Nasib Profesor di Indonesia
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Administrator
Seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama kali mengajar di perguruan tinggi, menerima gaji kurang lebih Rp 2,7 juta per bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang kuliah satu atau dua orang, Anda bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk mengatur bujet rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem ''menghina''.
Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan, pendapatannya sama.
Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang terhormat ini, seorang profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang. Jangankan dengan wakil rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.
Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut di atas itu.
Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk kepentingan survival, sekadar bertahan hidup. Nasib saya pribadi karena pernah memberi kuliah di Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada, plus anggota DPA selama lebih sedikit lima tahun, memang agak mendingan. Ditambah lagi jumlah anak dan istri tunggal. Sewaktu belajar di Chicago, istri saya juga sempat bekerja sebagai baby sitter (pengasuh anak) dengan penghasilan yang lumayan. Dengan kondisi ini, kami bisa menabung. Penghasilan lain juga datang dari sumber-sumber lain, seperti dari menulis dan bantuan teman.
Sekiranya penghasilan saya hanya sebagai seorang profesor dengan golongan IVe sekalipun, saya hanya akan gigit jari bila berkunjung ke toko buku. Paling-paling hanya lihat daftar isi, dan kalau ada waktu baca kesimpulan buku itu. Setelah itu pulang sambil mengenang alangkah bagusnya buku itu.
Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi mereka yang mendapatkan PhD di luar negeri, adalah pekerja keras dengan membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut ''mencerdaskan kehidupan bangsa'' pada tingkat perguruan tinggi.
Pemegang PhD setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Urusan buku terpaksa menjadi agenda nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya, buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan perkuliahan.
Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar, termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.
Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.
Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor) hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang anggota DPR pusat sekitar 19 X lipat gaji seorang profesor penuh per bulan. Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin berkibar dan kumuh, sementara masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap jadi calo proyek.
Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia.
http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19
Afzal Saiful Ammar - Mahasiswa |202.152.232.xxx |2007-02-15 10:39:48
Dunia pendidikan di Indonesia memang boleh dikatakan sangat buruk, para guru
yang bertugas sebagai pencerdas bangsa dituntut untuk dapat bekerja semaksimal
mungkin akan tetapi bagaimana keadaan perekonomian mereka sepertinya masih
kurang diperhatikan oleh pemerintah.Bagaimana mungkin para guru akan dapat
menjalankan tugasnya dengan benar-benar memperhatikan , mengawasi, dan mengajar
siswanya. Sedangkan dirumah sana ia juga harus masih memikirkan banyaknya
kebutuhan yang harus dipenuhi sedangkan uang yang ia punya belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Maka secara otomatis para guru tersebut harus
mencari pekerjaan sambilan untuk mendapatkan uang yang akan digunakan sebagai
tambahan masukan keuangan rumah tangganya, dan pada akhirnya perhatian seorang
guru secara otomatis pasti terbagi, tidak lagi dapat memikirkan siswa-siswanya
secara penuh. Nah, halitu merupakan salah satu dampak dari kurang
diperhatikannya masalah kesejahteraan guru.
Ketika keadaan ekonimi Indonesia terpuruk saat ini, kok masih ada angoota DPR yang minta untuk dinaikkan gajinya!dimana malu mereka? atau jangan-jangan mereka sudah tak punya rasa malu lagi! PAdahal kalau difikir gaji mereka itu bisa dikatakan bahwa mereka adalah yang masuk kedalam kelompok pegawai pemerintah yang mempunyai gaji yang cukup besar.
Lalu juga ada orsng-orang pemerintahan yang suka foya-foya, menyambut tamu dari
negara lain dengansambutan yang berlebihan bahkan mencapai milyaran, padahal
untuk biaya pendidikan yang seharusnya lebih diutamakan malah dikesampingkan.
Bahkan lebih tragis lagi masih banyak orang miskin yang untuk makan nanti saja
belum ada,ada yang harus puasa karena tidak ada makanan.Mereka tidak tahu apa
yang akan mareka makan besok. Dimanakah perasaan para petinggi pemerintahan?
Kalau saya boleh bertanya masihkah kursi pemerintahan akan
menjadi ajang perebutan seandainya gaji posisi yang diperebutkan itu sebesar
gaji guru sekarang? Saya rasa kursi pemerintahan itu diperebutkan karena
sebagian besar dari mereka adalah hanya uang dan kekuasaan,
Muchlis - S.Pd. |203.130.209.xxx |2007-05-14 14:57:26
Benar koq Syafei, Profesor saja begitu apalagi guru. Kasihan. Mengapa? Ya, Guru
= Wagu dan kuru (he..he..he..)
Muchlis - S.Pd. |203.130.209.xxx |2007-05-14 15:08:00
Bapak Achmad S.Maarif yth. Maaf. sekali lagi maaf. Demi Allah, saya tidak
bermaksud memanggil nama Bapak tanpa didahului kata Bapak. Saya menyadarinya
setelah komentar ini saya kirimkan. sekali lagi maaf ya, Pak atas kesalahan saya
karena telah memanggil nama Bapak dengan "njangkar"
sunardi - spd |203.130.201.xxx |2007-06-02 08:53:51
[color=white]saya sangat setuju dengan pendapat bapak ternyata indonesia tidak
memperhatikan pendidik secara benar benar
GHOZALI - AS |125.164.121.xxx |2007-06-03 07:31:43
BENER KYI KLAU NEGARA MAU MAJU HARUS MENGHARGAI GURUNYA BUKAN DEWANNYA UNTUK
KORUPSI
zaenal arifin - mahasiswa |116.12.40.xxx |2007-06-04 14:47:20
kelemahan indonesia adalah kurang bisa menghargai perjuangan.
alfikri |Registered |2007-06-05 08:50:20
saya sangat prihatin dengan guru saat saat ini, apalagi seorang profesor yang
tidak dimulyakan, tapi kita sebagai orang muhammadiyah, juga harus bijak,
rasulullah pernah kah ia dibayar mahal untuk berdakwah kepada umatnya, atau
berapa yang harus dibayar umatnya ketika ia mengajarkan ilmunya? adakah
rasulullah bergelar profesor dan bergelar haji? kita ini tabiaatnya adalah
pengen dihargai (termasuk saya sendiri) tetapi kembalikan ini kepada ajaran
Rasulullah
wallahu'alam bissawab
Syafrizal Siregar |125.162.58.xxx |2007-07-17 15:10:01
Guru...Profesorpun dia, sungguh malang nian nasibmu hidup ditanah yang subur
tetapi kepalamu sampai gundul karena kehilang kesuburan (memikirkan nasib
pendidikan anak bangsa), beginilah baru keseriusan penentu bangsa memikirkan
rakyat ini.Tapi keikhlasan tetap mendampingi profesor kita.
Gilang Satrio - Pengusaha,musisi,konseptor,mah |210.213.160.xxx |2007-07-24 15:42:47
bangsa kita adalah bangsa besar..sisi negatif pendidikan kiblat barat membuat
kita menjadi kapitalis tanpa integritas..jika tanpa disertai fundamental
pancasila..liat aja monyet2 BLBI itu..mereka kabur seperti pengecut..
Gilang Satrio - Pengusaha,musisi,konseptor,mah |210.213.160.xxx |2007-07-24 15:43:33
bangsa kita adalah bangsa besar..sisi negatif pendidikan kiblat barat membuat
kita menjadi kapitalis tanpa integritas..jika tanpa disertai fundamental
pancasila..liat aja monyet2 BLBI itu..mereka kabur seperti pengecut..
Natsir - Muhammadiyah Harus Memulai |203.128.91.xxx |2007-08-23 12:36:56
Apa yang ditulis adalah kenyataan, bahkan hal itu tidak hanya berlaku bagi
professor ataupun guru yang bekerja di perguruan tinggi negeri tetapi juga
swasta termasuk PT-Muhammadiyah. Hanya sedikit sekali perguruan tinggi Islam
yang telah bisa menjamin kesejahteraan dosennya (prof). Kapan muhammadiyah akan
melakukannya???
Anonymous |203.128.91.xxx |2007-08-23 12:37:34
top
Caswani - guru |125.160.216.xxx |2007-09-02 11:29:37
Benar itu, prof. Penghargaan kepada praktisi pendidikan sangat renah di
Indonesia. Jangankan untuk menaikkan gaji guru atau dosen, untuk anggaran
pendidikan saja masih belum bisa mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan
undang-undang.
Caswani - guru |125.160.216.xxx |2007-09-02 11:30:06
Benar itu, prof. Penghargaan kepada praktisi pendidikan sangat renah di
Indonesia. Jangankan untuk menaikkan gaji guru atau dosen, untuk anggaran
pendidikan saja masih belum bisa mencapai 20 persen seperti yang diamanatkan
undang-undang.
Handi - Dosen |202.59.164.xxx |2007-09-09 18:01:20
Negara Indonesia ini sangat menghinakan para dosen dan guru. Walaupun sudah
mengalami berbagai pergantian kabinet, tetap saja tidak dapat mengubah keadaan.
Jadi apanya yang salah? Kabinetnya atau SISTEMnya?
Tajul Arifin-Dosen |222.124.17.xxx |2007-09-24 16:26:19
Benar sekali apa yang dikatakan Prof. Ahmad Syafi'i Ma'arif, guru saya yang
cerdas dan berani. Gaji Professor di Indonesia sekarang ini bahkan lebih rendah
dari gaji petugas kebersihan di Australia. Demikian rendah penghargaan
pemerintah kita pada ilmuwan. Jelas perlakuan itu amat sangat bertentangan
dengan ajaran Islam yang memposisikan ilmuwan pada peringkat teratas. Kapan
pemerintah kita akan menghargai para penyebar ilmu secara wajar, sehingga
perjuangan mereka dalam mencerdaskan bangsa akan semakin gigih.
Sabtu, Oktober 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar