Minggu, September 06, 2009

Pengkajian Agama Islam

Beberapa Catatan tentang
PENGKAJIAN AGAMA ISLAM
Oleh Machnun Husein

Agama Islam, sebagaimana agama-agama lainnya, mencakup dua hal pokok: ajaran dan pengamalan. Islam sebagai ajaran (Islam ideal atau Islam skriptural) dapat diketahui dari sumber-sumbernya, yaitu Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sedangkan Islam sebagai pengamalan (Islam historik atau Islam popular) dapat diketahui dari perilaku para penganutnya, umat Muslim.

Pengkajian agama Islam pada dasarnya mencakup sekaligus pengkajian Islam ideal dan Islam historik itu, dan kedua-duanya perlu dilakukan oleh siapa saja yang berminat, termasuk para muballigh yang berkewajiban menyamakan antara kedua Islam itu.

Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa para pengkaji Islam, terutama di kalangan “tradisional”, lebih menitikberatkan pada pengkajian Islam ideal, dengan mengkaji Islam dari sumber-sumbernya saja. Mereka sering lupa bahwa Islam ideal itu tidak selalu sama dengan Islam historik. Apa yang diamalkan atau dilakukan oleh umat Muslim sering berbeda dan bahkan bertentangan dengan Islam ideal itu. Sebutlah misalnya, banyak umat Muslim yang terjerumus dalam kepercayaan-kepercayaan non-Islami, seperti takhayul dan khurafat. Selain itu banyak juga di antara mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bid‘ah, dengan mengubah-ubah, menambah-nambah atau mengurangi aturan-aturan pelaksanaan (kaifiyat) beberapa jenis peribadatan yang telah ditetapkan secara pasti dalam Islam ideal itu. Itulah sebabnya para pengkaji Islam “tradisional” itu sering tidak dapat memberikan jalan keluar yang tepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di kalangan umat Muslim itu.

Berbeda dengan mereka adalah para pengkaji Islam dari kalangan pembaharu atau “moderen” yang tidak hanya mengkaji Islam ideal semata-mata tetapi juga mengkaji Islam historiknya, sehingga karenanya mereka relatif lebih mampu mencarikan jalan keluar un-tuk mengatasi ketidaksamaan antara Islam ideal dan Islam historik itu.

Untuk memahami Islam ideal, Islam mewajibkan umat Muslim untuk berijtihad, yakni mengerahkan kemampuan intelektual secara optimal, walaupun hasilnya bisa benar dan bisa juga salah. Namun demikian Islam mengakui validitas hasil ijtihad itu, bila benar mendapatkan dua pahala dan bila salah mendapatkan satu pahala. Secara eksplisit, kewajiban untuk berijtihad ini dinyatakan dalam hadis Mu‘az bin Jabal yang sangat terkenal ketika dia ditugaskan oleh Nabi untuk memangku jabatan wazir di Yaman. Ketika itu dia menyatakan kepada Nabi untuk berijtihad dengan kemampuan intelektualnya bila dia tidak berhasil menenukan ketentuan eksplisit baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah untuk menetapkan suatu keputusan hukum.

Kegiatan ijtihad ini ternyata berjalan lancar semenjak itu dan dari kegiatan ini muncul sejumlah mujtahid dengan sekian banyak hasil ijtihadnya yang relatif sangat canggih. Namun sayang sekali, setelah atau bebarengan dengan jatuhnya Daulah ‘Abbasiyyah di Baghdad pada abad ke-13, kegiatan ijtihad ini terhenti dan bahkan ada yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Karenanya semenjak itu muncullah periode taqlid, di mana umat Muslim dianggap [atau menganggap] cukup dengan merujuk hasil ijtihad para mujtahid yang telah ada sebelumnya.

Baru pada sekitar awal abad ke-19 atau pertengahan kedua abad ke-18, muncul pemikir-pemikir Muslim baru yang berusaha meninjau ulang hasil-hasil ijtihad para mujtahid pendahulu mereka dan sekaligus membuka kembali pintu ijtihad itu. Sejauh mana hasil pemikiran dan ijtihad mereka yang disebut belakangan itu bisa diamalkan atau diaktualisasikan, kiranya perlu dikaji lebih lanjut secara lebih cermat.

Salah satu ciri khas pemikir Muslim atau pengkaji Islam “moderen”, khususnya terhadap Islam historik itu, adalah bahwa mereka tidak hanya berusaha memahami kembali Islam ideal, termasuk meninjau ulang hasil ijtihad pada mujtahid pendahulunya, tetapi juga sekaligus menganalisis kenyataan yang ada dalam praktek: yakni bagaimana Islam ideal itu diaktualisasikan dalam sejarah. Mereka mempertanyakan dan menganalisis mengenai, misalnya, sebab-sebab munculnya perbedaan-perbedaan baik dalam hal ‘aqidah maupun syari‘ah di kalangan umat Muslim itu, termasuk penetrasi budaya, agama, dan kepercayaan lokal ke masing-masing lingkungan umat Muslim, dan sekaligus mencoba memberikan alternatif-alternatif solusinya. Jadi, ibarat seorang dokter, dia mencoba mendiagnosa kenyataan atau “penyakitnya” dan kemudian memberikan terapinya.

Dalam kaitan ini, jelas bahwa pengkajian Islam “moderen” itu tidak mudah karena sipengkaji harus menguasai juga, atau setidak-tidaknya mampu memanfaatkan, ilmu-ilmu bantu yang lain, seperti sosiologi, sejarah, budaya, psikologi dan sebagainya. Di zaman klasik, sebenarnya pengkajian semacam ini sudah dirintis oleh para pendahulu kita. Yang terkenal di antaranya, dapat disebut nama Ibnu Khladun (1332-1349) yang, bahkan dari hasil analisisnya terhadap kondisi sosial-politik umat Muslim hingga pada masa hayatnya, dapat mengungkapkan konsep Islam tentang sejarah dan sosiologi.

Pada masa moderen sekarang, yang dimulai sejak awal abad ke-15, di saat mana umat Muslim mulai berkenalan dengan tradisi, agama, dan peradaban Barat, masalah Islam his-torik jelas semakin kompleks dan beragam. Bahkan dengan semakin berkembangnya peng-kajian Islam oleh para orientalis dan ahli Islam (Islamist) dari Barat khususnya, hampir-hampir menimbulkan apa yang kadang-kadang disebut sebagai “mazhab baru” dalam Islam. Munculnya “gagasan” oksidentalisme, atau kajian Barat oleh bangsa-bangsa Timur, sebagai reaksi terhadap orientalisme yang sudah sangat berkembang, memang patut disambut gembira. Tetapi sayang, gagasan itu masih tetap berujud gagasan, belum eksis ke pemukaan, alias belum bisa mengimbangi orientalisme itu.

Yang jelas, setidak-tidaknya sekarang sudah ada empat kelompok pengkaji Islam atau cendekiawan Muslim yang perlu dikaji pemikiran-pemikirannya: yakni kelompok-kelompok (1) tradisionalis-konservatif, yang pada umumnya berusaha bertahan dengan hasil ijtihad para pendahulunya; (2) modernis-sekularis, yang rata-rata terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran para orientalis Barat; (3) fundamentalis, yang berupaya mengembalikan Islam sebagaimana di masa-masa pertama kelahirannya; dan (4) neo-fundamentalis, yang berupaya memadukan antara pemikiran-pemikiran fundamentalis dengan pemikiran-pemikiran kontemporer.***

Ceramah disampaikan dalam Latihan Prajabatan Calon Karyawan Tetap Universitas Muhammadiyah Surakarta tipe A, Kamis, 29 September 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar