalam hal apa pun di antara keduanya ia sepenuhnya konsisten dengannya sendiri.

Uraian pada alinea di atas secara singkat menggambarkan situasi yang ada di dunia Islam sekarang. Bila hal ini dipahami secara baik akan jelas terlihat bahwa ajaran-ajaran fundamental mengenai solisaritas Islam, begaimanapun juga, tidak tergoyahkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal maupun internal. Solidaritas Islam, sebagaimana sudah sayajelaskan sebelumnya, terletak pada kesamaan keprcayaan kepada dua prinsip structural Islam yang disempurnakan dengan lima “rukun Islam” yang terkenal. Inilah ajaran-ajaran esensial pertama mengenai solidaritas Islam yang, dalam pengertian ini, sudah ada sejak masa Nabi dan belakangan dirusak oleh kelompok Bahā’ī di Persia dan kelompok Ahmadiyyah Qadiānī di India. Padahal ia merupakan jaminan terhadap suasana atau iklim spiritual yang praktis seragam di dunia Islam. Ia memberikan kemudahan bagi pemaduan politik negara-negara Islam, pemaduan yang dapat mengambil bentuk negara-dunia (ideal), Liga Negara-negara Islam, atau beberapa negara merdeka yang pakta-pakta dan aliansi-aliansinya ditentukan dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan politik murni. Itulah cra mengaitkan struktur konseptual agama yang sderhana ini dengan proses zaman [sejarah].

Kedalaman makna kaitan ini dapat dipahami hanya dengan mengacu beberapa ayat tertentu dalam AL-Qur’an yang tidak mungkin dijelaskan di sini, tanpa mengabaikan pengertian yang ada di hadapan kita. Jadi secara politik, solidaritas Islam tergoyahkan hanya pada saat negara-negara Islam saling berperang; sedangkan secara keagamaan ia tergoyahkan hanya pada saat umat Muslim menentang salah satu di antara kepercayaan-kepercayaan dan ibadat-ibadat pokok Islam. Demi terpenuhinya kepentingan solidaritas abadi inilah Islam tidak dapat membenarkan kelompok pembangkang apa pun dalam lingkungan umatnya. Di luar lingkungan umat Muslim kelompok semacam itu masih dibenarkan adanya sebagaimana para penganut agama lain mana pun juga. Tampak di mata saya bahwa pada saat sekarang Islam sedang melewati kurun waktu peralihan. Ia tengah mengalami pergeseran dari satu bentuk solidaritas politik ke bentuk lainnya yang tentu saja ditentukan oleh berbagai kekuatan sejarah. Berbagai peristiwa begitu cepat silih berganti di dunia Islam sehingga hamper tidak mungkin dapat diramalkan.

Mengenai sikap yang bagaimanakah dari Islam yang terpadu secara politik terhadap umat bukan-Muslim, bila hal seperti itu senantiasa timbul, merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh sejarah sendiri. Yang dapat saya katakana hanyalah bahwa, karena berada di tengah-tengah antara Asia dan Eropa, dank arena merupakan sintesis antarapandangan Timur dan Barat mengenai kehidupan, maka Islam seharusnya bertindak sebagai semacam penghubung antara Timur dan Barat. Namun apa yang terjadi bila orang-orang Eropa yang tidak mengerti tiba-tiba menggambarkan Islam yang tidak bersahabat? Karena berbagai hal hari demi hari berkembang terus di Eropa, maka mereka menuntut adanya transformasi radikal sikap Eropa terhadap Islam itu. Kita hanya dapat berharap bahwa visi politik tidak akan membiarkan dirinya dikaburkan oleh tuntutan-tuntutan ambisi imperial atau eksploiasi ekonomik. Sejauh berkaitan dengan India, saya dapat mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa umat Muslim di India tidak akan menyerah kepada idealisme politik macam apa pun yang akan melenyapkan keutuhan cultural mereka. Karena meyakini maka mereka pasti mengetahui bagaimana cara memadukan antara tuntutan-tuntutan agama dan patriotisme itu.

Satu catatan perlu dikemukakan mengenai Yang Mulia Aga Khān. Apa yang mendorong Pandit Jawahar Lal Nehru menyerang Aga Khān sulit saya temukan. Boleh jadi dia mengira bahwa kelompok Ahmadiyyah Qadiānī dan kelompok [Syi‘ah] Ismā‘īliyyah sama saja. Jelas dia tidak menyadari bahwa meskipun penafsiran keaamaan dari kelompok Ismā‘īliyyah itu boleh jadi salah, namun mereka percaya kepada adanya Imamat abadi, tetapi Imam mereka bukanlah orang yang menerima wahyu dari Allah. Dia hanyalah orang yang menjelaskan Hukum Islam. Pada suatu hari [di bulan Maret 1934] Yang Mulia Aga Khān berpidato di depan para pengikutnya sebagai berikut:

Bersaksilah bahwa Allah itu Maha Esa. Muhammad adalah Utusan Allah. Al-Qur’an adalah Kitab Allah. Ka‘bah adalah Qiblat bagi semua [Muslim]. Kalian adalah orang-orang-oran Muslim dan harus hidup bersama dengan umat Muslim. Berilah upan selamat kepada umat Muslim dengan Assalamu ‘alaikum.

Berilah nama-nama Islam kepada anak-anakmu. Lakukanlah salat berjama‘ah di masjid-masjid. Biasakanlah berpuasa secara teratur. Laksanakanlah perkawinan kamu menurut aturan-aturan perkawinan dalam Islam. Dan perlakukanlah semua Muslim sebagai saudara-saudara kandungmu [Lihat Star, Allahabad, 12 Maret 1934.].

Sekarang tiba saatnya bagi Pandit untuk mengambil keputusan apakah Aga Khān mewakili solidaritas Islam ataukah tidak.

Dikutip dan diterjemahkan oleh Machnun Husein dari buku Sir Muhammad Iqbal, Islam and Ahmadism (1934)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar