SEJARAH DALAM VISI AL-QUR’AN
Oleh Machnun Husein
Oleh Machnun Husein
Dalam Al-Qur’an banyak disebut-sebut nama Tuhan Allah, lebih dari 2.500 kali, belum termasuk nama-nama Tuhan lainnya yang 99 macam dan dikenal dengan asma’ul-husna. Hal ini sekilas mengindikasikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab ketuhanan. Namun isi kitab suci itu sebenarnya mengenai manusia dan kemanusiaan. Atau dengan perkataan lain bahwa tema sentral Al-Qur’an adalah manusia dan kemanusiaan.
Penyebutan nama Tuhan sebanyak itu dalam konteks yang beraneka ragam, menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai fungsi penting, bahkan terpenting, bagi umat manusia dan juga alam semesta ini. Al-Qur’an surat 96: 1 dan 2 menunjukkan dengan jelas bahwa Tuhanlah yang mencipta segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia. Dan untuk itu manusia diperintahkan untuk memperhatikan tanda-tandanya bahwa Tuhan benar-benar mencipta segala sesuatu dan menciptakan manusia itu.
Dan bagi umat manusia perhatian bukan saja ditujukan pada asal-usulnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tetapi juga pada kenyataan bahwa Tuhan pun Maha Pemurah yang telah mengajarkan tulis baca kepada manusia dan memberinya ilmu pengetahuan, sehingga dia bisa mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui. Ini bisa dilihat pada Al-Qur’an surat 96:3-6.
Manusia yang disebut-sebut dalam surat 96:2 dan 5 jelas bukan semata-mata manusia yang bernama Muhammad, kepada siapa ayat-ayat diturunkan sebagai wahyu. Tetapi manusia pada umumnya, termasuk manusia dan rasul pertama Adam a.s. Dan Adam itulah yang menurut Al-Qur’an (QS. 2:31) merupakan manusia pertama yang memperoleh ilmu Tuhan itu. Dan karena ilmu itulah, antara lain, manusia menempati posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Para malaikat pun dinyatakan lebih rendah daripada manusia, sehingga karenanya mereka diperintahkan untuk memberikan penghormatan [bersujud] kepadanya (QS. 2:34).
Visi Al-Qur’an tentang manusia sebenarnya tidak cuma dari asal-usul kejadiannya, atau dari hubungannya dengan Tuhan sebagai penciptanya, tetapi juga dari fungsinya sebagai makhluk termulia di muka bumi ini. Karena itulah Al-Qur’an juga berbicara tentang fungsi manusia baik sebagai makhluk Allah yang berkewajiban mengabdi kepada Sang Pencipta tetapi juga sebagai individu yang mengemban amanat Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Al-Qur’an menyebut fungsi ini dengan khalifah Allah atau pengemban amanat Allah.
Namun dari penuturan Al-Qur’an umat manusia dari zaman ke zaman selalu melupakan fungsinya sebagai khalifah Allah itu, karenanya kisah umat manusia mendapatkan porsi yang relatif sangat besar di dalam kitab suci itu. Tampaknya dengan cara itulah Al-Qur’an mengingatkan umat manusia masa kini, umat Muhammad, bahwa proses sejarah bisa berulang walau dalam ujud yang berbeda, sehingga karenanya dalam banyak ayat Tuhan Allah selalu memerintahkan kita untuk menyimak sejarah manusia pada masa-masa sebelumnya.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai petunjuk bagi umat manusia Al-Qur’an tidak semata-mata menyodorkan kisah dan fakta sejarah itu tetapi juga sekaligus memberikan interpretasi dan penilaiannya. Dan manusia dengan kemampuan berpikir dan penalarannya diharapkan bisa memperoleh pelajaran dari fakta-fakta sejarah itu. Hal ini antara lain dapat dilihat dari pernyataan Al-Qur’an sendiri (QS. 12:111) yang menyebutkan bahwa dalam kisah-kisah itu terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang mau berpikir dan mempergunakan kemampuan penalarannya. Kisah-kisah itu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, melainkan sebagai koreksi sekaligus terhadap orang-orang terdahulu yang sudah mengubah-ubah kitab suci Allah yang diturunkan kepada mereka, menganalisis segala sesuatu dan juga merupakan pedoman hidup bagi orang-orang yang beriman.
Dari uraian ini jelas sekali bahwa dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah itu, Al-Qur’an terikat pada esensinya bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Sehingga karenanya tidak semua fakta sejarah diungkapkan di dalam kitab suci itu, kecuali jika di dalamnya terdapat urgensi yang perlu dijadikan cermin bagi umat manusia masa kini. Semakin benyak urgensi itu, semakin banyak pula kisah itu diungkapkan. Dan sebaliknya, semakin kecil urgensi yang terdapat di dalam suatu proses sejarah, semakin sedikit pulalah kisah itu diungkapkan.
Sekedar ilustrasi dapat dikemukakan contoh bahwa di dalam Al-Qur’an hanya 25 orang rasul saja yang diceriterakan kisahnya, dan itu pun dengan porsi dan frekuensi yang berbeda-beda. Padahal menurut Al-Qur’an (QS. 4:78) selain mereka masih terdapat rasul-rasul lainnya yang tampaknya “sengaja” tidak dikemukakan kisah-kisahnya di dalam Al-Qur’an itu.
Dengan perkataan lain bahwa dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah itu, Al-Qur’an berbeda orientasinya dengan penulis-penulis sejarah yang secara kronologis mengungkapkan semua fakta sejarah itu. Al-Qur’an, berbeda dengan para penulis sejarah itu, tidak menitikberatkan pada faktor waktu, tempat ataupun pelaku sejarah itu, kecuali jika terdapat urgensi di dalamnya.
Cara pengungkapan semacam ini jelas memerlukan kecermatan dan kejelian dari para penelaah Al-Qur’an itu. Pengungkapan sejarah tentang figur atau masa sejarah yang sama dalam berbagai ayat dan surat, sekurang-kurangnya menuntut para penelaah untuk mengkajinya secara keseluruhan, jika totalitas proses sejarah itu hendak diketahui dengan sempurna.
Disamping itu, penelitian arkeologis dalam batas-batas tertentu juga mutlak diperlukan untuk “menguji” kebenaran Al-Qur’an itu. Dalam Al-Qur’an banyak kita jumpai perintah untuk “berjalan di muka bumi” guna menyelidiki mengapa umat terdahulu bisa mendapatkan kemajuan, dan mengapa pula mereka mengalami kehancuran.
Dengan memahami proses sejarah umat manusia terdahulu, baik di masa kejayaannya maupun di masa kehancurannya, umat manusia masa kini diharapkan bisa menentukan sikap dan pilihan ke arah mana mereka harus berkiblat. Allah swt. dengan kemahabijaksanaan-Nya telah memberikan analisis dan penilaian terhadap proses sejarah itu, dengan sistem penilaian Ilahi. Dan penilaian Ilahi itu benar dan pasti.
Sudah barang tentu kita pun harus berusaha untuk dapat menerima kebenaran analisis dan evaluasi dari Tuhan itu, karenanya kita perlu mengkaji Al-Qur’an itu dengan cermat; dan dalam saat yang bersamaan melakukan penelitian empirik, sehingga dapat menerima kebenaran mutlak dari Al-Qur’an itu.
Dan satu hal yang tidak bisa dilalaikan ialah bahwa, sebagaimana dalam hal-hal lainnya, dalam memahami sejarah ini pun petunjuk Allah mutlak perlu. Kemampuan penalaran ada kalanya menghasilkan kesimpulan yang benar, tetapi juga seringkali menelorkan hasil yang sebaliknya. Oleh karenanya petunjuk Allah itu bukan saja perlu tetapi juga penting agar hasil penalaran kita sesuai dengan yang sebenarnya dan dikehendaki oleh Al-Qur’an itu sendiri.***
Sumber: Suara Masjid, Jakarta, edisi Nopember 1983, hlm. 49-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar